Mengurai
Benang Kusut Penetapan Waktu Ibadah
Agus Mustofa ; Penulis Buku Serial Tasawuf Modern
JAWA
POS, 22 Juli 2012
Perbedaan yang sering
terjadi dalam menentukan waktu ibadah umat Islam harus mulai diurai. Sebab,
ibarat benang kusut, masalah ini semakin tidak ketahuan ujung pangkalnya. Lha,
kalau ujung pangkalnya saja tidak ketahuan, bagaimana kita bisa mengurai
keruwetan?
Penetapan waktu ibadah sebenarnya bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu salat. Bahkan, ayat tentang ini sangat jelas disebut Alquran bahwa salat adalah ibadah yang ditetapkan waktunya. ''... Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [QS. An Nisaa': 103]
Namun, waktu salat bisa diselesaikan dengan relatif mudah. Terjadi kompromi antara tradisi dan sains secara harmonis. Dulu waktu salat ditetapkan dan dijalankan sesuai dengan tradisi Rasulullah, yakni dengan melihat posisi matahari secara kasatmata, karena memang pada zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.
Ketika fajar mulai merebak di ufuk timur, umat Islam diwajibkan menghadap Allah dengan salat Fajar atau salat Subuh. Ketika matahari sudah melewati ufuk tertingginya, diwajibkan salat Duhur. Saat matahari berada di pertengahan antara ufuk tertinggi dan saat tenggelam, diwajibkan salat Asar. Dan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk Barat, umat menjalankan salat Magrib. Kemudian, saat gelap malam, menjalankan salat Isya.
Dalam perkembangannya, umat Islam sesudah zaman Nabi merumuskan cara mudah untuk menandai datangnya waktu salat itu. Yakni, dengan menegakkan tongkat di bawah sinar matahari. Khususnya di Indonesia. Saya ingat betul bagaimana guru mengaji saya sewaktu kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu salat itu. Waktu duhur adalah saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke timur. Waktu asar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu sendiri. Waktu magrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. Waktu isya, sudah gelap malam. Dan subuh adalah saat fajar sidik, yakni warna benda sudah bisa dibedakan antara hitam dan putih.
Sekarang kita sudah tidak menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan datangnya waktu salat. Kita sudah begitu percaya kepada jam tangan, jam dinding, atau jam di handphone. Dan seperti itu juga yang dilakukan oleh para muazin sebelum dia mengumandangkan azan. Tradisi telah bergeser, tanpa meninggalkan substansi waktu salat.
Ketika saya bermukim di Kairo, Mesir, selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang masa kecil saya saat mengaji itu. Sebab, tradisi menegakkan tongkat untuk mengukur datangnya waktu salat itu ''ketemu batunya''. Saat duhur datang, ternyata bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek, tetapi sama panjangnya dengan tinggi badan saya. Dan arah bayangan itu tidak ke timur, melainkan agak ke utara. Sebab, posisi matahari Mesir pada musim dingin itu berada di timur-selatan.
Menurut pelajaran ngaji saya saat kecil, itu mestinya waktu asar. Tapi, jam tangan saya menunjukkan pukul 12 siang. Dan ketika waktu asar datang, sekitar jam 3 sore, bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, melainkan dua kali tinggi badan saya. Saya garuk-garuk kepala karena pelajaran fikih yang saya terima ketika kecil itu hanya bisa dijalankan di Indonesia. Tidak berlaku di Mesir. Apalagi, di Eropa Utara, atau New Zealand ke selatan.
Sebab, di Eropa Utara keadaannya lebih rumit lagi. Suatu ketika saya berkunjung ke Belgia untuk menghadiri konferensi aeronautika atas undangan Menristek B.J. Habibie waktu itu. Di puncak musim panas, siang hari lebih panjang daripada malam. Waktu magrib datang sekitar jam sepuluh malam. Tentu saja, tradisi menegakkan tongkat itu tidak bisa berlaku. Apalagi, di Finlandia, matahari tidak tenggelam sampai 23 jam dan malam hari hanya berdurasi 1 jam. Atau, semakin parah di St Petersburg -kota kecil di utara Moskow- bahwa matahari bisa tidak tenggelam selama 24 jam...!
Waktu salat menjadi ''kacau'' jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahari. Apalagi, waktu puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh berpuasa 24 jam di Moskow dan sekitarnya ketika musim panas datang. Sebab, menurut ''fikih tropis''', mestinya berpuasa itu dimulai saat matahari belum terbit dan diakhiri setelah matahari terbenam. ''Mataharinya tidak terbenam, Mas..!'' kata kawan saya Saipudin Zuhri, yang bekerja di KBRI Moskow. Tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku di sini. ''Fikih tropis'' harus diadaptasi menjadi ''fikih subtropis'', atau bahkan ''fikih luar angkasa'' ketika diterapkan kepada para astronot yang sedang bertugas di orbit bumi.
Sebab, jika tidak, ajaran Islam akan terjebak kepada tradisi masa lalu yang tidak bisa diterapkan lagi untuk umat manusia di zaman modern. Karena itu, tidak mengherankan, sahabat saya, mantan rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Bambang Guritno yang pernah bersekolah di Eropa mengatakan: ''Mas Agus, jangan-jangan orang-orang Eropa itu enggan masuk Islam karena takut disuruh berpuasa 24 jam..!'' Kan runyam kalau begini pemahamannya. ●
Penetapan waktu ibadah sebenarnya bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu salat. Bahkan, ayat tentang ini sangat jelas disebut Alquran bahwa salat adalah ibadah yang ditetapkan waktunya. ''... Sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. [QS. An Nisaa': 103]
Namun, waktu salat bisa diselesaikan dengan relatif mudah. Terjadi kompromi antara tradisi dan sains secara harmonis. Dulu waktu salat ditetapkan dan dijalankan sesuai dengan tradisi Rasulullah, yakni dengan melihat posisi matahari secara kasatmata, karena memang pada zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.
Ketika fajar mulai merebak di ufuk timur, umat Islam diwajibkan menghadap Allah dengan salat Fajar atau salat Subuh. Ketika matahari sudah melewati ufuk tertingginya, diwajibkan salat Duhur. Saat matahari berada di pertengahan antara ufuk tertinggi dan saat tenggelam, diwajibkan salat Asar. Dan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk Barat, umat menjalankan salat Magrib. Kemudian, saat gelap malam, menjalankan salat Isya.
Dalam perkembangannya, umat Islam sesudah zaman Nabi merumuskan cara mudah untuk menandai datangnya waktu salat itu. Yakni, dengan menegakkan tongkat di bawah sinar matahari. Khususnya di Indonesia. Saya ingat betul bagaimana guru mengaji saya sewaktu kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu salat itu. Waktu duhur adalah saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke timur. Waktu asar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu sendiri. Waktu magrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. Waktu isya, sudah gelap malam. Dan subuh adalah saat fajar sidik, yakni warna benda sudah bisa dibedakan antara hitam dan putih.
Sekarang kita sudah tidak menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan datangnya waktu salat. Kita sudah begitu percaya kepada jam tangan, jam dinding, atau jam di handphone. Dan seperti itu juga yang dilakukan oleh para muazin sebelum dia mengumandangkan azan. Tradisi telah bergeser, tanpa meninggalkan substansi waktu salat.
Ketika saya bermukim di Kairo, Mesir, selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang masa kecil saya saat mengaji itu. Sebab, tradisi menegakkan tongkat untuk mengukur datangnya waktu salat itu ''ketemu batunya''. Saat duhur datang, ternyata bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek, tetapi sama panjangnya dengan tinggi badan saya. Dan arah bayangan itu tidak ke timur, melainkan agak ke utara. Sebab, posisi matahari Mesir pada musim dingin itu berada di timur-selatan.
Menurut pelajaran ngaji saya saat kecil, itu mestinya waktu asar. Tapi, jam tangan saya menunjukkan pukul 12 siang. Dan ketika waktu asar datang, sekitar jam 3 sore, bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, melainkan dua kali tinggi badan saya. Saya garuk-garuk kepala karena pelajaran fikih yang saya terima ketika kecil itu hanya bisa dijalankan di Indonesia. Tidak berlaku di Mesir. Apalagi, di Eropa Utara, atau New Zealand ke selatan.
Sebab, di Eropa Utara keadaannya lebih rumit lagi. Suatu ketika saya berkunjung ke Belgia untuk menghadiri konferensi aeronautika atas undangan Menristek B.J. Habibie waktu itu. Di puncak musim panas, siang hari lebih panjang daripada malam. Waktu magrib datang sekitar jam sepuluh malam. Tentu saja, tradisi menegakkan tongkat itu tidak bisa berlaku. Apalagi, di Finlandia, matahari tidak tenggelam sampai 23 jam dan malam hari hanya berdurasi 1 jam. Atau, semakin parah di St Petersburg -kota kecil di utara Moskow- bahwa matahari bisa tidak tenggelam selama 24 jam...!
Waktu salat menjadi ''kacau'' jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahari. Apalagi, waktu puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh berpuasa 24 jam di Moskow dan sekitarnya ketika musim panas datang. Sebab, menurut ''fikih tropis''', mestinya berpuasa itu dimulai saat matahari belum terbit dan diakhiri setelah matahari terbenam. ''Mataharinya tidak terbenam, Mas..!'' kata kawan saya Saipudin Zuhri, yang bekerja di KBRI Moskow. Tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku di sini. ''Fikih tropis'' harus diadaptasi menjadi ''fikih subtropis'', atau bahkan ''fikih luar angkasa'' ketika diterapkan kepada para astronot yang sedang bertugas di orbit bumi.
Sebab, jika tidak, ajaran Islam akan terjebak kepada tradisi masa lalu yang tidak bisa diterapkan lagi untuk umat manusia di zaman modern. Karena itu, tidak mengherankan, sahabat saya, mantan rektor Universitas Brawijaya, Prof Dr Ir Bambang Guritno yang pernah bersekolah di Eropa mengatakan: ''Mas Agus, jangan-jangan orang-orang Eropa itu enggan masuk Islam karena takut disuruh berpuasa 24 jam..!'' Kan runyam kalau begini pemahamannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar