Bidah
Ramadhan
Sarlito Wirawan Sarwono ; Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia
SINDO,
22 Juli 2012
Alhamdulillah,
kita sudah masuk bulan Ramadan lagi.Ponsel saya penuh lagi dengan SMS dan BBM
(yang tidak pernah disubsidi) ucapan permintaan maaf menjelang bulan puasa.
Padahal
baru dua pekan yang lalu, pas pertengahan bulan (nishfu) Syaban, ponsel saya juga penuh dengan ucapan serupa. Nanti,
waktu Idul Fitri, dan Idul Adha juga, orang saling bermaaf-maafan, termasuk
lewat SMS, BBM dan oya, lupa, internet.
Padahal waktu zaman saya SR (sekolah rakyat) sampai kuliah, tradisi
bermaaf-maafan hanya untuk Idul Fitri. Waktu itu, di luar keluarga, kerabat dan
tetangga dekat (fisik), kita biasa berlebaran (bermaaf-maafan) dengan kartu
pos.
Untuk yang tinggal di Jakarta, menjelang Lebaran selalu ada tukang-tukang lukis kartu pos di depan Kantor Pos pusat di Pasar Baru. Yang punya duit bisa beli kartu Lebaran cetak di toko buku, atau mengirim telegram Lebaran yang disediakan oleh Kantor Pos. Karena harganya cukup mahal (pakai prangko), walaupun hanya setahun sekali, kartu yang dikirim tidak banyak, terbatas pada keluarga, kerabat dan teman dekat (di hati) saja. Sekarang, berkat teknologi ponsel dan internet, kita bisa bermaaf-maafan dengan sebanyak-banyak orang yang kita mau.
Tetapi kalau dulu kita harus nongkrong minimal sejam di tukang lukis kartu (sambil merancang kata-kata yang berbeda-beda untuk tiap alamat), sekarang cukup dengan pencet-pencet, copypaste dan send, sambil duduk dalam bus Transjakarta (karena kalau duduk di Busway bisa digilas bus Transjakarta atau kendaraan lain yang menyerobot masuk Busway). Celakanya, karena teknik copy-paste itu, kita jadi tidak ingat lagi pernah ngirim apa ke siapa. Istri saya pernah ngirim ucapan ke seseorang (copy-paste) dan menerima balasan dua hari kemudian dengan ucapan yang persis sama dari orang itu juga.
Saya pernah iseng-iseng mengarang ucapan selamat lebaran ke teman dekat, beberapa hari kemudian ucapan karangan saya itu balik ke saya sendiri dari orang lain. What a small world, kata pepatah Inggris. Jadi teknologi telah mendangkalkan rasa keberagamaan kita.
Untuk yang tinggal di Jakarta, menjelang Lebaran selalu ada tukang-tukang lukis kartu pos di depan Kantor Pos pusat di Pasar Baru. Yang punya duit bisa beli kartu Lebaran cetak di toko buku, atau mengirim telegram Lebaran yang disediakan oleh Kantor Pos. Karena harganya cukup mahal (pakai prangko), walaupun hanya setahun sekali, kartu yang dikirim tidak banyak, terbatas pada keluarga, kerabat dan teman dekat (di hati) saja. Sekarang, berkat teknologi ponsel dan internet, kita bisa bermaaf-maafan dengan sebanyak-banyak orang yang kita mau.
Tetapi kalau dulu kita harus nongkrong minimal sejam di tukang lukis kartu (sambil merancang kata-kata yang berbeda-beda untuk tiap alamat), sekarang cukup dengan pencet-pencet, copypaste dan send, sambil duduk dalam bus Transjakarta (karena kalau duduk di Busway bisa digilas bus Transjakarta atau kendaraan lain yang menyerobot masuk Busway). Celakanya, karena teknik copy-paste itu, kita jadi tidak ingat lagi pernah ngirim apa ke siapa. Istri saya pernah ngirim ucapan ke seseorang (copy-paste) dan menerima balasan dua hari kemudian dengan ucapan yang persis sama dari orang itu juga.
Saya pernah iseng-iseng mengarang ucapan selamat lebaran ke teman dekat, beberapa hari kemudian ucapan karangan saya itu balik ke saya sendiri dari orang lain. What a small world, kata pepatah Inggris. Jadi teknologi telah mendangkalkan rasa keberagamaan kita.
Boleh
saja kita makin sering bermaaf-maafan, tetapi nyatanya konflik sosial makin
sering dan makin sadis. Dulu konflik antaragama, terus antarsekte, ada juga
konflik politik, konflik masalah agraria, sekarang sudah masuk ke konflik keluarga,
KDRT, bahkan anak bunuh bapak-ibunya gara-gara tidak dikasih uang pulsa
(teknologi lagi).
Padahal setiap lebaran seharusnya kita justru mencium tangan atau sungkem kepada orang tua. Setahu saya di Arab sana tidak ada tradisi bermaaf-maafan pada hari raya Idul Fitri atau hari-hari yang lain. Mereka beragama tanpa aksesori, karena awalnya memang mereka tidak banyak mempunyai budaya yang berwarna-warni seperti kita di Indonesia. Orang Arab berpuasa ya berpuasa saja, nanti Idul Ftri ya salat sunah berjamaah, sudah. Titik.
Bahkan di Arab selama bulan puasa kebanyakan orang tidur di siang hari, dan beraktivitas di malam hari. Lain halnya dengan kita. Dari zaman nenek moyang, sebelum Islam masuk, kita sudah punya macam-macam tradisi, yang kemudian diteruskan menjadi tradisi ketika kita berislam. Itulah sebabnya, orang Jawa punya tradisi nyadran, atau berziarah ke makam orang tua sebelum Ramadan. Di kantor saya di kampus UPI YAI, kami beramai-ramai menyumbang makanan untuk selamatan munggah.
Konon ini tradisi Sunda, pokoknya baca doa bersama dan (ini yang penting) makan-makan. Etnik lain juga punya tradisi makan-makan, seperti nyorog (saling antar makanan) di etnik Betawi, di Aceh ada meugang, yaitu menyembelih kerbau, dan di Kudus ada dandangan serta di Semarang ada dugderan, dua tradisi yang ada unsur makanannya. Nanti pada saat Idul Fitri lebih seru lagi. Aneka makanan akan disajikan dan diantarkan, khususnya ketupat. Bahkan di Jawa Tengah ada tradisi Lebaran ketupat, sebagai penutup enam hari puasa Syawal. Itulah sebabnya mengapa sembako jadi mahal setiap kali mau puasa atau mau Lebaran.
Selain tradisi makan-makan, Ramadan Indonesia juga diwarnai dengan tradisi air. Di Riau ada lomba perahu yang dinamakan jalur pacu. Banyak etnik yang mentradisikan keramas menjelang Ramadan. Maksudnya menyucikan diri, sehingga kita melaksanakan puasa dengan jiwa yang putih bersih bagaikan bayi yang baru lahir. Di Mandailing tradisi itu disebut marpangir, di Minangkabau namanya balimau, di daerah Solo, Yogya, dan sekitarnya namanya padusan. Tentu saja tradisi-tradisi itu tidak ada hubungannya dengan Islam yang asli dari sononye.
Rasulullah SAW sendiri tidak pernah melakukan semua itu. Bahkan Rasulullah tidak pernah merayakan hari lahirnya sendiri (seperti kita-kita: beli kue, pasangi lilin, nyanyi “Happy birthday”, tiup lilinnya, potong kuenya), yang di Indonesia dirayakan sebagai Maulud Nabi malah dijadikan hari libur nasional. Karena itu ada sebagian ulama masa kini yang melarang tradisi-tradisi itu karena dianggap bidah (mengada-ada, tidak sesuai dengan Alquran dan Hadis). Tetapi kalau semua dianggap bidah suasana keberagamaan kita jadi kering.
Di Arab, pernah radio dianggap haram, apalagi televisi. Walaupun begitu ketika di tahun 1980-an saya berdinas ke Arab, televisi sudah diperbolehkan, tetapi masih hitam-putih dan isinya cowok melulu, mulai dari pembaca berita sampai yang main musik gambus dan rata-rata semuanya berewokan. Bete banget kan, nontonnya? Waktu itu, saya hanya bisa bersyukur, “Alhamdulillaah...untung saya bukan orang Arab.
”Tetapi sekarang Arab pun ikut-ikutan bidah. Nabi dulu melempar jumrah dari bawah saja, sekarang bisa dari lantai dua atau lantai tiga. Sa’i juga konon dibuat dua lantai (saya berhaji tahun 1995, jadi tidak tahu persis keadaan sekarang). Bahkan nanti akan ada kereta api cepat Mekkah-Madinah. Padahal dulu Rasulullah berhijrah dengan naik unta selama beberapa minggu. Ini kan bidah juga? Tetapi semua itu tidak dinamakan bidah karena dibuat untuk kepentingan umat, banyak manfaatnya, dan tidak menimbulkan mudarat. Begitu juga sebenarnya tradisi-tradisi adat kita.
Para wali, membawa Islam ke Indonesia dengan jalan damai, lewat jalur budaya. Karena itu banyak kebiasaan-kebiasaan nenek moyang, atau tradisi agama Hindu atau Budha, yang berakulturasi dengan budaya Islam. Orang Kudus makan daging kerbau dalam menyambut puasa, untuk menjaga perasaan umat Hindu yang waktu itu masih banyak. Mengapa makan-makan? Karena orang Indonesia doyan makan (tamu-tamu saya dari luar negeri selalu heran, karena setiap rapat, walau sekecil apapun, selalu ada makanan besar, minimal lemper dan risoles).
Mengapa air? Karena agama-agama selalu dekat dengan air. Orang India menganggap sungai Gangga sebagai sungai keramat. Orang Kristen membaptis dengan air. Apalagi orang Islam. Minimal lima kali sehari (di luar mandi dua kali sehari), perlu air. Pernah di sebuah gedung pertemuan, tidak tersedia sarana wudu di toilet. Maka toilet pun jadi becek dan kotor. Kaki naik ke wastafel, habis itu buat kumur-kumur orang lain. Tidak apa-apa, pokoknya air. Wajarlah kalau para wali yang kreatif itu memanfaatkan tradisi untuk menyiarkan Islam. Tanpa kreativitas para wali itu, tidak mungkin hari ini Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Tradisi-tradisi yang berwarna-warni itu merupakan pengikat emosional antara kita (individu) dengan keluarga dan kerabat (hablun minannas) dan dengan Allah dan Rasul serta Kitab sucinya (hablun minallah).Tetapi kalau sekarang kita mau mengharamkan tradisi yang dianggap bidah itu, akan hilanglah ikatan-ikatan batin itu. Maka tetangga sendiri bisa ditipu, orang tua sendiri bisa dibacok, bahkan Alquran pun bisa dikorup. Selamat berpuasa, maaf lahir batin. ●
Padahal setiap lebaran seharusnya kita justru mencium tangan atau sungkem kepada orang tua. Setahu saya di Arab sana tidak ada tradisi bermaaf-maafan pada hari raya Idul Fitri atau hari-hari yang lain. Mereka beragama tanpa aksesori, karena awalnya memang mereka tidak banyak mempunyai budaya yang berwarna-warni seperti kita di Indonesia. Orang Arab berpuasa ya berpuasa saja, nanti Idul Ftri ya salat sunah berjamaah, sudah. Titik.
Bahkan di Arab selama bulan puasa kebanyakan orang tidur di siang hari, dan beraktivitas di malam hari. Lain halnya dengan kita. Dari zaman nenek moyang, sebelum Islam masuk, kita sudah punya macam-macam tradisi, yang kemudian diteruskan menjadi tradisi ketika kita berislam. Itulah sebabnya, orang Jawa punya tradisi nyadran, atau berziarah ke makam orang tua sebelum Ramadan. Di kantor saya di kampus UPI YAI, kami beramai-ramai menyumbang makanan untuk selamatan munggah.
Konon ini tradisi Sunda, pokoknya baca doa bersama dan (ini yang penting) makan-makan. Etnik lain juga punya tradisi makan-makan, seperti nyorog (saling antar makanan) di etnik Betawi, di Aceh ada meugang, yaitu menyembelih kerbau, dan di Kudus ada dandangan serta di Semarang ada dugderan, dua tradisi yang ada unsur makanannya. Nanti pada saat Idul Fitri lebih seru lagi. Aneka makanan akan disajikan dan diantarkan, khususnya ketupat. Bahkan di Jawa Tengah ada tradisi Lebaran ketupat, sebagai penutup enam hari puasa Syawal. Itulah sebabnya mengapa sembako jadi mahal setiap kali mau puasa atau mau Lebaran.
Selain tradisi makan-makan, Ramadan Indonesia juga diwarnai dengan tradisi air. Di Riau ada lomba perahu yang dinamakan jalur pacu. Banyak etnik yang mentradisikan keramas menjelang Ramadan. Maksudnya menyucikan diri, sehingga kita melaksanakan puasa dengan jiwa yang putih bersih bagaikan bayi yang baru lahir. Di Mandailing tradisi itu disebut marpangir, di Minangkabau namanya balimau, di daerah Solo, Yogya, dan sekitarnya namanya padusan. Tentu saja tradisi-tradisi itu tidak ada hubungannya dengan Islam yang asli dari sononye.
Rasulullah SAW sendiri tidak pernah melakukan semua itu. Bahkan Rasulullah tidak pernah merayakan hari lahirnya sendiri (seperti kita-kita: beli kue, pasangi lilin, nyanyi “Happy birthday”, tiup lilinnya, potong kuenya), yang di Indonesia dirayakan sebagai Maulud Nabi malah dijadikan hari libur nasional. Karena itu ada sebagian ulama masa kini yang melarang tradisi-tradisi itu karena dianggap bidah (mengada-ada, tidak sesuai dengan Alquran dan Hadis). Tetapi kalau semua dianggap bidah suasana keberagamaan kita jadi kering.
Di Arab, pernah radio dianggap haram, apalagi televisi. Walaupun begitu ketika di tahun 1980-an saya berdinas ke Arab, televisi sudah diperbolehkan, tetapi masih hitam-putih dan isinya cowok melulu, mulai dari pembaca berita sampai yang main musik gambus dan rata-rata semuanya berewokan. Bete banget kan, nontonnya? Waktu itu, saya hanya bisa bersyukur, “Alhamdulillaah...untung saya bukan orang Arab.
”Tetapi sekarang Arab pun ikut-ikutan bidah. Nabi dulu melempar jumrah dari bawah saja, sekarang bisa dari lantai dua atau lantai tiga. Sa’i juga konon dibuat dua lantai (saya berhaji tahun 1995, jadi tidak tahu persis keadaan sekarang). Bahkan nanti akan ada kereta api cepat Mekkah-Madinah. Padahal dulu Rasulullah berhijrah dengan naik unta selama beberapa minggu. Ini kan bidah juga? Tetapi semua itu tidak dinamakan bidah karena dibuat untuk kepentingan umat, banyak manfaatnya, dan tidak menimbulkan mudarat. Begitu juga sebenarnya tradisi-tradisi adat kita.
Para wali, membawa Islam ke Indonesia dengan jalan damai, lewat jalur budaya. Karena itu banyak kebiasaan-kebiasaan nenek moyang, atau tradisi agama Hindu atau Budha, yang berakulturasi dengan budaya Islam. Orang Kudus makan daging kerbau dalam menyambut puasa, untuk menjaga perasaan umat Hindu yang waktu itu masih banyak. Mengapa makan-makan? Karena orang Indonesia doyan makan (tamu-tamu saya dari luar negeri selalu heran, karena setiap rapat, walau sekecil apapun, selalu ada makanan besar, minimal lemper dan risoles).
Mengapa air? Karena agama-agama selalu dekat dengan air. Orang India menganggap sungai Gangga sebagai sungai keramat. Orang Kristen membaptis dengan air. Apalagi orang Islam. Minimal lima kali sehari (di luar mandi dua kali sehari), perlu air. Pernah di sebuah gedung pertemuan, tidak tersedia sarana wudu di toilet. Maka toilet pun jadi becek dan kotor. Kaki naik ke wastafel, habis itu buat kumur-kumur orang lain. Tidak apa-apa, pokoknya air. Wajarlah kalau para wali yang kreatif itu memanfaatkan tradisi untuk menyiarkan Islam. Tanpa kreativitas para wali itu, tidak mungkin hari ini Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.
Tradisi-tradisi yang berwarna-warni itu merupakan pengikat emosional antara kita (individu) dengan keluarga dan kerabat (hablun minannas) dan dengan Allah dan Rasul serta Kitab sucinya (hablun minallah).Tetapi kalau sekarang kita mau mengharamkan tradisi yang dianggap bidah itu, akan hilanglah ikatan-ikatan batin itu. Maka tetangga sendiri bisa ditipu, orang tua sendiri bisa dibacok, bahkan Alquran pun bisa dikorup. Selamat berpuasa, maaf lahir batin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar