Jumat, 20 Juli 2012

Mengikis Budaya Korupsi

Mengikis Budaya Korupsi
Satrio Wahono ; Sosiolog dan Magister Filsafat UI
SUARA KARYA, 18 Juli 2012


Dari sejumlah fakta yang mengungkap keterlibatan kaum muda terhadap tindak korupsi, korupsi tampaknya sudah demikian mendarah-daging. Bayangkan saja, sebagai orang berusia 20-an dan 30-an saat era reformasi dimulai tahun 1998, mereka tentu tergolong pemuda usia kuliah dengan semangat idealisme tinggi. Tapi, apa lacur? Mereka lalu justru larut dalam struktur dan menjadi pelaku korupsi yang lihai.

Generasi muda yang diharapkan menjadi katalisator perubahan pun malah ikut melestarikan praktik korupsi. Jadi, pernyataan Bung Hatta (1902-1980) dan Mochtar Lubis (1922-2004) berdasawarsa-dasawarsa lalu bahwa korupsi memang merupakan bagian dari kebudayaan kita, tepat adanya?

Mencari indikator untuk memvonis korupsi sebagai bagian dari budaya bangsa kita sebenarnya mudah. Yaitu, jika pelaku korupsi merasa tidak ada yang salah dengan perilakunya. Ini berbeda, misalnya, jika para koruptor itu memiliki perasaan malu ketika dituduh korupsi. Hadirnya perasaan malu menandakan hati kecil para koruptor itu mengakui perbuatan mereka yang salah. Hanya saja, mereka tetap melakukannya karena berbagai motif.

Absennya perasaan bersalah dalam melakukan korupsi terwujud dari betapa tenangnya para tersangka korupsi ketika menghadapi proses peradilan. Bahkan, ada tersangka koruptor yang berani berkoar-koar menantang siapa pun yang mampu membuktikan dugaan praktik koruptif yang dialamatkan kepadanya. Juga, ada yang mati-matian mempertahankan posisinya. Suka tidak suka, korupsi memang telah menjadi budaya bangsa?

Meminjam sosiolog Pierre Bourdieu (1930-2002) sebagaimana disitir Ritzer (Modern Sociological Theory, 2003), budaya inilah yang disebut habitus korupsi. Yaitu, praktik berulang yang diwarisi dan dimodifikasi oleh satu aktor sosial hingga menjadi kebiasaan praktis ibarat orang naik sepeda. Terbentuknya habitus korupsi kemudian menciptakan kesan tidak ada yang salah dalam praktik korupsi.

Nah, setidaknya ada sejumlah faktor yang menyuburkan budaya korupsi di Indonesia.
Pertama, korban korupsi umumnya tak berwajah. Berbeda dengan kasus kriminal lain seperti pencurian atau pembunuhan di mana korbannya konkret merujuk pada pribadi tertentu yang menjadi korban. Akibatnya, pelaku korupsi tidak merasakan getaran empati terhadap korban. Sebab, sang pelaku memang tidak dapat melihat korbannya secara konkret.

Kedua, nikmat dan manfaat melakukan korupsi ternyata lebih besar daripada mudaratnya. Bayangkan saja, para koruptor dari hasil jarahan mereka mampu tetap berbusana perlente di persidangan, menikmati fasilitas dan diskresi mewah di rutan dan penjara, serta tampil anggun di berbagai forum publik semisal televisi.

Ketiga, 'justifikasi kompensatif' oleh para koruptor itu sendiri. Sebagai contoh, kadang pelaku korupsi menampilkan diri sebagai orang yang dermawan menebarkan sumbangan pada masyarakat sekitar. Atau, mendirikan berbagai perusahaan yang menciptakan lapangan kerja. Bisa juga, mendirikan berbagai yayasan sosial yang berfungsi ganda sebagai kedok sekaligus sebagai pembenaran bahwa hasil korupsi mereka toh bermanfaat juga bagi masyarakat luas. Dengan begini, mereka justru merasa berjasa melakukan korupsi. Padahal logikanya, kalau mereka tidak mengorupsi uang negara, manfaat yang dirasakan publik pastilah lebih besar lagi.

Keempat, masyarakat yang permisif terhadap koruptor. Artinya, masyarakat sering menutup mata terhadap kesenjangan antara profesi dan gaya hidup seorang pelaku korupsi asalkan koruptor itu merupakan orang murah hati yang siap memberikan berbagai amal bagi mereka. Alhasil, permisivitas masyarakat ini kian menguatkan korupsi sebagai budaya.

Kelima, bercokolnya alam pikir materialistis dalam masyarakat kita. Maksudnya, masyarakat kita terasuki sikap hidup materialistis yang menakar status orang hanya dari kemampuan materinya ketimbang hal-hal lain seperti integritas, kecerdasan, dan lain sebagainya. Alhasil, masyarakat kita hanya bisa sekadar sinis terhadap koruptor. Mungkin karena kesadaran jika mereka punya akses ke pusaran dana yang besar, bisa jadi mereka akan melakukan praktik korupsi yang sama.

Miskinkan Koruptor

Karena budaya merupakan hasil subjektif dari individu yang menghadapi struktur sosial, modifikasi budaya korupsi hanya bisa terjadi dengan ikut memodifikasi struktur sosial yang membentuk habitus korupsi tersebut. Setidaknya ada sejumlah cara untuk itu.
Pertama, hilangkan laba ekonomi-korupsi bagi para koruptor. Caranya, miskinkan para koruptor dengan cara membekukan aset-aset mereka yang terkait dengan korupsi. Dengan begitu, lenyap percaya diri mereka kala berada di bui atau di persidangan. Sebab, tidak ada lagi sumber daya ekonomi yang mereka persepsikan dapat 'membeli fasilitas' di rutan atau dalam proses peradilan.

Kedua, vonis mahaberat dan maksimal harus dijatuhkan bagi para koruptor. Selama ini, kita tahu betapa ringannya vonis bagi para pelaku korupsi. Mahkamah Agung (MA) pada Februari 2011 merilis data bahwa mayoritas koruptor hanya mendapatkan vonis ringan 1-2 tahun. Kini, kondisi vonis ringan itu mutlak mesti diubah. Harus mulai diwacanakan bahwa jaksa mesti mengajukan tuntutan terhadap terdakwa kasus korupsi minimal 20 tahun agar menimbulkan efek jera.

Ketiga, masyarakat tidak boleh lagi gampang termakan oleh 'sedekah recehan' para pelaku koruptor. Sebaliknya, masyarakat sebagai korban korupsi harus ikut mempermalukan para koruptor demi membangun budaya malu sebagai antitesa budaya korupsi. Sekaligus, ini menunjukkan 'wajah masyarakat' sebagai korban konkret perbuatan korupsi seraya meredam sikap hidup materialistis.

Dengan begini, semoga kita bisa mengikis budaya korupsi dan memperbaiki citra bangsa kita sebagai negara sarang para koruptor durjana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar