Mengikis
Budaya Korupsi
Satrio Wahono ; Sosiolog dan Magister Filsafat UI
SUARA
KARYA, 18 Juli 2012
Dari sejumlah fakta yang mengungkap
keterlibatan kaum muda terhadap tindak korupsi, korupsi tampaknya sudah
demikian mendarah-daging. Bayangkan saja, sebagai orang berusia 20-an dan 30-an
saat era reformasi dimulai tahun 1998, mereka tentu tergolong pemuda usia
kuliah dengan semangat idealisme tinggi. Tapi, apa lacur? Mereka lalu justru
larut dalam struktur dan menjadi pelaku korupsi yang lihai.
Generasi muda yang diharapkan menjadi
katalisator perubahan pun malah ikut melestarikan praktik korupsi. Jadi,
pernyataan Bung Hatta (1902-1980) dan Mochtar Lubis (1922-2004)
berdasawarsa-dasawarsa lalu bahwa korupsi memang merupakan bagian dari kebudayaan
kita, tepat adanya?
Mencari indikator untuk memvonis korupsi
sebagai bagian dari budaya bangsa kita sebenarnya mudah. Yaitu, jika pelaku
korupsi merasa tidak ada yang salah dengan perilakunya. Ini berbeda, misalnya,
jika para koruptor itu memiliki perasaan malu ketika dituduh korupsi. Hadirnya
perasaan malu menandakan hati kecil para koruptor itu mengakui perbuatan mereka
yang salah. Hanya saja, mereka tetap melakukannya karena berbagai motif.
Absennya perasaan bersalah dalam melakukan
korupsi terwujud dari betapa tenangnya para tersangka korupsi ketika menghadapi
proses peradilan. Bahkan, ada tersangka koruptor yang berani berkoar-koar
menantang siapa pun yang mampu membuktikan dugaan praktik koruptif yang
dialamatkan kepadanya. Juga, ada yang mati-matian mempertahankan posisinya.
Suka tidak suka, korupsi memang telah menjadi budaya bangsa?
Meminjam sosiolog Pierre Bourdieu (1930-2002)
sebagaimana disitir Ritzer (Modern
Sociological Theory, 2003), budaya inilah yang disebut habitus korupsi.
Yaitu, praktik berulang yang diwarisi dan dimodifikasi oleh satu aktor sosial
hingga menjadi kebiasaan praktis ibarat orang naik sepeda. Terbentuknya habitus
korupsi kemudian menciptakan kesan tidak ada yang salah dalam praktik korupsi.
Nah, setidaknya ada sejumlah faktor yang
menyuburkan budaya korupsi di Indonesia.
Pertama, korban korupsi umumnya tak berwajah.
Berbeda dengan kasus kriminal lain seperti pencurian atau pembunuhan di mana
korbannya konkret merujuk pada pribadi tertentu yang menjadi korban. Akibatnya,
pelaku korupsi tidak merasakan getaran empati terhadap korban. Sebab, sang
pelaku memang tidak dapat melihat korbannya secara konkret.
Kedua, nikmat dan manfaat melakukan korupsi
ternyata lebih besar daripada mudaratnya. Bayangkan saja, para koruptor dari
hasil jarahan mereka mampu tetap berbusana perlente di persidangan, menikmati
fasilitas dan diskresi mewah di rutan dan penjara, serta tampil anggun di
berbagai forum publik semisal televisi.
Ketiga, 'justifikasi kompensatif' oleh para
koruptor itu sendiri. Sebagai contoh, kadang pelaku korupsi menampilkan diri
sebagai orang yang dermawan menebarkan sumbangan pada masyarakat sekitar. Atau,
mendirikan berbagai perusahaan yang menciptakan lapangan kerja. Bisa juga,
mendirikan berbagai yayasan sosial yang berfungsi ganda sebagai kedok sekaligus
sebagai pembenaran bahwa hasil korupsi mereka toh bermanfaat juga bagi
masyarakat luas. Dengan begini, mereka justru merasa berjasa melakukan korupsi.
Padahal logikanya, kalau mereka tidak mengorupsi uang negara, manfaat yang
dirasakan publik pastilah lebih besar lagi.
Keempat, masyarakat yang permisif terhadap
koruptor. Artinya, masyarakat sering menutup mata terhadap kesenjangan antara
profesi dan gaya hidup seorang pelaku korupsi asalkan koruptor itu merupakan
orang murah hati yang siap memberikan berbagai amal bagi mereka. Alhasil,
permisivitas masyarakat ini kian menguatkan korupsi sebagai budaya.
Kelima, bercokolnya alam pikir materialistis
dalam masyarakat kita. Maksudnya, masyarakat kita terasuki sikap hidup materialistis
yang menakar status orang hanya dari kemampuan materinya ketimbang hal-hal lain
seperti integritas, kecerdasan, dan lain sebagainya. Alhasil, masyarakat kita
hanya bisa sekadar sinis terhadap koruptor. Mungkin karena kesadaran jika
mereka punya akses ke pusaran dana yang besar, bisa jadi mereka akan melakukan
praktik korupsi yang sama.
Miskinkan Koruptor
Karena budaya merupakan hasil subjektif dari
individu yang menghadapi struktur sosial, modifikasi budaya korupsi hanya bisa
terjadi dengan ikut memodifikasi struktur sosial yang membentuk habitus korupsi
tersebut. Setidaknya ada sejumlah cara untuk itu.
Pertama, hilangkan laba ekonomi-korupsi bagi
para koruptor. Caranya, miskinkan para koruptor dengan cara membekukan
aset-aset mereka yang terkait dengan korupsi. Dengan begitu, lenyap percaya
diri mereka kala berada di bui atau di persidangan. Sebab, tidak ada lagi
sumber daya ekonomi yang mereka persepsikan dapat 'membeli fasilitas' di rutan
atau dalam proses peradilan.
Kedua, vonis mahaberat dan maksimal harus
dijatuhkan bagi para koruptor. Selama ini, kita tahu betapa ringannya vonis
bagi para pelaku korupsi. Mahkamah Agung (MA) pada Februari 2011 merilis data
bahwa mayoritas koruptor hanya mendapatkan vonis ringan 1-2 tahun. Kini,
kondisi vonis ringan itu mutlak mesti diubah. Harus mulai diwacanakan bahwa
jaksa mesti mengajukan tuntutan terhadap terdakwa kasus korupsi minimal 20
tahun agar menimbulkan efek jera.
Ketiga, masyarakat tidak boleh lagi gampang
termakan oleh 'sedekah recehan' para pelaku koruptor. Sebaliknya, masyarakat
sebagai korban korupsi harus ikut mempermalukan para koruptor demi membangun
budaya malu sebagai antitesa budaya korupsi. Sekaligus, ini menunjukkan 'wajah masyarakat' sebagai korban konkret
perbuatan korupsi seraya meredam sikap hidup materialistis.
Dengan begini, semoga
kita bisa mengikis budaya korupsi dan memperbaiki citra bangsa kita sebagai
negara sarang para koruptor durjana. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar