Jumat, 20 Juli 2012

Selamat Datang Korporasi Pendidikan Tinggi Elitis

Selamat Datang Korporasi Pendidikan Tinggi Elitis
Sri Lestari Wahyuningroem ; PhD, Peneliti di Australian National University (ANU)
KORAN TEMPO, 19 Juli 2012


Setelah tarik-ulur berlangsung sekian waktu, akhirnya Undang-Undang Perguruan Tinggi resmi disahkan pada Jumat, 13 Juli lalu. Tidak ada yang baru pada undang-undang ini, karena wajah dan jiwanya persis dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi tahun lalu. Membaca dari isinya, jelas bahwa produk legislasi ini memperlihatkan lepas tangannya negara terhadap hak pendidikan warganya dengan mendalihkan otonomi universitas, sebagaimana ditegaskan dalam pernyataan Menteri Pendidikan Mohammad Nuh setelah disahkannya undang-undang tersebut. Ini sekaligus memperlihatkan kekacauan berpikir tentang otonomi dan kukuhnya karakter universitas elite di Indonesia. 

Otonomi menjadi kata kunci dalam kaitannya dengan reformasi pendidikan tinggi di banyak wilayah di dunia. Dalam prakteknya, di banyak regulasi, otonomi ini direduksi di tingkatan struktur dan manajemen kelembagaan. Premis yang berkembang adalah bahwa otonomi kelembagaan merupakan fondasi bagi perubahan dari dalam dan memberi jaminan bagi kebebasan akademik. Dalam hal ini otonomi kelembagaan terkait dengan pola pemerintahan internal universitas, self-governance, sedangkan kebebasan akademik, atau otonomi akademik, bersifat lebih individual, meliputi kebebasan berpikir, mengkaji, mengajar, dan berekspresi. 

Beberapa orang beranggapan keduanya adalah dua sisi pada koin yang sama. Maka, asumsinya adalah, jika otonomi institusi diberikan kepada universitas, ini akan menjamin kebebasan akademik individu di dalamnya. Faktanya, sangat mungkin menjalankan otonomi institusi tanpa kebebasan akademis. Dan sebagaimana ditunjukkan banyak universitas di Eropa, sangat mungkin pula menjalankan kebebasan akademis tanpa otonomi institusi atau finansial. 

Kekacauan berpikir ini perlu diangkat secara empiris ke atas meja. Untuk konteks di Indonesia, praktek otonomi institusi sudah diterapkan di Indonesia dengan diberikannya status badan hukum milik negara (BHMN) untuk empat universitas negeri, yakni Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan Institut Pertanian Bogor. Status ini memberikan "otonomi" bagi universitas untuk mengembangkan dirinya dan diharapkan lebih akuntabel ke publik. Pada prakteknya, universitas cenderung melakukan praktek korporasi dan pemerintah menjadi "pembeli produk" (purchaser of product) daripada "penyedia sumber daya" (provider of resource), sebagaimana yang disampaikan oleh Nizam dalam dokumen UNESCO tahun 2006. 

Konsekuensi dari paradigma otonomi salah kaprah ini adalah berkembangnya wacana dan praktek-praktek universitas yang elitis yang menekankan soal excellence, mempraktekkan bad governance, dan mengemukakan posisinya yang steril sebagai "menara gading" dalam perubahan sosial-politik di Indonesia. Pandangan universitas sebagai center of excellence mengedepankan visi menjadi universitas riset internasional dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang mengesankan secara tampilan fisik. Targetnya tentu saja menembus ranking universitas terbaik dunia, dan perlahan mengubah wujudnya dari universitas menjadi apa yang disebut Clark Kerr dalam kuliahnya di Universitas Harvard tahun 1963 sebagai "multiversitas".

Multiversitas ini ditandai dengan meluasnya peran, kelembagaan, dan aktivitas universitas, dari mulai yang sifatnya akademis hingga entrepreneurship, dari penyedia pendidikan menjadi korporasi berorientasi profit.  Pendekatan excellence ini sangat dominan diterapkan di empat universitas BHMN, dan tidak terbukti berhasil, mengingat peringkat universitas di Indonesia tetap di bawah 200 terbaik dunia, dan jumlah penelitian internasional berada pada nomor urut terakhir dalam hal tingkat produktivitas penelitian universitas di negara- negara lain di Asia Tenggara. Di samping itu, beban utama pendanaan bertumpu pada uang kuliah mahasiswa, yang jumlahnya makin membebani dari tahun ke tahun. 

Universitas elite juga menunjukkan kecenderungan praktek tata pemerintahan yang buruk (bad governance), di mana pengambilan kebijakan dilakukan secara tidak transparan, minim akuntabilitas, dan hanya melibatkan sebagian kecil otoritas yang ada di lingkungan universitas. Dalam praktek demikian, jarang sekali terjadi komunikasi atau konsultasi luas, baik dalam pengambilan keputusan yang menyangkut sivitas akademikanya maupun keputusan keluar institusi yang terkait dengan representasi universitas di lingkup publik, misalnya soal pemberian gelar kehormatan seperti kontroversi yang dilakukan oleh Rektor UI kepada Raja Arab Saudi, soal penghargaan (award) kepada intelektual berprestasi, dan lain sebagainya. 

Yang paling nyata dari paradigma universitas elite ini adalah perannya yang semakin steril dan menjauh dari realitas sosial-politik di masyarakat. Bisa jadi ini berangkat dari pandangan bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif dan bebas nilai, sehingga universitas merasa cukup menjadi menara gading bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan. Sindrom "menara gading" ini kemudian membuat para pengajar merasa memiliki posisi dan status sosial yang lebih tinggi dari posisi lain dalam masyarakat, serta menganggap lebih punya otoritas terhadap ilmu pengetahuan karena obyektivitasnya. Dalam Undang-Undang Perguruan Tinggi jelas ditegaskan pemahaman elitis soal otoritas keilmuan ini dalam kebebasan mimbar akademik yang peruntukannya hanya profesor dan dosen (pasal 9 (2)). 

Dari sini kemudian kita bisa melihat bahwa dalih otonomi universitas--sebuah retorika politik--yang diatur dalam Undang-Undang PT menghilangkan diskursus substantif soal akses dan jaminan hak warga negara kepada pendidikan tinggi. Akses ini terkait dengan upaya yang dibutuhkan untuk mentransformasi universitas elitis dan tertutup/steril, mengingat peran sentralnya dalam masyarakat dan demokrasi yang sedang berkembang. Upaya ini memungkinkan dua hal: ilmu atau pengetahuan yang dihasilkan di universitas bisa dimanfaatkan dan tersedia untuk masyarakat luas, dan terbukanya universitas untuk kelompok masyarakat yang terpinggirkan, termasuk masyarakat dari kelompok ekonomi lemah. Titik berat dari paradigma accessibility ini jelas adalah menekankan kembali pentingnya universitas sebagaipublic goods. Universitas tidak dibentuk untuk semakin mempertegas atau membangun ketidaksetaraan, melainkan justru sebagai sarana untuk meminimalkan kesetaraan dan memajukan bangsa. 

Sebagai public goods, tentu saja negara yang paling bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan tinggi dan soal akses ini. Sayangnya, pemerintah tidak lagi merasa memiliki tanggung jawab yang demikian. Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia dan Myanmar sama-sama di urutan akhir dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi sebesar 1,3 persen dari total GDP. Tentu saja ini tidak ada artinya dibandingkan dengan alokasi untuk sektor pertahanan, yang meningkat signifikan sejak 2005. 

Pada saat yang sama, data Susenas tahun 2006 (yang dikutip dalam Laporan World Bank) menunjukkan fenomena yang bikin miris: jumlah pendaftaran mahasiswa di Indonesia sangat minim. Hanya 2,67 persen masyarakat ekonomi lemah yang mengakses pendidikan tinggi dari jumlah yang minim itu, dan kurang dari 2 persen yang mendapat beasiswa untuk pendidikan tinggi. Adalah pasar yang lebih menentukan berapa banyak generasi di Indonesia yang bisa mendapat pendidikan tinggi. Selamat datang korporasi pendidikan tinggi!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar