Selamat
Datang Korporasi Pendidikan Tinggi Elitis
Sri Lestari Wahyuningroem ; PhD, Peneliti di
Australian National University (ANU)
KORAN
TEMPO, 19 Juli 2012
Setelah tarik-ulur berlangsung
sekian waktu, akhirnya Undang-Undang Perguruan Tinggi resmi disahkan pada
Jumat, 13 Juli lalu. Tidak ada yang baru pada undang-undang ini, karena wajah
dan jiwanya persis dengan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan yang dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi tahun lalu. Membaca dari isinya, jelas bahwa produk
legislasi ini memperlihatkan lepas tangannya negara terhadap hak pendidikan
warganya dengan mendalihkan otonomi universitas, sebagaimana ditegaskan dalam
pernyataan Menteri Pendidikan Mohammad Nuh setelah disahkannya undang-undang
tersebut. Ini sekaligus memperlihatkan kekacauan berpikir tentang otonomi dan
kukuhnya karakter universitas elite di Indonesia.
Otonomi menjadi kata kunci dalam
kaitannya dengan reformasi pendidikan tinggi di banyak wilayah di dunia. Dalam
prakteknya, di banyak regulasi, otonomi ini direduksi di tingkatan struktur dan
manajemen kelembagaan. Premis yang berkembang adalah bahwa otonomi kelembagaan
merupakan fondasi bagi perubahan dari dalam dan memberi jaminan bagi kebebasan
akademik. Dalam hal ini otonomi kelembagaan terkait dengan pola pemerintahan
internal universitas, self-governance,
sedangkan kebebasan akademik, atau otonomi akademik, bersifat lebih individual,
meliputi kebebasan berpikir, mengkaji, mengajar, dan berekspresi.
Beberapa orang beranggapan
keduanya adalah dua sisi pada koin yang sama. Maka, asumsinya adalah, jika
otonomi institusi diberikan kepada universitas, ini akan menjamin kebebasan
akademik individu di dalamnya. Faktanya, sangat mungkin menjalankan otonomi
institusi tanpa kebebasan akademis. Dan sebagaimana ditunjukkan banyak
universitas di Eropa, sangat mungkin pula menjalankan kebebasan akademis tanpa
otonomi institusi atau finansial.
Kekacauan berpikir ini perlu
diangkat secara empiris ke atas meja. Untuk konteks di Indonesia, praktek
otonomi institusi sudah diterapkan di Indonesia dengan diberikannya status
badan hukum milik negara (BHMN) untuk empat universitas negeri, yakni
Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, dan
Institut Pertanian Bogor. Status ini memberikan "otonomi" bagi
universitas untuk mengembangkan dirinya dan diharapkan lebih akuntabel ke
publik. Pada prakteknya, universitas cenderung melakukan praktek korporasi dan
pemerintah menjadi "pembeli produk" (purchaser of product)
daripada "penyedia sumber daya" (provider of resource),
sebagaimana yang disampaikan oleh Nizam dalam dokumen UNESCO tahun 2006.
Konsekuensi dari paradigma
otonomi salah kaprah ini adalah berkembangnya wacana dan praktek-praktek
universitas yang elitis yang menekankan soal excellence,
mempraktekkan bad governance,
dan mengemukakan posisinya yang steril sebagai "menara gading" dalam
perubahan sosial-politik di Indonesia. Pandangan universitas sebagai center of excellence mengedepankan visi menjadi universitas
riset internasional dengan kelengkapan sarana dan prasarana yang mengesankan
secara tampilan fisik. Targetnya tentu saja menembus ranking universitas terbaik dunia, dan
perlahan mengubah wujudnya dari universitas menjadi apa yang disebut Clark Kerr
dalam kuliahnya di Universitas Harvard tahun 1963 sebagai
"multiversitas".
Multiversitas ini ditandai dengan
meluasnya peran, kelembagaan, dan aktivitas universitas, dari mulai yang
sifatnya akademis hingga entrepreneurship,
dari penyedia pendidikan menjadi korporasi berorientasi profit. Pendekatan excellence ini sangat dominan diterapkan di empat
universitas BHMN, dan tidak terbukti berhasil, mengingat peringkat universitas
di Indonesia tetap di bawah 200 terbaik dunia, dan jumlah penelitian
internasional berada pada nomor urut terakhir dalam hal tingkat produktivitas
penelitian universitas di negara- negara lain di Asia Tenggara. Di samping itu,
beban utama pendanaan bertumpu pada uang kuliah mahasiswa, yang jumlahnya makin
membebani dari tahun ke tahun.
Universitas elite juga
menunjukkan kecenderungan praktek tata pemerintahan yang buruk (bad
governance), di mana pengambilan kebijakan dilakukan secara tidak
transparan, minim akuntabilitas, dan hanya melibatkan sebagian kecil otoritas
yang ada di lingkungan universitas. Dalam praktek demikian, jarang sekali
terjadi komunikasi atau konsultasi luas, baik dalam pengambilan keputusan yang
menyangkut sivitas akademikanya maupun keputusan keluar institusi yang terkait
dengan representasi universitas di lingkup publik, misalnya soal pemberian gelar
kehormatan seperti kontroversi yang dilakukan oleh Rektor UI kepada Raja Arab
Saudi, soal penghargaan (award) kepada intelektual berprestasi, dan lain
sebagainya.
Yang paling nyata dari paradigma
universitas elite ini adalah perannya yang semakin steril dan menjauh dari
realitas sosial-politik di masyarakat. Bisa jadi ini berangkat dari pandangan
bahwa ilmu pengetahuan bersifat obyektif dan bebas nilai, sehingga universitas
merasa cukup menjadi menara gading bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kemasyarakatan.
Sindrom "menara gading" ini
kemudian membuat para pengajar merasa memiliki posisi dan status sosial yang
lebih tinggi dari posisi lain dalam masyarakat, serta menganggap lebih punya
otoritas terhadap ilmu pengetahuan karena obyektivitasnya. Dalam Undang-Undang
Perguruan Tinggi jelas ditegaskan pemahaman elitis soal otoritas keilmuan ini
dalam kebebasan mimbar akademik yang peruntukannya hanya profesor dan dosen
(pasal 9 (2)).
Dari sini kemudian kita bisa
melihat bahwa dalih otonomi universitas--sebuah retorika politik--yang diatur
dalam Undang-Undang PT menghilangkan diskursus substantif soal akses dan
jaminan hak warga negara kepada pendidikan tinggi. Akses ini terkait dengan
upaya yang dibutuhkan untuk mentransformasi universitas elitis dan tertutup/steril,
mengingat peran sentralnya dalam masyarakat dan demokrasi yang sedang
berkembang. Upaya ini memungkinkan dua hal: ilmu atau pengetahuan yang
dihasilkan di universitas bisa dimanfaatkan dan tersedia untuk masyarakat luas,
dan terbukanya universitas untuk kelompok masyarakat yang terpinggirkan,
termasuk masyarakat dari kelompok ekonomi lemah. Titik berat dari paradigma accessibility ini jelas adalah menekankan kembali
pentingnya universitas sebagaipublic goods. Universitas tidak dibentuk
untuk semakin mempertegas atau membangun ketidaksetaraan, melainkan justru
sebagai sarana untuk meminimalkan kesetaraan dan memajukan bangsa.
Sebagai public goods, tentu saja negara
yang paling bertanggung jawab atas perkembangan pendidikan tinggi dan soal
akses ini. Sayangnya, pemerintah tidak lagi merasa memiliki tanggung jawab yang
demikian. Dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia dan
Myanmar sama-sama di urutan akhir dalam hal pembiayaan pendidikan tinggi
sebesar 1,3 persen dari total GDP. Tentu saja ini tidak ada artinya
dibandingkan dengan alokasi untuk sektor pertahanan, yang meningkat signifikan
sejak 2005.
Pada saat yang sama, data Susenas
tahun 2006 (yang dikutip dalam Laporan World Bank) menunjukkan fenomena yang
bikin miris: jumlah pendaftaran mahasiswa di Indonesia sangat minim. Hanya 2,67
persen masyarakat ekonomi lemah yang mengakses pendidikan tinggi dari jumlah
yang minim itu, dan kurang dari 2 persen yang mendapat beasiswa untuk
pendidikan tinggi. Adalah pasar yang lebih menentukan berapa banyak generasi di
Indonesia yang bisa mendapat pendidikan tinggi. Selamat datang korporasi pendidikan tinggi! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar