Rabu, 04 Juli 2012

Masa Depan Mesir


Masa Depan Mesir
Azis Anwar Fachrudin ; Koordinator Forum Studi Arab dan Islam;
Pengajar di Pondok Pesantren Nurul Ummah, Kotagede, Yogyakarta
KOMPAS, 04 Juli 2012


Akhirnya rakyat Mesir punya presiden baru. Muhammad Mursi (60), kandidat dari al-Ikhwan al-Muslimun, berhasil memenangi perolehan suara, mengalahkan Ahmad Shafiq, kandidat dari rezim lama.

Setelah sempat ditunda akibat adanya dugaan kecurangan dalam pemilihan presiden, kemenangan Mursi kini sudah diumumkan secara resmi dengan selisih tidak jauh: 3-4 persen. Kemenangan Mursi dianggap oleh banyak pihak sebagai kemenangan kaum Islam(is).

Kemenangan Mursi itu menjadi tambahan daftar dominasi kekuatan Islam di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Al-Ikhwan al-Muslimun (IM) Mesir, dengan Partai Keadilan dan Kebebasan (Hizb al-Hurriyyah wa al-’Adalah), menyusul para pendahulunya yang telah memenangi pemilu di negaranya masing-masing: Hizb an-Nahdhah (Partai Kebangkitan) di Tunisia dan Partai Keadilan dan Pembangunan (Hizb al-’Adalah wa at-Tanmiyyah) di Maroko.

Keduanya menjadi gerakan yang terinspirasi dari IM Mesir. Gerakan Islam di Libya dan Yaman, yang juga mengopi gaya gerakan IM, tampaknya juga akan memenangi transisi pemerintahan di negaranya. Namun, apakah dengan adanya dominasi Islamis berarti proses transisi demokrasi di Mesir akan berjalan mulus? Atau justru akan kandas di tengah jalan dihadang anasir-anasir dari rezim lama?

Apa yang tampak di permukaan jelas menunjukkan bahwa IM Mesir masih harus menghadapi tantangan besar. Perjalanan mereka belum tentu mulus tanpa kerikil-kerikil tajam—tidak seperti ”saudaranya” di Tunisia dan Maroko. Dominasi IM rentan digerogoti oleh para oposannya.

Mursi dan IM membawa amanat besar dari rakyat Mesir untuk menjalankan transisi demokrasi ke arah yang lebih baik. Itu jelas bukan hal yang mudah. Kaum Salafi dengan Hizb an-Nur yang merupakan mayoritas kedua di parlemen lama bisa saja tidak menjadi ”koalisi” yang setia kepada IM. Belum lagi bila dihadapkan pada Dewan Militer yang rawan mengorupsi kekuasaan sementara. Sebelum pilpres digelar, Dewan Militer bahkan membuat keputusan kontroversial: membubarkan parlemen.

Tantangan

Kendala pertama yang paling menghadang transisi demokrasi di Mesir adalah kaum militer. Dewan Agung Militer (SCAF), juga institusi-institusi penting seperti mahkamah konstitusi, sampai kini masih dikuasai pejabat dari rezim lama, terutama kaum militer.

SCAF, masyhur diketahui, selalu ingin menghambat laju Islamis. Setelah Islamis mendominasi parlemen (dengan 70 persen kursi), SCAF tentu saja tidak ingin kursi presiden diduduki Islamis juga. Indikasi tentang hal ini tampak kentara, bahkan jika melihat bahwa hingga kini konstitusi belum juga direvisi. SCAF tidak ingin konstitusi baru disusun oleh parlemen yang—tentu saja—akan diwarnai oleh ideologi Islam. Laju transisi semakin ruwet setelah parlemen yang sudah dibentuk dengan menghabiskan banyak tenaga dan biaya harus dibubarkan begitu saja oleh SCAF.

Kedua, sejumlah kalangan ”moderat” menghadapi dilema. Kuantitas mereka mencapai 50 persen. Pada waktu pilpres putaran pertama, mereka itu adalah pemilih Hamdin Sabahi (21,1 persen), Abul-Futuh (17,8 persen), dan Amr Musa (11,3 persen). Mereka pada mulanya tidak punya kecenderungan untuk memilih baik Mursi maupun Shafiq. Mereka akan menjadi massa yang akan diperebutkan oleh militer vis a vis Islamis.

Keberadaan kalangan moderat itu—untuk tidak menyebutnya ”abu-abu”—adalah kubu yang berdiri sendiri, dan suatu saat bisa menggugat IM yang terlalu ”pede” dan ambisius dalam mendominasi pemerintahan.

Ketiga, adalah masalah penyusunan konstitusi. Pilpres ini dilaksanakan sebelum konstitusi baru digolkan. Mahkamah Konstitusi (MK) Mesir sebenarnya telah dibentuk parlemen pada akhir Maret, tetapi penyusunan konstitusi masih juga ditunda. Hampir menjadi kesimpulan umum ini bertujuan untuk menghambat manuver Islamis yang menguasai parlemen dan menempatkan banyak wakilnya di Dewan Konstituante. Ini masih mengganjal hingga kini: pemilu diadakan sebelum konstitusi baru jadi. Masalah lainnya adalah bila militer ikut campur, misalnya dengan menginterupsi konstitusi baru. Militer juga rawan memolitisasi demonstrasi rakyat untuk menunda penyusunan konstitusi.

Kemenangan Mursi sesungguhnya hanya satu tanda bahwa untuk sementara satu fase kemenangan sipil sudah digenggam tangan. Pun demikian, jalan untuk mewujudkan cita-cita Revolusi 25 Januari masih panjang. Khawatirnya, Mesir justru terpecah oleh fragmentasi sosial dan politik. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar