Deklarasi
Riau untuk Rio
Eko
Budihardjo ; Anggota AIPI dan Salah Satu
Penyusun ”Deklarasi Riau”
KOMPAS, 04 Juli 2012
Persis seminggu sesudah KTT Rio+20 berakhir,
Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia memprakarsai penyelenggaraan Seminar
Nasional ”Dari Rio untuk Riau: Pengembangan Pembangunan Berkelanjutan Berbasis
Ekonomi Hijau, Sosial, dan Budaya”.
Seminar yang diselenggarakan di Pekanbaru
bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Riau itu menghasilkan ”Deklarasi Riau”
berupa komitmen dan rencana aksi yang lebih kontekstual. Soalnya, Akademi Ilmu
Pengetahuan Indonesia (AIPI) menengarai bahwa yang dihasilkan Rio+20 kurang
menyentuh kepentingan negara miskin dan negara berkembang seperti Indonesia.
Kendati konferensi-Mega Rio+20 yang
melibatkan lebih kurang 45.000 orang dan tokoh puncak dari 190 negara dinilai
sukses oleh Sekjen PBB Ban Ki-moon, banyak kalangan yang
menganggapnya gagal. Terutama yang menganggap gagal adalah kalangan pemerhati
lingkungan.
Kumi Naidoo selaku Direktur Eksekutif Greenpeace International menyebut
dokumen 53 halaman berjudul ”The Future
We Want” yang dirumuskan sebagai the longest suicide note in history.
Richard Dennis dari Australia Institute
bahkan menyebutkannya dengan istilah summit cemetery dalam Asia Weekly terbitan 29 Juni-5 July 2012.
Ada indikasi kuat bahwa negara-negara maju
lebih mendominasi konferensi dan tanpa malu-malu mengedepankan kepentingan
profit perusahaan besar ketimbang kepentingan people dari negara miskin dan
nasib planet Bumi yang hanya satu ini. Mereka cenderung memprivatisasi kekayaan
alam sekaligus menyebarkan kemiskinan penduduk negara berkembang.
Dikisahkan bahwa tatkala negara-negara
berkembang mengusulkan supaya disediakan sejumlah dana mendukung
kegiatan-kegiatan prolingkungan demi keberlanjutan pembangunan, negara-negara
maju seolah-olah tidak mendengarnya. Rupa-rupanya mereka tidak mau terikat
dengan komitmen, terutama yang menyangkut pendanaan.
Memang mesti diakui bahwa sesudah KTT Bumi
pertama yang juga diprakarsai oleh PBB pada 1992, kepedulian terhadap masalah
lingkungan dan kemiskinan kian meningkat serta ada hasil-hasil yang nyata.
Brasil, misalnya, berhasil mempertahankan 78 persen dari hutan tropisnya. Angka
kemiskinan di dunia menurun dari semula 46 persen (1992) menjadi 27 persen
tahun ini. Angka harapan hidup manusia bertambah rata-rata 3,5 tahun (Ronald
Banlay, 2012).
Akan tetapi, tidak dapat dinafikan kenyataan
bahwa keanekaragaman hayati di dunia menurun 12 persen. Sekitar 85 persen
cadangan ikan di laut dieksploitasi secara berlebihan dan 740 juta hektar hutan
habis dibabat.
Dalam ”Deklarasi Riau” disebutkan secara
spesifik pentingnya hukum adat, keberadaan tanah ulayat, ketentuan mengenai
rimba larangan, dan berbagai kearifan lokal dijadikan landasan utama dalam pembangunan.
Saya teringat dalam suatu desertasi doktor
ilmu hukum di bawah bimbingan Satjipto Rahardjo (almarhum) disajikan temuan
bahwa salah satu faktor yang menyebabkan kerusakan lingkungan adalah
terabaikannya hukum adat di sejumlah daerah. Dikerdilkan oleh hukum yang
beraras nasional.
Liputan tentang kisah penduduk asli Papua di
harian Kompas, 1 Juli, dengan judul ”Bumi adalah Ibu” merupakan salah satu
contoh. Saya juga ingat pernah menulis artikel tentang keseimbangan ekologis,
mengacu pada peribahasa Papua ”hutan adalah mama”. Berarti yang merusak hutan
di Papua jelas bukan orang Papua.
Di Riau pun kejadiannya serupa. Seorang
budayawan Riau menyajikan pantun-pantun yang esensinya adalah menjaga dan
melestarikan hutan, larangan menebang pohon, serta kewajiban menanam aneka
tumbuh-tumbuhan.
Peran Ilmuwan
Dalam makalahnya, Ashaludin Jalil selaku
Rektor Universitas Riau menulis, ”Suasana harmoni kehidupan masyarakat
tradisional dan alam yang penuh damai mulai terusik dan tercabik ketika para
pemilik kapital berdatangan. Mereka mengeksploitasi alam tanpa basa-basi, tidak
permisi, bahkan tidak peduli dengan masyarakat adat pemilik tradisi pelestari
sumber daya alam negeri, tanah pertiwi.”
Dalam butir-butir ”Deklarasi Riau” tersurat
dan tersirat peran strategis para ilmuwan serta peneliti dalam pembangunan
Provinsi Riau. Tak sekadar menyangkut masalah hutan, juga misalnya yang
berkaitan dengan lahan gambut yang tersedia begitu luas. Manakala dalam Rio+20
hanya disinggung sedikit upaya incorporate science into policy, ”Deklarasi
Riau” jelas menyebutkan komitmen dan rencana tindakan dengan peran serta aktif
para ilmu- wan, peneliti, masyarakat adat, pengusaha, dan segenap pemangku
kepentingan.
Kiranya perlu diingatkan agar para ilmuwan
dan peneliti di kampus PTN ataupun PTS tidak boleh terseret arus, terpukau
semata-mata pada ambisi untuk bisa masuk dalam kategori universitas kelas
dunia. Ambisi itu tak salah, tetapi pada hemat saya, yang tak kalah penting:
bagaimana kampus berjaya menghasilkan lulusan yang mampu mengelola sumber daya
alam di republik ini dengan jauh lebih baik.
Banyak penelitian yang mesti digarap, tetapi
tak boleh berhenti sekadar sebagai penelitian saja. Kata gagahnya research for research’s sake. Setiap
hasil penelitian seyogianya diikuti dengan pengembangan dan pemanfaatannya
dalam kehidupan nyata. Para ilmuwan kampus wajib menangkal tudingan bahwa
litbang di Indonesia bukannya berarti research & development, melainkan
rust & dust. Bahkan, ada orang yang tega mengartikannya dengan real dumb.
AIPI merekomendasikan dilakukannya penelitian
yang kontekstual di sejumlah daerah untuk memperoleh temuan, teori, dan ilmu
baru yang bersumber dari bumi kita sendiri. Gagasan segar yang bermunculan
dalam ilmu lingkungan, seperti eco- socialism atau commonism
sepatutnya dijadikan bahan diskusi dan kajian untuk masukan bagi para penentu
kebijakan di pusat maupun di daerah untuk dicoba diterapkan.
Semoga gebrakan yang berawal dari Riau ini
akan bergaung dan berkembang dalam skala nasional ataupun global,
menyempurnakan hasil dari Rio+20 yang dokumennya terkadang dipelesetkan menjadi
the future we don’t want. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar