Jumat, 20 Juli 2012

Marhaban yaa… Bulan Belanja

Marhaban yaa… Bulan Belanja
Jusman Dalle ; Analis pada Fakultas Ekonomi Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar dan Economic Society Research and Humanity Development (SERUM) Institute 
JAWA POS, 19 Juli 2012


KAPITALISME memiliki intuisi untuk abadi karena mampu berinovasi. Demikian ungkapan Ian Bremmer dalam bukunya, The End of Free Market (2011), yang banyak mengupas transformasi kapitalisme dalam kehidupan ekonomi, sosial, dan politik di akhir abad ke-20 hingga memasuki abad ke-21. Kreativitas merupakan satu karakter generik yang mengabadikan kapitalisme seperti dikatakan oleh "nabi kapitalisme" Adam Smith.

Jauh hari sebelum hilal Ramadan bertengger di atas cakra pandang pasca konjungsi di ufuk, kita telah menyaksikan kreativitas dan inovasi kapitalisme terbit benderang dari layar televisi, koran, media online, jejaring sosial, spanduk, baliho, dan berbagai media promosi. Pertunjukan kapitalisme kian mengesankan sekaligus mengenaskan karena memasuki area paling suci dan bertolak belakang selama ini. Ranah agama atau religiusitas versus keberturutan hasrat tanpa batas atau ammaratun bis suu' (hawa nafsu yang cenderung mengajak pada keburukan). 

Kemampuan mendamaikan dua kutub berbeda, yaitu antara kutub transenden Ramadan dan kutub profan kapitalisme, seakan di luar batas nalar. Kita tak bisa menelisik di mana garis pembeda dua wajah yang awalnya paradoks itu. Sebab, kapitalisme mampu menyaru menjadi sosok religius dan keluar dari stigma profan. Demikian pula, ekspresi religiusitas tiba-tiba menjadi loba karena terkooptasi modernisme keberagamaan yang ditawarkan oleh permainan desain iklan atau media promosi. Kini kita terbiasa karenanya.

Gangguan Kejiwaan 

Transmisi kapitalisme di bulan suci membuat warna ketamakan kapitalisme dan perintah menjauhi yang mubazir oleh ajaran agama menjadi absurd. Ramadan, kata Rasulullah Muhammad SAW, semestinya menjadi momentum untuk megetatkan ikat pinggang, meredam hawa nafsu, mengendalikan diri dari ingar-bingar goda duniawi. Tapi, repetisi pesan audiovisual telanjur menyihir alam kesadaran (subconscious) sehingga menyebabkan gangguan kejiwaan (neurosis) dengan laku konsumtif. Mengacu pada terminologi puasa (saum) yang berarti menahan, semestinya Ramadan membuat kita kian mampu mengendalikan diri.

Statistik menunjukkan betapa kian "loba" kita pada bulan puasa. Mengutip data BPS triwulan III 2011 yang terbit November, dalam interval waktu yang bertepatan dengan Ramadan, konsumsi rumah tangga paling tinggi. Dilihat dari sisi penggunaan, komponen PDB Indonesia berupa pengeluaran konsumsi rumah tangga atas dasar harga konstan 2000 meningkat Rp 7,7 triliun dari Rp 339 triliun pada triwulan II menjadi Rp 346,7 triliun pada triwulan III (tumbuh 2,3 persen). 

Sedangkan, pengeluaran konsumsi rumah tangga atas dasar harga berlaku naik signifikan Rp 58,5 triliun dari Rp 983,7 triliun pada triwulan II 2011 menjadi Rp 1.042,2 triliun pada triwulan III 2011. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada triwulan III merupakan yang tertinggi jika dibandingkan dengan periode lainnya dengan angka pertumbuhan mencapai 4,8 persen atas rata-rata PDB 6,5 persen.

Sebagai gambaran, pada 2009, total belanja konsumen di bulan Ramadan dan sebulan sebelumnya mencapai Rp 18 triliun. Penggerak belanja konsumen di pusat-pusat perbelanjaan modern adalah kategori makanan yang permintaannya meningkat 29 persen di supermarket dan 19 persen di minimarket daripada bulan biasa. Bahkan, pada Ramadan 2008, ketika belum terjadi krisis ekonomi global, penjualan makanan di minimarket meningkat 40 persen dan di pasar tradisional naik 19 persen.

Menjelang Idul Fitri, ada peningkatan permintaan 100 persen untuk makanan kecil dan 600 persen untuk sirup. Demikian pula, penjualan soft drink meningkat hingga 50 persen daripada bulan-bulan biasa. Konsumsi cokelat sebagai bahan olahan makanan, minuman, biskuit, roti, dan wafer meningkat hingga 20 persen. Permintaan biskuit dan mi instan, menurut Sribugo, ketua umum Asosiasi Industri Roti, Biskuit, dan Mi Instan (Arobim) meningkat hingga 15 persen.

Tahun ini optimisme konsumen kian tinggi karena ekonomi Indonesia terus membaik. Pada Mei 2012, Nielsen melansir hasil survei global yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan konsumen paling optimistis dengan urutan ketiga di dunia sehingga bisa ditebak jika permintaan (konsumtivisme) akan meningkat signifikan jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Serbuan iklan di televisi sangat menggoda karena di-setting senapas euforia religiusitas, satu variabel penting pendorong konsumtivisme. Tren setiap tahun, belanja iklan di media mencapai puncak di kuartal ketiga ketika Ramadan tiba dengan memanfaatkan premium time seperti menjelang dan setelah berbuka dan saat sahur.

Menurut Nielsen Media Research, jumlah pemirsa televisi pukul 02.00 hingga pukul 06.00 di bulan-bulan biasa hanya sekitar 707 ribu. Pada bulan Ramadan, jumlahnya melonjak signifikan hingga 725 persen menjadi 5,22 juta pasang mata. Acara televisi seperti banyolan dan reality show berkemasan agamis menggandeng produk makanan, minuman, pakaian, operator seluler, hingga produsen kendaraan sebagai sponsor. Ceramah agama, bahkan, tak lolos dari kapitalisasi. Durasi iklan kadung lebih panjang daripada nasihat sang ustad. Jadilah televisi kita full komersialisasi ketimbang nilai (value) dari pesan yang hendak disampaikan.

Pertumbuhan Semu 

Jika kita cermati, belanja rumah tangga maupun belanja iklan justru terjadi pada sektor padat modal dan teknologi yang tidak berpengaruh signifikan terhadap sektor riil tempat sebagian besar masyarakat mencari rupiah. Penikmat pertumbuhannya hanya perusahaan-perusahaan besar atau ritel-ritel modern. Anekdot bahwa bulan Ramadan adalah bulan menghabiskan (rupiah) setelah 11 bulan sebelumnya bekerja mengumpulkan rupiah benar-benar terjadi. Tak ada kebaruan ruhiah pasca Ramadan akibat terlalu fokus "beribadah" di mal, supermarket, dan pusat-pusat perbelajaan lainnya. 

Ramadan kali ini mestinya kita optimalkan, tanpa meninggalkan hak-hak fisik untuk didandani dan diberi makanan bergizi seiring dengan ikhtiar perbaikan iman dan takwa di bulan suci sehingga pantas berhari raya Idul Fitri. Pada titik inilah, prinsip keseimbangan (tawazun) dalam menjalani hidup perlu kita implementasikan. Sebab, kita hendak berucap marhaban yaa Ramadan, bukan marhaban yaa... bulan belanja dalam kapitalisme. Selamat menyambut dan meraih keutamaan bulan suci! Tak ada jaminan kita akan bertemu lagi Ramadan tahun depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar