Jumat, 20 Juli 2012

Esensi Puasa dan Refleksinya dalam Kehidupan Umat


Esensi Puasa dan Refleksinya dalam Kehidupan Umat
Saharuddin Daming ; Komisioner Komnas HAM
SINDO, 19 Juli 2012


Pada bulan Ramadan, sebagai penghulu semua bulan yang menjadi momentum penyelenggaraan ibadah puasa bagi orang-orang yang beriman, terdapat serangkaian hikmah. 

Ada yang dirasakan sebagai sesuatu yang unik, adapula yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan, kemiskinan, kesehatan, solidaritas, bahkan ada yang justru antagonis dengan esensi puasa. Dalam konteks terminologi, misalnya, Syekh Abdullah Yusuf Ali memosisikan puasa sebagai satu-satunya bentuk pengabdian dalam Islam dari seorang hamba kepada Khalik melalui pengorbanan kepentingan diri sendiri dengan menahan seluruh gejolak biologis.Ritual seperti ini sebenarnya bukan hal baru.

Puasa sebagai aktivitas ritual tidak hanya dikenal, tetapi juga diamalkan, oleh berbagai kalangan di luar Islam dengan cara maupun jumlah waktu yang berbeda-beda. Dalam kitab Al- Mishbah, Quraish Shihab antara lain menjelaskan bahwa orang-orang Mesir kuno pun, sebelum mereka mengenal agama samawi, telah mengenal puasa. Dari sini praktik puasa beralih kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Puasa juga dikenal dalam agama-agama penyembah bintang, agama Buddha, Yahudi,dan Kristen.

Dalam kitab Al-Fharasat Ibn an-Nadim menjelaskan bahwa agama para penyembah bintang menggariskan puasa tiga puluh hari setahun, ada pula puasa sunah 16 hari dan ada juga yang 27 hari. Puasa mereka sebagai penghormatan kepada bulan, juga kepada bintang Mars yang mereka percaya sebagai bintang nasib,juga kepada Matahari. Di dalam ajaran Buddha pun dikenal puasa, sejak terbit sampai terbenamnya matahari. Mereka melakukan puasa empat hari dalam sebulan. Mereka menamainya uposatha, pada hari-hari pertama, kesembilan, kelima belas dan kedua puluh.

Orang Yahudi mengenal puasa selama empat puluh hari, bahkan dikenal beberapa macam puasa yang dianjurkan bagi penganut agamaagama ini, khususnya yang mengenang para nabi atau peristiwa- peristiwa penting dalam sejarah mereka. Agama Kristen juga demikian. Walaupun dalam kitab Perjanjian Baru tidak ada isyarat tentang kewajiban puasa, dalam praktik keberagamaan mereka dikenal aneka ragam puasa yang ditetapkan oleh pemukapemuka agama.

Dengan deskripsi tersebut di atas,puasa dalam konteks sosioreligius memang bukan sekadar ekspresi ritual yang bersifat verbalistik berupa penghentian sementara segala bentuk kebutuhan biologis, tetapi the highest value puasa dalam perspektif Islam tidak lain adalah self restraint (pengendalian diri).Tak cuma itu, berpuasa di bulan Ramadan juga mengemban misi sebagai sarana pendidikan dan latihan untuk mengawal dalam sebelas bulan lainnya, baik sebagai sarana pengendalian diri terhadap gejolak nafsu destruktif, maupun sebagai ajang perombakan sikap dan perilaku secara kualitatif.

Uniknya, karena meski puasa dalam konsepsi Islam merupakan aktivitas spiritual yang bertabur ajaran perilaku dalam dimensi sosial ekonomi budaya yang sangat spektakuler, pola perilaku yang direfleksikan dalam realitas kehidupan umat dari masa ke masa ternyata sering tidak signifikan bahkan cenderung paradoksal. Sebagai contoh bisa kita lihat pada dimensi ekonomi.

Hampir semua kita awalnya berkesimpulan bahwa dengan tidak makan dan minum pada bulan Ramadan berarti pengeluaran kita dengan sendirinya mengalami penurunan. Itu berarti saving (tabungan) akan meningkat. Namun, hasil survei umumnya berkesimpulan bahwa pelaksanaan puasa Ramadan, selain gagal memperkecil pengeluaran dan meningkatkan tabungan, justru melahirkan hal yang sebaliknya.

Betapa tidak, karena puasa dengan tidak makan dan minum di siang hari oleh sejumlah orang sering dibalas pada malam hari,terutama pada momentum sahur dan buka puasa.Jika pola konsumsi di luar bulan Ramadan umumnya hanya menyajikan menu standar dan ala kadarnya, menu untuk puasa di bulan Ramadan umumnya dibuat spesial. Selain karena alasan puasa yang memerlukan nutrisi dengan kualitas gizi yang lebih baik,juga ada yang melakukannya sebagai pemicu selera makan lantaran ingar-bingar puasa sering membawa banyak orang dalam ketergangguan nafsu makan.

Tidak mengherankan jika biaya pemenuhan kebutuhan pun meningkat drastis dari hari biasanya. Di sini esensi puasa untuk membentuk pribadi muslim yang lebih ekonomis tidak terwujud. Bahkan justru yang terjadi adalah pemborosan dan pemenuhan tuntutan nafsu di atas standar. Hal serupa juga terlihat pada aspek sosial. Tidak dapat disangkal jika timbulnya kerelaan melakukan aktivitas dengan menahan haus dan lapar dalam berpuasa tidak lain untuk mempertajam tumbuhnya kepekaan sosial.

Sayangnya ajaran luhur puasa ini ternyata tidak begitu tampak dalam manifestasi kehidupan sosial.Kepekaan sosial yang diajarkan puasa lebih sering diekspresikan dalam konteks formal. Bahkan sudah bukan rahasia lagi jika kebanyakan keluarga mapan secara ekonomi yang menjalankan ibadah puasa ternyata lebih sering menghamburhamburkan kekayaan untuk memperkuat status sosial mereka di hadapan kaum elite daripada menyantuni fakir miskin.

Padahal jika saja ajaran kepekaan sosial puasa ini benar-benar diterapkan dari masa ke masa, pemerintah kita tidak perlu melakukan transfer bantuan tunai dari kompensasi subsidi BBM kepada warga miskin. Titik bias yang paling krusial di balik pelaksanaan ibadah puasa bagi umat Islam pada umumnya terlihat pada aspek pembentukan sikap dan perilaku jujur dan adil. Sudah merupakan pengetahuan umum di kalangan kita, kualitas nilai puasa sesungguhnya terletak pada kemampuan mengendalikan emosi destruktif.

Sehingga output dari the highest value puasa tidak lain adalah melahirkan sikap yang konstruktif seperti jujur dan adil itu. Sungguh hal yang sangat ironis karena Ramadan dengan misi luhurnya seperti ini ternyata sering tidak berbanding lurus dengan realitas kehidupan umat dewasa ini.Tengoklah sebagian besar di antara kita yang mengaku sukses menahan lapar dan haus dalam berpuasa, ternyata ikut kebiasaan destruktif seperti ghibah,dusta,fitnah dan lainnya. Bahkan kadang- kadang memperoleh porsi yang lebih besar daripada sekadar menahan haus dan lapar.

Lebih celaka lagi pada fenomena penyalahgunaan amanah umat oleh oknum penyelenggara negara seperti yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum, Kementerian Agama, Mahkamah Agung, dll. Hampir sulit ditemukan logika dalam batas yang paling sederhana untuk menjustifikasi perilaku destruktif seperti ini terjadi pada orang yang mengaku menunaikan ibadah puasa. Padahal, bukankah Rasulullah SAW telah menegaskan bahwa betapa banyak orang yang memperoleh imbalan dari puasanya hanyalah sekadar lapar dan haus.

Mungkinkah terjadinya diskoneksi antara esensi puasa dengan perilaku umat akibat epistemologi pemahamannya yang bias sejak semula ataukah itu lebih karena dominannya kekuatan hedonisme dan materialisme di kalangan umat kita dewasa ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar