Minggu, 15 Juli 2012

Kewajaran Harga Gula


Kewajaran Harga Gula
Adig Suwandi ; Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya,
Pengurus Pusat Ikatan Ahli Gula Indonesia
JAWA POS, 14 Juli 2012

ESKALASI harga bahan kebutuhan pokok, terutama pangan, menjadi pertaruhan bagi rezim mana pun yang berkuasa di Indonesia. Pangan tidak hanya menyangkut tingkat ketersediaan, melainkan juga aksesibilitas harga bagi publik, termasuk kelompok periferal dan kurang beruntung. Kesalahan dalam mendesain arah kebijakan potensial berakibat fatal terhadap kredibilitas kekuasaan dan tergerogotinya reputasi yang telah dibangun. Harga bahan makanan, termasuk gula, selalu merangkak naik dalam momen tertentu. Misalnya, menjelang Ramadan saat ini. 

Selain memberikan kontribusi terhadap besaran inflasi, bola liar harga pangan memiliki signifikansi dampak atas nilai finansial kegiatan ekonomi masyarakat. Karena itu, saat harga meroket, berbagai cara ditempuh negara untuk meredamnya, minimal membuat konsumen tenang dan tidak berspekulasi. Efektivitas di bawah jargon bernama stabilisasi harga sangat ditentukan instrumen yang digunakan.

Gula sebagai komoditas vital-strategis dalam ekonomi pangan Indonesia setidaknya telah menjadikan pemanis berkalori itu sensitif terhadap isu yang berimplikasi sistemik terhadap bekerjanya mekanisme pasar. Secara teoretis, sejak negara tidak lagi mengendalikan harga dalam bentuk intervensi pengaturan stok dan terbentuknya harga secara langsung, hukum ekonomi berlaku mutlak dalam pembentukannya. 

Pengertian konkretnya, harga dipastikan naik saat jumlah barang yang ditawarkan di pasar lebih sedikit dibanding permintaan. Sebaliknya, harga simultan turun bila permintaan pasar melampaui tingkat penawaran barang. Tidak mengherankan kalau sekarang publik dibuat terheran-heran oleh perilaku harga gula yang dipersepsikan tergolong mahal, mengingat panen raya tebu atau masa giling pabrik gula di sentra-sentra produksi tengah berlangsung. Adakah yang salah dalam konstruksi tersebut?

Sejauh ini, harga gula merupakan dilema bagi negara. Keterlibatan multi-stakeholders dalam bisnis gula memiliki beragam kepentingan. Di sana terdapat petani tebu selaku pemasok bahan baku yang harus mendapat harga wajar atas partisipasi yang diberikan dalam menunjang program ketahanan pangan nasional. Ada pula pabrik gula yang harus terus direvitalisasi agar daya saingnya makin kuat guna menghadapi tekanan kompetisi berskala global dalam bentuk makin turunnya harga pokok produksi (unit cost). Selain itu, masih terdapat pedagang yang mendistribusikan dan menjual produk kepada masyarakat. 

Tentu saja, yang paling harus mendapat perhatian ekstra adalah konsumen dengan berbagai stratifikasi serta kemampuan untuk membelinya. Konsumen masih disegmenkan lagi menjadi pengguna langsung, yakni individu atau rumah tangga, serta industri makanan/minuman yang menggunakannya untuk bahan baku. Harga rendah dipastikan menimbulkan antipati petani untuk menanam tebu. Sementara itu, bila harga ekstrem tinggi, tentu kegiatan pengolahan basis usaha kecil dan rumah tangga pengguna gula terpukul.

Tarik ulur kepentingan di antara elemen tersebut tidak bisa dihindarkan. Mungkin menarik untuk menjawab sejauh mana desain industri gula yang mampu menghadapi berbagai perubahan lingkungan strategis dan kapabilitas melakukan penyesuaian struktural tanpa harus kehilangan pamor sebagai entitas bisnis (business entity) dilaksanakan secara konsisten dan akuntabel. Dalam beberapa kali terjadi lonjakan harga gula, yang bisa dilakukan negara hanyalah memproduksi imbauan, baik kepada produsen maupun distributor, untuk melakukan pengendalian. 

Negara tidak memiliki stok yang bisa digunakan untuk intervensi dan memengaruhi sisi penawaran barang di pasar yang membuat harga bergerak turun. Lebih dari itu, negara tidak memiliki dana untuk membeli gula di pasar dengan harga yang terbentuk (yang pasti lebih mahal) dan kemudian melepasnya kepada konsumen berdasar referensi harga yang dikehendaki. Tindakan yang pasti memerlukan subsidi tersebut sulit dilaksanakan negara pada situasi sekarang. Instrumen yang dapat dilakukan negara hanyalah memantau stok di berbagai daerah agar kelangkaan dapat dihindarkan. Pemantauan yang kredibel memungkinkan pergerakan barang mengarah pada sasaran sekaligus mencegah akumulasi di sentra produksi. 

Terlepas dari persoalan distribusi, upaya peningkatan produktivitas dan pembangunan pabrik baru yang belum terjawab tentu memerlukan sentuhan kebijakan lintas kementerian, kendati sudah ada road map swasembada gula 2014. Hanya melalui produktivitaslah unit cost akan mampu bersaing dengan para pemain global. 

Pada sisi budi daya (on farm), agenda penggantian varietas dengan produktivitas tinggi dan pengaturan persentase berdasar tingkat kemasakan, penerapan praktik budi daya terbaik (best agricultural practices), peningkatkan kesuburan tanah secara berkelanjutan, serta perbaikan manajemen panen merupakan sejumlah inventarisasi persoalan yang menjadi pekerjaan rutin. Sementara itu, pada level pabrik (off farm), revitalisasi ke arah peningkatan kapasitas, efisiensi di berbagai bidang, dan upaya membuat pabrik makin ramah lingkungan (environment friendly) juga menjadi sorotan publik. 

Sambil format revitalisasi on dan off farm terus disempurnakan, harga tetaplah mengikat petani untuk memutuskan apakah menanam dan melakukan ekspansi areal tebu atau tidak. Tingkat kewajaran harga gula seharusnya tidak semata-mata dipersepsikan dari imbasnya terhadap inflasi, tapi juga bagaimana pendapatan petani dikonversikan terhadap harga barang kebutuhan lain (term of trade).

Kita tidak bisa serta-merta menilai tingkat kemahalan tersebut dari besaran rupiah tanpa harus menimbang harga barang lain yang diperlukan petani. Takaran tingkat kemahalan harus proporsional agar tidak menjadikan petani sebagai korban kesalahan dalam setiap kenaikan harga yang semua pasti di luar kendali mereka. Apalagi, sejumlah komponen biaya usaha tani tebu lebih dulu meningkat luar biasa. 

Masyarakat lupa bahwa tingkat konsumsi gula Indonesia tidaklah terlalu besar, hanya 12 kg per kapita per tahun atau 1 kg per bulan dan dua sendok makan setiap hari. Karena itu, kalaupun terjadi lonjakan harga spektakuler, dampaknya tidak terlalu mengguncang pengeluaran rumah tangga. Itu berbeda dari beras yang tingkat konsumsinya sudah 139 kg. Lagi pula, kalau gula mahal, masyarakat bisa mereduksi tingkat konsumsinya. Berbeda dari beras yang telanjur menjadi makanan esensial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar