Sabtu, 21 Juli 2012

Kiai Sarungan Itu Pintar


Kiai Sarungan Itu Pintar
Moh Mahfud MD ; Guru Besar Hukum Konstitusi
SINDO, 21 Juli 2012

Sabtu, 14 Juli 2012 lalu, dalam penerbangan dari Bandar Lampung ke Jakarta, saya duduk bersebelahan dengan Erwin M Singajuru, seorang anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

Di antara begitu banyak masalah yang kami bicarakan, Erwin menceritakan kesannya kiai-kiai pondok pesantren itu banyak yang pandai. Sebagai anggota DPR, saat reses bulan lalu Erwin kebagian tugas untuk melakukan kunjungan kerja (kunker) ke Jawa Timur dengan target konstituen para pimpinan pondok pesantren. Yang dibicarakan adalah masalah pendidikan agama, termasuk pendidikan di pondok pesantren.

Menurut Erwin, dirinya sangat terkesan dengan para kiai yang ditemuinya karena ternyata para kiai itu pandaipandai dan sangat paham atas perkembangan sosial dan politik nasional.Meski datang dengan hanya memakai sarung dan baju sederhana, ternyata para kiai itu pandai-pandai,well informed,dan visioner. Kata Erwin, para kiai itu bukan hanya nyambung dalam arti mendengar dengan baik tentang berbagai persoalan bangsa dan negara, tetapi juga sangat lihai menganalisis informasi yang diserapnya dengan berbagai teori yang biasanya disitirolehakademisiataupengamat. Mereka tahu persoalan bangsa dan berbagai kunci masalahnya.

“ Saya tak menyangka, kiai-kiai itu ternyata pandai-pandai. Mereka itu ternyata bisa menjadi narasumber atas berbagai persoalan dan solusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seharusnya mereka itu cocok menjadi anggota DPR atau menteri,” kata Erwin memuji- muji. Saya yakin Erwin melontarkan pujian itu bukan karena dia berbicara dengan saya yang notabene lulusan pondok pesantren dan sampai sekarang bolak-balik keluar dan masuk pondok pesantren.

Kesan itu murni muncul dari hatinya setelah bertemu beberapa kiai yang ternyata melek informasi, mempunyai visi, dan kepedulian yang tinggi terhadap persoalan bangsa. Saya katakan kepada Erwin bahwa pimpinan pondok pesantren itu, meskipun selalu memakai sarung dan pernah diejek sebagai “kaum sarungan yang ndeso”, adalah orangorang yang pandai. Sekarang ini bahkan banyak pengasuh pondok pesantren yang lulusan perguruan tinggi dari dalam dan luar negeri.

Luar negeri tempat mereka belajar pun bukan hanya Mesir atau Timur Tengah,melainkan juga Eropa, Amerika,dan Australia.Dalam kesehariannya mereka masih banyak yang tetap saja nyaman memakai sarung dengan leher dan bahu yang kadangkala dililiti sorban. Mereka juga sangat familier dengan information technology (IT). Di pondok pesantren sekarang ini sudah ada laboratorium komputer, laboratorium bahasa,dan berbagai laboratorium lain.Banyak kiai yang bisa berasyik-asyik dengan Twitter, Facebook, atau iPad.

Kalau kita menjelajah dunia maya, banyaklah nama-nama orang beken dari pondok pesantren yang ikut meramaikan jejaring sosial dengan IT modern. Yang sangat penting, hampir semua kiai mempunyai sikap dan visi nasionalisme yang berwatak inklusif yang sangat dibutuhkan oleh bangsa kita. Mereka toleran terhadap perbedaan dan sangat peduli terhadap kekuatan dan keutuhan bangsa. Mereka mengajarkan dan menghayati cara toleran dalam kebersamaan di bawah semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Mereka mau mempertaruhkan apa pun demi bangsa dan negara Indonesia.Mereka sungguh-sungguh telah ikut membangun dan mengawal Indonesia dengan ideologi dan konstitusinya.

Dalam tilas sejarah kita para kiai dengan pondok pesantrennya telah ikut berjuang mendirikan negara Indonesia dengan paham kebangsaan yang religius. Bagi mereka, kemerdekaan harus diraih karena kemerdekaan itulah pintu gerbang kesejahteraan rakyat yang harus mereka bangun dan perjuangkan. Sesudah Indonesia merdeka, mereka mengajarkan santrisantrinya untuk tidak berlaku ekstrem dan sewenang-wenang terhadap kelompok lain.

Kata mereka, memilih keyakinan dan agama itu adalah urusan masing-masing orang,perbedaan etnis dan daerah itu tak boleh menjadi penyebab perpecahan. Kepada santri-santrinya, mereka mengajarkan bahwa, “Kalau Tuhan menghendaki umat manusia itu menyatu dalam satu paham dan golongan, tentu Tuhan bisa melakukannya, tetapi Tuhan sengaja menciptakan perbedaan agar bisa saling berlomba dalam meraih kemajuan.” Dikuatkannya semboyan, hubbul wathon minal iman, cinta tanah air itu sebagian dari iman.

Diajarkannya sabda Nabi bahwa perbedaan antarumat itu rahmat karena dengan perbedaan-perbedaan itulah kemajuan dan kesejahteraan bisa dicapai. Pada saat Indonesia yang sudah merdeka menghadapi ancaman atas keutuhan teritorial dan ideologinya para kiai selalu ikut turun tangan untuk mengatasinya. Sayangnya, banyak para kiai itu yang setelah ikut menyelesaikan persoalan terus balik badan kembali ke pondok dan tak mau ikut-ikut mengurus siapa yang harus menjadi apa.

Mereka terlalu tawadu untuk misalnya berebutan jabatan atau terlibat dalam konflik politik. Akibatnya setelah satu babak persoalan bisa diselesaikan biasanya muncul problem baru karena follow up dari hasil penyelesaian itu oleh para kiai tak lagi diikuti, diserahkan kepada orang lain untuk mengelolanya. Mungkin soal mendinamisasi sikap tawadu inilah yang sekarang perlu dilakukan oleh para kiai yang pandai dan santun itu.Kalau sikap tawadu tidak didinamisasi, ya sejarah munculnya kebobrokan oleh kaum korup akan terulang terus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar