Sabtu, 21 Juli 2012

Merajut Ukhuwah di Tengah Perbedaan


Merajut Ukhuwah di Tengah Perbedaan
Marpuji Ali ; Sekretaris PP Muhammadiyah
SINDO, 21 Juli 2012


Mengingat ketinggian bulan belum mencapai 2 derajat, jauh-jauh hari sebelumnya sudah diprediksi bahwa awal Ramadan tahun ini ada perbedaan. Prediksi itu tidak meleset, akhirnya pemerintah menetapkan awal bulan Ramadan 1433 H jatuh pada Sabtu, 21 Agustus 2012.

Padahal sebelumnya berdasarkan hisab, Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menetapkan awal Ramadan jatuh satu hari sebelumnya, Jumat, 20 Agustus 2012. Dengan demikian, umur bulan Ramadan bagi yang pertama berlangsung 29 hari, sedangkan yang sudah mulai berpuasa sejak Jumat akan genap 30 hari. Tampaknya perbedaan dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadan akan terus berlangsung di negeri ini, selagi belum ditemukan formula yang mampu menjembatani ragam metode dalam menentukan awal bulan.

Memang kenyataan ini terdengar tidak mengenakan, atau malah menjengkelkan. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang berpikiran kritis dan maju berseloroh demikian: Bagaimana mungkin orang lain dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah mampu mengeksplorasi dan bertamasya ke bulan, sementara umat Islam masih sibuk mendefinisikan dan mengintip bulan awal (hilal) itu.

Seolah-olah sinyal Ahmad Syafii Maarif, mantan ketua PP Muhammadiyah, benar adanya bahwa kita masih berada di buritan sejarah, berada di luar arus kemajuan peradaban modern yang dibangun dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Namun, sekali lagi, inilah realitas umat Islam yang mana pihak-pihak yang berbeda pandangan itu harus tetap menjunjung tinggi perbedaan, termasuk keragaman dalam menentukan awal bulan.

Problematika keragaman penentuan awal bulan semakin rumit dan diperuncing oleh sikap pemerintah yang berpihak dan memilih salah satu metode, dan seolah-olah menafikan dan menganaktirikan pihak-pihak yang memiliki metode tidak sama dengannya. Dalam hal ini, pemerintah belum mampu menjadi model dan teladan dalam membangun ukhuwah dengan cara berdiri di atas semua golongan dan mengayomi semua anak bangsa yang demikian beragam.

Pada posisi demikian, ketika tidak ada model dari atas yang patut dicontoh, kekuatan- kekuatan masyarakat sipil harus mengambil peran yang lebih nyata dalam membangun komunitas yang bergiat dalam upaya menyulam keragaman.Kekuatan-kekuatan kultural inilah yang mampu meredam perbedaan dan menjadi minyak pelumas dalam membangun harmoni sosial keagamaan.

Perintah Berpuasa

Terlepas dari problem penentuan awal Ramadan sebagaimana dipaparkan di muka, perintah untuk menjalankan ibadah berpuasa bagi orangorang yang beriman tersurat secara jelas dalam Alquran: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas Kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum Kamu agar Kamu bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu” (QS. [2] Al-Baqarah: 183-184). Yang dimaksud dengan “beberapa hari yang tertentu”, yaitu bulan Ramadan.

Pemahaman ini sejalan dengan bunyi ayat selanjutnya: “Karena itu, barangsiapa di antara Kamu shahida (mengetahui/menyaksikan) bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu” (QS. [2] Al-Baqarah: 185).Kata “bulan” dalam ayat itu sudah jelas merujuk pada bulan Ramadan. Untuk mengetahui datangnya bulan Ramadan secara garis besar dapat dilakukan dengan jalan yaitu rukyat dan hisab.

Rukyat adalah melihat atau hal melihat yaitu metode penentuan waktu dengan cara melihat langsung. Sedangkan hisab artinya perhitungan, yaitu metode penentuan waktu dengan melakukan perhitungan. Kedua-duanya memiliki landasan keagamaan yang kokoh dan merupakan bagian dari masalah ijtihadiyah sehingga terbuka ruang yang luas untuk terjadi perbedaan pendapat. Dalam kondisi demikian, yang perlu ditandaskan bahwa dalam masalah ijtihad masing-masing pihak tidak boleh saling menafikan.

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berpuasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah (beridulfitrilah) karena melihatnya, dan apabila dalam keadaan berawan, maka sempurnakanlah bulan Sakban 30 (hari)”. Hadits yang memiliki potongan kalimat demikian ini terdapat baik dalam Shahih Bukhari maupun Shahih Muslim.

Sejarah mencatat bahwa Nabi dan para sahabat memasuki bulan Ramadan dan Syawal setelah melihat atau ada laporan yang melihat hilal. Hadits inilah yang sering dijadikan rujukan para penganut metode rukyat.

Para penganut metode hisab di samping merujuk pada sabda Nabi di atas, juga melandaskan pada sabda Nabi Muhammad SAW yang berbunyi: Kami adalah umat yang ummy, tidak dapat menulis dan tidak dapat menghisab, bulan itu begini dan begini (menggunakan isyarat tangan), yakni sesekali dua puluh sembilan kali sesekali tiga puluh (HR.Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar).

Hadits ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad SAW diutus di tengah-tengah kaum yang belum bisa menulis dan menghisab.Tentu saja bukan berarti bahwa umat Islam selamanya seperti begitu. Bukankah ajaran Islam mendorong umatnya untuk terusmenerus mencari ilmu pengetahuan sebagai sarana menyingkap tanda-tanda kebesaran Allah?

Penentuan awal bulan dengan cara yang sederhana,melihat hilal dengan mata adalah yang paling cocok untuk kondisi umat Islam saat itu,mengingat ilmu hisab belum dikuasai. Jadi ’illah Hadits tersebut adalah umat yang belum mampu menulis dan membaca. Dalam kaitan ini terdapat kaidah usul fikih yang menyatakan bahwa “ketentuan hukum berlaku menurut ada atau tidaknya ‘illah”.

Karena itu,ketika ilmu hisab telah dikuasai oleh umat Islam sebagai alat perhitungan yang lebih akurat dan mantap untuk menentukan awal bulan,dengan sendirinya bisa digunakan untuk menyempurnakan cara rukyat,penentuan awal bulan secara tradisional. Inilah bangunan berpikir yang digunakan oleh golongan yang memakai metode hisab. Demikianlah landasan keagamaan dan cara berpikir masing-masing metode penentuan awal bulan.

Penjelasan singkat tersebut mudah-mudahan semakin memperjelas kedudukan setiap metode dan mampu menyingkap sisi-sisi permasalahan yang masih gelap.Meningkatnya saling pemahaman diharapkan mampu mempererat ukhuwah islamiah yang telah terjalin dengan baik selama ini. Allahberfirman: “Kemudian jika Kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunah), jika Kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”( QS.[5] Al-Nisa’: 59).

Akhirnya, sebagai pamungkas, marilah kita sambut bulan Ramadan 1433 H ini dengan mengamalkan tuntunan agama Islam,baik yang wajib maupun yang sunah. Puasa Ramadan tentu saja wajib dilaksanakan dan disempurnakan dengan amalan-amalan sunah seperti qiyamul lail (tarawih), tadarus dan tadabbur Alquran, memperbanyak infak dan sedekah, itikaf, dan sebagainya.

Seluruh amalan tersebut kita lakukan dengan baik sesuai tuntunan agama Islam sehingga tujuan berpuasa untuk mentransformasikan orang-orang beriman menjadi orang-orang yang berkualitas takwa dapat terwujud. Produk ibadah puasa adalah lahirnya manusia berkualitas takwa, yaitu orangorang yang menyadari kehadiran Allah di mana pun mereka berada. Bukan hanya ketika di masjid tampak saleh, tapi juga saat di kantor,di tempat kerja mampu menunjukkan kesalehannya.

Kesadaran inilah yang mampu meredam korupsi yang sudah demikian menggurita, sampai-sampai pengadaan Alquran untuk menyemarakkan bulan Ramadan juga turut dikorupsi. Manusia berkualitas takwa inilah yang benar-benar dibutuhkan bangsa ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar