Minggu, 15 Juli 2012

Bom Waktu Berdetak di Athena


Bom Waktu Berdetak di Athena
Abdul Rokhim ; Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 14 Juli 2012

ENTAKAN keras badan pesawat airbus milik Emirat Airlines membangunkan hampir sebagian besar di antara 210 penumpang saat landing di Bandara Athens pada Selasa (9/7) yang terik. Setelah terbang 4,5 jam dari Dubai, penumpang disambut dengan hamparan pemandangan padang rumput tandus, diselingi bukit-bukit batu yang terpampang dari jendela kabin. 

Apakah kontur alam itu yang membuat warga Yunani gampang tersulut amarah seperti yang banyak terlihat di media akhir-akhir ini?

Jawaban pertanyaan itu langsung didapat saat memasuki pusat kota. Tulisan grafiti dalam bentuk simbol kelompok, ungkapan protes, atau cuma gambar kartun bertebaran di hampir semua gedung. Kantor bank, roll door toko, dinding pembatas, bahkan tong sampah, menjadi bidang gambar favorit coret-coret dengan warna mencolok tersebut. Seluruh penghuni kota seakan menerima semua itu sebagai bagian dari hiasan kota, melengkapi gedung-gedung tua yang terawat baik. 

Warga Yunani, khususnya Athena, memang sangat bangga dengan masa lalunya. Siapa yang tidak kenal Iskandar Agung (The Great of Alexander)? Dari mana dia berasal? Di negara mana tokoh-tokoh filsuf dunia seperti Aristotelis, Socrates, Plato lahir? Begitu kalimat pembuka sebuah brosur promosi pariwisata yang terbaca saat antre keimigrasian di Bandara Athens. Bahkan, di depan hotel bujet tempat penulis menginap yang kebetulan juga bernama Hotel Aristotelis, terpampangbillboard besar iklan sebuah produk bir dengan tulisan mencolok, "51.807 Greek words used in languages of the world, 5.000 years of civilization, 2.600 years since the bird of democracy".

Baiklah, itu semua masa lalu. Bagaimana sekarang? Tumpukan data statistik yang disodorkan Abdul Fatah Zainal, kepala perwakilan sementara Indonesia di Yunani dan minister counselor, langsung membuat kening berkerut. Bangsa yang dulu pernah menguasai wilayah Laut Tengah, Laut Hitam, hingga pegunungan Kaukus itu kini sedang sakit. Ekonomi Yunani dengan populasi 10.787.697 (menurut data sensus 2011), luas 131.944 kilometer persegi, dan kepadatan penduduk 85,3 orang per kilometer persegi sejak 2009 terguncang.
Krisis yang dipicu membengkaknya utang negara itu tiga tahun kemudian menciptakan "monster" baru, yakni pengangguran yang mencapai 1.120.0970 orang atau 22,6 persen di antara penduduk usia angkatan kerja pada kuartal pertama 2012. Angka tersebut melonjak 57,3 persen daripada periode yang sama tahun lalu. Menelusuri data berikutnya, angka-angka yang terpampang semakin mengerikan. Sebab, dari kelompok umur, angka pengangguran tertinggi justru terjadi di kelompok usia 15-24 tahun (52,7 persen). Tenaga kerja baru atau fresh graduate yang memiliki semangat dan idealisme tinggi dalam bekerja justru terbengkalai. Sebuah bom waktu dengan daya ledak mengerikan sedang berdetak di Yunani.

Ingin menguji data tersebut di lapangan, penulis mengunjungi beberapa pusat aktivitas kelompok anak muda. Hanya selemparan batu dari Hotel Aristotelis, terdapat banyak kelompok anak muda yang sedang berkumpul di Omnia Square, sebuah hamparan lantai seluas sekitar 2.000 meter persegi dengan monumen bergaya patung kubisme menjulang di tengahnya. Trainos Vaviadis, 24, yang mengaku bekerja membantu ayahnya menjaga kedai buah di pinggir stasiun kereta bawah tanah metro di Monasteraki, menceritakan bahwa di antara enam teman kuliah yang baru lulus, hanya satu yang mendapat pekerjaan di sebuah kapal pesiar di Pulau Kreta. Dia bersama empat yang lain luntang-lantung. Untuk sekadar mendapat uang saku, Vaviadis yang lulusan jurusan sejarah University of Athens terpaksa mau bekerja dengan ayahnya menjaga kedai kaki lima. "Ini seperti mengulang siklus buruk 60 tahun lalu," ungkapnya dengan berat.
Pada akhir 1940-an, anak-anak muda Yunani memang pernah ramai-ramai pergi ke luar negeri (diaspora) untuk mencari pekerjaan karena buruknya ekonomi negara pasca Perang Dunia II. "Kini hal itu terulang dengan kondisi lebih buruk karena yang ke luar negeri bukan lagi anak muda dengan pendidikan biasa, melainkan juga insinyur, dokter, teknisi, dan ahli-ahli sejarah seperti saya dan teman-teman," lanjutnya dengan nada yang semakin memelas.

Lain lagi cerita Christina Tchatchou, 23. Mengenyam pendidikan tidak sebaik Vaviadis yang mendapat gelar sarjana sejarah, nasib Tchatchou semakin tidak menentu. Sejak krisis menghantam pada 2009, sudah enam kali lulusan sekolah pariwisata di Acropolis itu berganti pekerjaan dengan kondisi pendapatan yang terus menurun. Sebelum krisis, dia adalah staf purchasing sebuah perusahaan importer mebel. Pemasok ke pabriknya kebanyakan supplier dari Asia, termasuk Indonesia. Karena itu, dia mengenal baik Solo, Jepara, dan Bali. ''Meskipun saya belum ke sana, banyak teman kerja saya yang bilang tempat-tempat itu indah," ungkapnya saat ditemui di gerai penjualan pulsa dan ponsel di Kolonika Square, Athena. 

Sejak krisis menghantam, nasib Tchatchou ikut tersungkur. Perusahaan tempat dia bekerja yang banyak memasok hotel-hotel di pulau wisata di Yunani Selatan tutup akibat sepi order. Sebab, tidak banyak hotel baru yang dibangun. Mulailah petualangan Tchatchou berganti-ganti pekerjaan. Mulai SPG showroom mobil, penjaga toko yoghurt, guide musiman, hingga akhirnya menjadi penjaga gerai pulsa operator Cosmote. "Dibandingkan gaji saya di perusahaan mebel dulu, gaji saya kini tinggal sepertiga," ungkapnya. 

Namun, karena pekerjaan baru tidak mudah didapat, gadis yang mengecat merah seluruh rambutnya itu tetap bertahan di pekerjaannya sekarang. Dengan tetap memasang senyum manis, Tchatchou berseloroh sudah tiga tahun tidak mengganti play list musik di ponselnya. "Pendapatan buruk membuat kita semakin sulit mendapat kesenangan dari hobi, termasuk mendengarkan musik," katanya. Lantas, soal cat rambut yang modis? Ditanya demikian, wajah Tchatchou semakin muram. "Selain gaji yang rendah, saya harus berganti model rambut tiap bulan, menyesuaikan tema iklan perusahaan. Meskipun biaya diganti, ini adalah tahap hidup yang terberat buat saya," keluhnya. 

Kesulitan yang dihadapi Christina Tchatchou dan Trainos Vaviadis tersebut memang sulit diprediksi kapan berakhir. Seiring dengan tarik ulur pemerintah Yunani dengan Troika yang terdiri atasi wakil Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Dana Moneter Internasional (IMF), jumlah perusahaan yang gulung tikar semakin bertambah. Seperempat di antara semua perusahaan di Yunani tutup sejak krisis dimulai pada 2009. Kondisi lebih parah terjadi pada usaha kecil. Jumlah perusahaan skala kecil dan menengah yang bangkrut mencapai separo jumlah yang terdaftar di pemerintah. 

Hidup semakin susah. Namun, sejarah Yunani menunjukkan, jika seribu kali Yunani terpuruk, seribu satu kali pula negara tersebut bangkit. Kebangkitan kali kesekian terjadi setelah diaspora pasca Perang Dunia II dan perang sipil pada periode 1940-an. Selama dua dasawarsa lebih, Yunani membuat kagum dunia dengan menciptakan fenomena "Greek economic miracle". Pertumbuhan ekonomi Yunani selama periode 1950-1973 rata-rata mencapai 7 persen dan merupakan yang tertinggi kedua setelah Jepang. Kini, siklus keterpurukan itu datang lagi. Akankah juga segera disusul dengan periode keemasan ?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar