Kamis, 12 Juli 2012

Industri Hilir Pertanian

Industri Hilir Pertanian
Khudori ; Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), 
Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat

SINDO, 12 Juli 2012


Berbagai usaha dilakukan pemerintah untuk mendorong dan mengembangkan industri hilir, khususnya industri berbasis bahan baku komoditas pertanian. Berbagai usaha sudah dilakukan. Namun, industri hilir berbasis komoditas pertanian belum begitu berkembang. 

Berbagai komoditas unggulan, seperti minyak sawit, karet, kopi, kakao, teh, rempah-rempah, dan produk biji-bijian, dijual dalam bentuk mentah dengan nilai tambah rendah. Ironisnya, setelah diolah produk jadi itu membanjiri pasar kita.Yang meraih keuntungan tentu importir yang mengolah bahan mentah itu. Industri (hilir) pertanian sebagai pertanda keberhasilan transformasi ekonomi nasional jauh panggang dari api.

Untuk mendorong industri hilir komoditas pertanian diusulkan menerapkan bea ekspor atau menutup ekspor bahan mentah (baku). Pemberlakuan bea ekspor diusulkan untuk kelapa, kelapa sawit (CPO), dan kakao. Sedangkan penutupan ekspor bahan mentah diusulkan untuk rotan. Alasan klasik selalu mengiringi usulan ini: bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah akan menjamin pasokan bahan baku bagi industri domestik.

Hal ini akan mendorong perkembangan industri hilir. Pertanyaannya, benarkah bea ekspor atau penutupan ekspor bahan mentah langkah tepat mendorong industri hilir? Bahan baku merupakan unsur penting bagi berkembang- tidaknya industri hilir. Ketika bahan baku tersedia berkesinambungan industri hilir akan mendapatkan kepastian pasokan berproduksi sepanjang tahun dengan harga rendah.

Masalahnya, bahan baku bukan satu-satunya penentu berkembang-tidaknya industri hilir. Di luar bahan baku ada lembaga keuangan (perbankan), ketersediaan infrastruktur pendukung, ekonomi biaya tinggi akibat pelbagai pungutan, beban pajak yang memberatkan, dan berbagai insentif yang tidak mendukung. Tanpa dukungan memadai dari semua faktor itu, ketersediaan bahan baku tidak akan menjamin industri hilir berkembang.

Bahan baku pun sia-sia. Salah satu contohnya bea ekspor minyak sawit mentah (CPO). Berbagai kajian menunjukkan, bea ekspor bukan instrumen yang tepat untuk mendorong industri hilir. Karena kenaikan rata-rata 1% bea keluar hanya menurunkan ekspor rata-rata 0,36% (Susila, 2008). Artinya, ekspor tidak elastis terhadap perubahan bea keluar.

Kenaikan bea keluar tak akan efektif mendorong industri hilir sawit karena tidak otomatis membendung ekspor CPO, terutama saat harga produk primer perkebunan amat tinggi seperti saat ini. Selain itu, karena posisinya kuat, pengusaha juga akan mencari kompensasi kenaikan bea keluar, baik ke hilir maupun hulu. Sebagai pihak yang paling lemah, petani akan jadi korban. Eksportir akan mentransfer beban bea keluar itu ke petani.

Dengan bea keluar hanya 5% gross margin petani turun Rp540.000/hektare /tahun. Dengan penguasaan lahan 3,6 juta hektare dari 8,36 juta hektare sawit oleh petani, pendapatan petani yang ditransfer ke eksportir atau pemilik industri refinery senilai Rp1,94 triliun. Ini perampasan legal dengan kedok bea ekspor. Sungguh tidak adil petani harus menyubsidi industri hilir dan eksportir yang kaya.

Dengan struktur perdagangan produk kelapa sawit yang masih dibelit masalah struktural seperti di Indonesia, dampak distortif dari bea ekspor CPO amat nyata. Selain menurunkan pendapatan petani, kenaikan bea keluar berdampak negatif pada industri hulu sawit yang dicerminkan oleh penurunan harga di tingkat produsen (petani), areal, produktivitas, dan produksi.

Menurut kalkulasi Oktaviani (2007), bea keluar 6,5% dan 15% akan menekan variabel makroekonomi (inflasi, product domestic brutto /PDB, dan upah riil). Bea keluar 6,5% dan 15% justru mendorong peningkatan ekspor CPO Malaysia, saingan utama Indonesia, masing-masing sebesar 2,4% dan 4,9%. Dampak yang tidak diinginkan semacam ini juga ditemukan pada komoditas pertanian lainnya. Menurut Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo), setelah 1,5 tahun penerapan bea ekspor, industri pengolahan kakao hingga kini tidak berkembang.

Menurut data Askindo, delapan pabrik pengolah kakao kini mati suri dan terancam tutup, bahkan sudah ada yang melakukan PHK karyawan. Bea keluar hanya cocok untuk industri yang mempunyai modal besar, jaringan pemasaran, dan produk bervariasi. Artinya, masalah industri hilir kakao bukan persoalan bahan baku. Karena itu, harus ditelisik terlebih dahulu secara saksama apakah benar biaya bahan baku penyebab tidak berkembangnya industri pengolahan komoditas pertanian dalam negeri.

Hal ini penting karena yang memikul beban bea ekspor adalah petani. Kita dapat belajar dari kasus perkebunan, kehutanan, dan perikanan laut. Data serial waktu yang cukup panjang, 1960-2000, menunjukkan bahwa pada periode tersebut harga-harga di pasar dunia untuk: minyak sawit turun dari USD1.102 ke USD307 per ton; minyak kelapa turun dari USD1.507 ke USD446 per ton; kakao turun dari USD cent 285 menjadi USD cent 90 per kg; dan karet turun dari USD cent 377 menjadi USD cent 68 per kg.

Secara agregat perkembangan sama, yaitu harga riil produk pertanian turun dari indeks 208 pada 1960 menjadi 87 pada 2000 dan indeks harga bahan baku pertanian turun dari indeks 220 pada 1960 menjadi 91 pada 2000 (pada 1990 = 100) (Pakpahan, 2004). Potret terbaik bisa dilihat pada industri berbasis kehutanan. Setelah jutaan hektare hutan dieksploitasi dan Indonesia berubah menjadi penghembus gas-gas rumah kaca, industri berbasis kehutanan tidak berkembang.

Di bidang perikanan laut kurang-lebih sama: setelah laut dieksploitasi berlebih, industri berbasis perikanan laut juga tidak berkembang. Di tengah melimpahnya sumber daya perikanan, kini kita justru impor ikan. Untuk mendorong industri hilir komoditas pertanian, solusinya tidak bisa dipukul rata.Masing-masing komoditas memiliki karakteristik persoalan berbeda. Untuk mendorong industri hilir, kebijakan mustinya diarahkan untuk mengatasi masalah riil yang jadi penyebab lambatnya industri hilir pertanian.

Pertama, memudahkan industri hilir menembus pasar yang didominasi perusahaan multinasional, seperti kebijakan tarif, promosi, dan kerja sama bilateral/multilateral. Kedua, menurunkan tarif bea masuk untuk mesin dan bahan penolong industri hilir perkebunan. Ketiga, melakukan harmonisasi tarif yang belum harmonis. Keempat, memberikan insentif investasi dalam bentuk keringanan pajak (tax holiday), kemudahan izin investasi, dan dukungan infrastruktur yang memadai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar