Jumat, 20 Juli 2012

Dramatisasi Agama saat Ramadan


Dramatisasi Agama saat Ramadan
Muhammadun ; Analis Kemasyarakatan di Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
JAWA POS, 20 Juli 2012

WAJAH televisi di Indonesia menyajikan drama religius dalam setiap tayangannya sejak menjelang Ramadan sampai hari raya nanti. Drama religius itu tampak dalam sinetron, iklan, film, dan sebagainya. Mulai sahur sampai menjelang sahur kembali, tayangan mendadak menjadi religius. Yang sebelumnya tak berjilbab dan tak bersongkok tiba-tiba penuh dengan jilbab dan songkok.

Drama religius tersebut selalu hadir setiap Ramadan tiba. Sampai-sampai, sebagian umat Islam menghabiskan waktunya di depan televisi, meninggalkan majelis taklim untuk belajar agama. Ulama dan kiai ditinggalkan, lebih memilih selebriti yang mendadak menjadi ustad.

Drama religius itulah yang oleh Erving Goffman dalam The Presentation of Self in Everyday Life (1982) dinamakan dramaturgi. Para artis memainkan drama sinetron religius sesuai dengan pesan dan arahan sutradara, bukan atas dasar ajaran agama. Semua babak kisah telah didesain secara dramatis, sehingga terjadi berbagai akting yang memukau dan penuh sensasi.

Dalam dramaturgi, identitas manusia bisa saja berubah-ubah, bergantung interaksi dalam sebuah peran. Cara artis menguasai interaksi tersebut dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Artis adalah pemain yang menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui ''pertunjukan dramanya sendiri''.

Goffman memperkenalkan istilah ''impression management'' bahwa manusia merupakan pemain drama yang sangat lihai. Manusia membangun konsep dan manajemen drama untuk mencapai tujuan. Agar pertunjukan drama religius semakin cerdas, sang aktor akan memperhitungkan setting, kostum, penggunaan kata (dialog), serta tindakan nonverbal lain. Tentu, itu bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik dan memuluskan ke tujuan.

Karena mencari tujuan tertentu, yang dilakukan sang aktor drama religius ketika berada di atas panggung (front stage) dan di belakang panggung (backstage) sungguh berbeda. Ketika berada di atas panggung, drama religius benar-benar dimainkan sesuai dengan peran dan sebaik-baiknya agar penonton (rakyat) memahami tujuan perilaku kita. Perilaku kita dibatasi konsep-konsep drama yang bertujuan membuat drama yang berhasil. Tapi, ketika berada di belakang panggung, sang aktor akan bermain sesuka hatinya.

Dramaturgi Beragama

Seorang filosof bernama Kenneth Duva Burke menyatakan bahwa hidup bukan sekadar seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. Setiap manusia merupakan aktor dalam kehidupan masing-masing. Umat Islam sedang memainkan drama hidupnya dalam berpuasa pada Ramadan. Sementara itu, televisi dan industri perfilman juga memainkan drama sendiri. ''Seluruh elemen memainkan drama sendiri-sendiri, asalkan jangan merusak keindahan kehidupan yang telah dititahkan,'' lanjut Burke.

Sayangnya, drama religius yang dipertontonkan dalam televisi menimbulkan dramaturgi beragama. Agama dijadikan drama dalam komoditas industri, sehingga menghadirkan banyak keuntungan. Yang mereka perankan ketika memainkan drama dalam film atau yang lain sama sekali tak berkaitan dengan kehidupan mereka di luar drama tersebut. Karena itu, ajaran agama yang dipetuahkan, ketika dalam panggung televisi, sama sekali tak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang dijalani.

Yang terungkap ketika berada di atas panggung tak berkaitan ketika berada di belakang panggung. Jangan salahkan mereka ketika berada di belakang panggung tak mau dilekatkan dengan persoalan ajaran agama yang telah diujarkan dan diajarkan. Itu jelas ''Merusak keindahan kehidupan yang telah dititahkan,'' kata Burke. Dalam dramaturgi beragama, puasa hanya menjadi komoditas industri, bukan sebuah momentum untuk meningkatkan keimanan. Jangan kecewa kalau petuah yang diajarkan tak sesuai dengan kenyataan. Sebab, mereka bukan ulama atau kiai yang teguh menjalankan ajaran, walaupun tanpa panggung drama.

Di sinilah, umat Islam semestinya sadar dengan drama yang sedang terjadi. Jangan sampai terjebak dan larut dalam dramatisasi agama yang diperankan dalam media. Ramadan adalah momentum mengasah hati nurani dalam meningkatkan keimanan, bukan momentum menonton drama religi yang hanya meningkatkan rating siaran. Karena itu, sudah saatnya umat Islam melakukan respiritualisasi terhadap puasa yang dijalankan di tengah gemuruh teknologi informasi yang berkembang cepat ini.

Respiritualisasi dalam puasa Ramadan tak lain adalah dengan memantapkan hati dalam merengkuh surga kebajikan serta kebaikan yang ditebarkan Allah sepanjang siang dan malam. Jangan sampai puasa sekadar menahan lapar dan dahaga karena itu merugikan diri sendiri. Dalam Ramadan, umat Islam diundang menjadi tamu Allah dan dimuliakan oleh-Nya. Dalam bulan ini, napas menjadi tasbih, tidur menjadi ibadah, amal ibadah diterima, dan doa dikabulkan.

Akan semakin lengkap kalau drama puasa dibarengi sedekah kepada sesame. Berbagi juga membebaskan kita dari menjadi budak kekikiran serta keserakahan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar