Jumat, 20 Juli 2012

Memecah Prasangka terhadap Iran


Memecah Prasangka terhadap Iran
Sirikit Syah ; Dosen dan Analisis Media
JAWA POS, 20 Juli 2012

SETELAH sepuluh hari melihat Iran, banyak yang ingin saya ceritakan kepada pembaca Jawa Pos. Kita kerap membaca berita-berita tentang Iran dan kebanyakan sumber kita adalah media Barat. Bahkan, bila laporan itu kita baca melalui media di Indonesia, tetap saja, para redaktur kita mengutipnya dari media Barat. Sangat jarang redaktur media Indonesia mengutip IRNA, IRIB, atau Press TV, misalnya. Karena itu, jangan terkejut bila cerita saya berbeda dari pemahaman kita semua selama ini tentang Iran.

Perjalanan saya ke Iran merupakan momentum ''breaking the prejudice'', memecah prasangka. Sebagian di antara kita -rakyat Indonesia- mengira orang Iran adalah orang Arab, berwajah seram, perempuannya pakai burqa seperti kaum Taliban di Afghanistan, perempuannya tidak boleh ke mana-mana, serta negaranya miskin dan terbelakang.

Maaf, semua itu salah. Kedudukan perempuan, misalnya, kenyataannya sungguh berbalik 180 derajat dari asumsi saya. Peran pria Iran, menurut pandangan saya (orang Indonesia tapi mengenyam pendidikan Barat), juga amat unik dan menarik untuk dicatat.

Konferensi yang saya hadiri pertengahan Juli lalu bertajuk ''International Moslem Women Conference and the Islamic Awakening''. Tentu, maksudnya adalah bagaimana peran perempuan Islam sedunia dalam gerakan/gelombang kebangkitan Islam. Seluruh anggota panitia perempuan mengenakan chador, kain hitam menutup kepala sampai mata kaki, seperti selimut, hanya menyisakan wajah-wajah cantik perempuan Iran.

Di belakang mereka, siap siaga para pria Iran berwajah tampan berbadan tegap dengan pakaian Western (berpantalon dan berjas). Meski bergaya intelek dan elegan, para pria tersebut adalah ''pembantu umum'' yang membereskan persoalan dan kesulitan. Paling ekstrem, saya melihat mereka memasuki ruang makan dan makan paling akhir, ketika seluruh perempuan sudah selesai makan. Setelah 10 hari bersama mereka, saya mencatat, pria Iran adalah supporter atau backup yang luar biasa bagi kiprah perempuan Iran.

Para perempuan Iran bekerja secara profesional: ada dokter (kebanyakan dokter), lawyer, insinyur, pilot, dosen, guru, dan pegawai bank. Mereka dipertemukan dengan kami (para tamu dari negara asing), lalu bercerita tentang sulitnya membagi waktu antara famili-profesi-religi. Ya, orang Iran amat religius, sehingga agama selalu dinomorsatukan. Kesulitan mereka sama saja dengan kesulitan ibu-ibu di Indonesia dan di banyak negara lain.

Saya terkesan, mereka tidak mengatakan hidup mereka mudah atau baik-baik saja (kalau mereka bilang begini, akan saya anggap propaganda public relation). Mereka tak memiliki support-system seperti tetangga dan keluarga, sebagaimana di negara-negara Asia atau Afrika. Namun, sistem pemerintahan mereka men-support maksimal: cuti hamil 6 bulan sepenuh gaji, akan ditingkatkan jadi setahun. Lalu, selama dua tahun setelah masuk kerja, setiap hari bebas dua jam kerja untuk menyusui. Bahkan, perempuan yang memiliki orang tua, suami, atau anak difabel diminta tinggal di rumah dan digaji pemerintah untuk mengurusi/mendidik sang difabel tersebut.

Menilik ucapan dan gerak tubuh (gesture), perempuan Iran amat confident (percaya diri) dan berdiri sama tinggi dengan kaum prianya. Perempuan-perempuan berjubah hitam itu ''keluyuran'' sampai malam dan dini hari di kafe serta lobi hotel (karena urusan kepanitiaan) dan mereka seolah biasa saja melakukan itu. Cara pria dan perempuan berbincang juga sejajar, sama dengan kita di Indonesia. Namun, pria Iran tampak lebih menaruh hormat kepada para perempuannya. Di jalan, para perempuan Iran memakai baju gaya Western, dengan kerudung yang menyisakan jambul/poni. Tak sedikit pula yang menyetir mobil.

Pecahnya prasangka atau praduga terhadap Iran tak hanya terjadi pada fisik (bahwa mereka ternyata lebih mirip orang kulit putih daripada orang Arab -mereka keturunan ras Aria seperti bangsa Eropa umumnya), tapi juga pada kedudukan pria-perempuan, tingginya peradaban mereka, majunya ekonomi negara, serta intelektualitas mereka yang mengagumkan.

Tingginya peradaban dapat kita saksikan dari situs-situs peninggalan. Masjid dan bangunan kuno lainnya telah memiliki pola arsitektur yang canggih pada zamannya. Intelektualitas juga tecermin saat kita berbicara dengan mereka. Tak mengherankan bila mereka menemukan teknologi nano, menciptakan hujan di padang pasir, bahkan merekayasa nuklir untuk kebutuhan listrik negaranya.

Pecahnya prasangka tersebut melahirkan kekaguman pada bangsa Iran. Apalagi, Iran membiayai Konferensi Perempuan Islam Sedunia ini 100 persen. Peserta datang dari 84 negara (termasuk Afrika, Amerika Latin, Eropa Utara). Jumlahnya sekitar 1.200 orang. Semua dibiayai dengan layanan VIP selama di Iran dan tiket pesawat pulang pergi dari negara masing-masing diganti. Kita akan berpikir: berapa besar biayanya? Mengapa Iran mau mengeluarkan biaya sebesar itu untuk sebuah konferensi?

Akhirnya, saya menyimpulkan sendiri: Bagi Iran, bukan konferensinya yang penting, tapi kemampuannya mengumpulkan para perempuan cendekia sedunia itulah yang ingin disuarakan ke seluruh dunia. Bahwa Iran bisa. Bahwa Iran akan didukung perempuan sedunia untuk menggelorakan kebangkitan Islam, suatu gerakan yang tak terbendung. Sebagaimana kita lihat, gerakan yang berawal dari akar rumput ini sudah berhasil menggulingkan pemerintahan yang korup di kawasan Timur Tengah, menggantikannya dengan tokoh dari Muslim Brotherhood (Persaudaraan Muslim).

Bila memang itu tujuannya: image building, mungkin biaya tersebut sangat berarti. Iran yang mengalami sanksi ekonomi internasional selama 30 tahun terbukti menggeliat, survive. Rakyatnya menggunakan produk dalam negeri. Tidak apa-apa mobil-mobil di jalanan dan HP para tokoh tampak jadul (kuno) dan tidak ada McDonalds atau KFC di Teheran. Tapi, mereka berdiri dan menatap kita dengan kebanggaan. Mungkin kita bangsa Indonesia yang kaya raya tidak bisa bersikap penuh kebanggaan dan percaya diri seperti itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar