Rabu, 18 Juli 2012

Melemahnya Partai-partai Islam


Melemahnya Partai-partai Islam
FS Swantoro ; Peneliti dari Soegeng Sarjadi Syndicate Jakarta  
SUARA MERDEKA, 18 Juli 2012


SEMENJAK Cak Nur menyampaikan gagasan ”Islam Yes, Partai Islam No” pada tahun 1970-an, sejak itu partai-partai Islam melemah dan peran politiknya menunjukkan tren menurun. Dari Pemilu 1955 hingga 2009 suaranya tergerus. Secara empiris, realitas itu bukan isapan jempol mengingat pada Pemilu 2004 ada 6 partai Islam yang lolos ke Senayan (PKS, PAN, PPP, PKB, PBR, dan PBB), sementara pada Pemilu 2009 tinggal 4 (PKS, PAN, PPP, dan PKB). Tidak mustahil pada Pemilu 2014 menyisakan 3 partai. 

Tak heran dalam survei berbagai lembaga, suara partai Islam merosot tajam, antara lain tergambar dalam survei LSN akhir Juni 2012, partai Islam hanya meraih 15,7% suara. Jumlah itu melemah ketimbang Pemilu 1999 yang 36,5%, Pemilu 2004 pada angka 38,3%, dan Pemilu 2009 dengan 29,1%. Lantas apa yang harus mereka lakukan?
Pada era Orba, 6 partai Islam yang berfusi ke PPP meraih banyak dukungan karena ditopang ideologi yang berorientasi massa dan agama Islam. Waktu itu PPP menjadi alternatif dari hegemoni Golkar di bawah Soeharto. Sekarang partai Islam lebih pragmatis dan terkesan hanya memburu kekuasaan. 

Pada saat sama, mereka tak memiliki tokoh sekaliber Gus Dur, Idham Khalid, HJ Naro, Zainuddin Zukri, Yusuf Hasyim, Mahbub Djunaedi, Imron Rosyadi, dan Chalid Mawardi. Dalam kompetisi antarpartai Islam pun, mereka sulit menjual ideologi agama dan tak punya program ekonomi untuk memberdayakan rakyat. 

Kegagalan Kaderisasi
Padahal problem masyarakat sekarang adalah soal ekonomi dan keadilan sosial. Sejak 1950-an hingga 1970-an partai mudah diidentifikasi lewat pilihan ideologi. Tapi sejak reformasi 1998 ideologi partai mulai kendor. Hampir semua merapat ke tengah sebagai partai terbuka, dan isu kampanye mereka sama, seperti pemberantasan korupsi, pengentasan masyarakat dari kemiskinan, dan penciptaan lapangan kerja. Lantas siapa yang membela rakyat kecil, buruh tani, nelayan, dan pedagang kaki lima? Atau yang membela pengusaha, kaum profesional, dan industriawan? Semuanya tak jelas. 

Dalam situasi seperti itu, perbincangan ideologi kalah pamor dari hiruk-pikuk isu skandal Century, korupsi wisma atlet, suap Miranda Gultom, proyek Hambalang, korupsi Banggar DPR, dan korupsi pengadaan Alquran. Selain itu, ideologinya kabur dan tak jelas. Padahal mereka butuh identitas untuk membantu konstituen menentukan pilihan politiknya. 

Kemudian ada partai mewarisi ideologi lama turunan dari NU dan Masyumi, seperti PKB dan PBB, tapi ada yang eksklusif seperti PKS yang merangkul massa di tengah. Orientasi PKS mirip Golkar, hanya beda pada label Islam. Lihat Setgab antara PKS dan Golkar, setali tiga uang.  Begitu pula PPP, PKB, PAN perlu meramu sejarah masa lalunya, yang ditopang nahdliyin dan Muhammadiyah. 

Realitasnya suara PPP, PKB, dan PAN terus merosot. Andaikata mereka memperoleh dukungan NU dan Muhammadiyah, seharusnya suara mereka terdongkrak karena dua ormas itu memiliki 70-an juta anggota. Seharusnya mereka menjalankan fungsi sebagai penampung aspirasi dan memperjuangkan aspirasi rakyat, serta menyelesaikan konflik dalam masyarakat. Peran itu gagal dan tidak tersentuh.  

Karena itu, empat hal berikut perlu diperhatikan; pertama; partai-partai Islam harus berhasil mengimplementasikan cara berpolitik secara Islami dan jangan profan, kedua; kini terjadi pergeseran sikap publik akibat meluasnya jaringan media dan televisi dan dampaknya, aspek spiritual sulit dijadikan isu kampanye partai Islam. Ketiga; ada kesenjangan antara konstituen dan partai yang didukungnya akibat tersumbatnya komunikasi, keempat; tersebarnya umat Islam ke semua partai serta buruknya kaderisasi partai, berdampak pada minimnya tokoh Islam yang mampu menjadi magnet pengumpul suara. Itulah tantangan berat mereka menghadapi Pemilu 2014.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar