Jumat, 20 Juli 2012

Kekisruhan Sistem dan Masa Depan Demokrasi Indonesia


Kekisruhan Sistem dan
Masa Depan Demokrasi Indonesia
Bahtiar Effendy ; Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta  
SINDO, 20 Juli 2012

Dalam sejarah politik Indonesia, tak pernah kita mengalami kekisruhan sistem pemerintahan sekentara 14 tahun terakhir ini.

Pandangan ini mungkin tidak populer,sebab dalam gambaran besarnya Indonesia sejak Mei 1998 dianggap sebagai negara yang memberlakukan sistem pemerintahan demokratis. Hal ini tidak hanya diyakini oleh publik dalam negeri,tetapi juga masyarakat internasional. Bahkan, pihak yang terakhir ini sering memuji Indonesia sebagai negara demokratis terbesar ketiga setelah India dan Amerika Serikat. Kenyataan bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim, negeri ini juga senantiasa dipakai sebagai contoh par excellent pertemuan antara Islam dan demokrasi.

Tidak mudah untuk menunjuk secara pasti faktor-faktor yang menyebabkan kekisruhan sistem pemerintahan ini.Akan tetapi, jika melihat pada derivasi empirisnya, salah satu unsur terpentingnya adalah kombinasi yang tidak sesuai antara sistem pemerintahan presidensial dengan sistem politik banyak partai. Akibat langsung dari kenyataan politik ini adalah bahwa tiadanya kekuatan politik dominan––meskipun secara teoretis bisa saja dimunculkan. Siapa pun yang memegang tampuk kekuasaan harus bersedia berbagi dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Ini dimaksudkan agar tentangantentangan politik terhadap kekuasaan bisa dikurangi––kalau tidak sama sekali ditiadakan.

Minimalisasi tentangan terhadap kekuasaan ini dianggap perlu agar kebijakan yang diambil bisa dilaksanakan, undang-undang atau peraturan yang diajukan bisa disahkan tanpa hambatan yang berarti. Lebih penting dari itu adalah agar ancaman politik yang mengarah pada pemakzulan pimpinan nasional bisa dihindari. Di dalam perkembangannya, persoalan yang muncul tak lagi berkisar hanya pada sistem pemerintahan yang bersifat presidensial dan politik kepartaian yang jamak.

Imbasnya juga terasa sampai pada soal hubungan eksekutif dan legislatif, pengaturan parlemen yang tidak efektif sehingga menimbulkan kesenjangan antara struktur dan fungsi di lembaga tersebut, keterkaitan antara pemerintah pusat dan daerah yang tidak sesuai dengan realitas politik yang ada bahwa pimpinan daerah dipilih secara langsung––dan karenanya bertanggung jawab kepada rakyat yang memilih.

Ini semua selain menimbulkan kesemrawutan pemerintahan, juga menyebabkan terjadinya kemandekan-kemandekan kebijakan karena kewenangan yang tidak diatur dengan jelas dan tegas.Yang sering tampak adalah demonstrasi politik kekuasaan (power politics) di mana para pelaku yang terlibat memilih untuk saling mengunci dan bertransaksi–– sadar bahwa masingmasing dari mereka saling bergantung karena tidak memiliki kekuatan politik yang cukup atau dominan.

Adalah kenyataan bahwa kepemimpinan nasional pada masa BJ Habibie (16 bulan), Abdurrahman Wahid (22 bulan),dan Megawati (38 bulan) belum cukup terlembaga dan berdurasi pendek, sementara pada masa Susilo Bambang Yudhoyono bercirikan kehatihatian yang sangat di dalam mengambil keputusan, tidak mampu menutupi kelemahan dan anomali dari sistem yang kita anut. Bahkan, dalam situasi tertentu,realitas kepemimpinan nasional seperti itu justru menyebabkan kinerja pemerintahan menjadi tidak efektif.Dalam perspektif demikian, Indonesia tumbuh menjadi negara dengan pemerintahan demokratis yang tidak efektif (ineffective democratic government).

Akar Masalah

Tidak mudah mengurai akar masalah dari pembangunan politik demokratis di Indonesia. Terlepas dari kenyataan bahwa proses transisi ke demokrasi berlangsung relatif cepat––dan tidak meninggalkan kerusakan (rupture) kebangsaan yang parah––tak dapat dimungkiri bahwa perubahan politik yang terjadi belum membawa kita pada situasi yang diinginkan bersama. Bahkan, akhir-akhir ini muncul kekhawatiran bahwa arah kebijakan yang kita tempuh justru menjauhkan kita dari cita-cita demokratis yang diinginkan: terciptanya stabilitas keamanan dan kemakmuran ekonomi bagi kita semua.

Secara khusus, sebenarnya yang sering dikeluhkan adalah soal efektivitas peran dan fungsi negara. Dalam situasi di mana kehadiran pemerintah diperlukan, publik justru merasakan seolah-olah negara tidak ada. Kerusuhan demi kerusuhan, korupsi yang tidak kunjung berkurang, kebijakan yang saling bertolak belakang, peraturan yang bertabrakan, semua itu hanya menunjukkan betapa negara tidak memerankan fungsi sebagaimana mestinya.

Dalam istilah teori pembangunan kelembagaan politik, situasi seperti itu disebut dengan hadirnya “pemerintahan yang tidak memerintah” (government that does not govern). Semua ini adalah buah atau produk dari pembangunan politik yang berjalan tanpa arah, tanpa ideologi, tanpa semangat kenegarawanan. Di pihak lain yang menjadi dasar dari seluruh tindakan praktisi dan pelaku politik kita adalah politik kekuasaan, politik transaksional, politik saling mengunci,dan halhal lain yang bertumpu pada kepentingan mikro (micro- incentive), baik yang bersifat pribadi atau golongan.

Undangundang yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilihan umum, partai politik, yang kita perbaiki lima tahun sekali setelah digunakan untuk satu peristiwa politik, merupakan contoh yang baik mengenai magnet insentif mikro bagi politisi kita. Dengan kata lain, reformasi berjalan tanpa democracy crafting, tanpa gagasan dan konsep yang mendasarinya. Konsolidasi demokrasi terjadi by default, bertumpu pada keniscayaan politik yang berkembang dari waktu ke waktu.

Sifat, karakter, dan struktur kepemerintahan dipengaruhi dan dibentuk oleh situasi riil politik, bukan sebaliknya, di mana gagasan kenegarawanan politisi kita membentuk dan memengaruhi jalannya kepemerintahan untuk sampai pada politik riil yang kita inginkan. Ketika pemerintahan Orde Baru dirasa sudah terlalu lama berkuasa dan kehadirannya sudah tidak diperlukan lagi,kita sebenarnya tidak cukup siap dengan alternatif penggantinya. Yang kita miliki pada Mei 1998 adalah perasaan yang mendalam bahwa Presiden Soeharto harus mundur, bahwa otoritarianisme Orde Baru harus diakhiri dan sistem pemerintahan demokratis harus dimulai.

Bagaimana semua ini dijalankan, dapat kita katakan bahwa tampaknya hal tersebut diserahkan pada “ke mana angin bertiup”. Para reformis yang menjadi ujung tombak pengunduran diri Soeharto tidak memiliki gagasan mengenai reformasi atau democracy crafting seperti apa yang akan ditempuh. Gambaran seperti apa Indonesia akan dikembangkan merupakan sesuatu yang tidak jelas. Meski demikian, kita tidak bisa menyalahkan para reformis, para tokoh yang berhubungan langsung dengan pengakhiran kekuasaan Soeharto.

Bahwa mereka tidak memiliki pemikiran yang jelas mengenai bangunan Indonesia pasca-Soeharto adalah sesuatu yang dapat dimengerti.Amien Rais,Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputeri, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Nurcholish Madjid, dan lain-lain terkonsentrasi pada skenario mundurnya Soeharto.Kebutuhan zaman ketika itu hanya menuntut berhentinya Soeharto, bukan yang lain!

Artinya, situasi ketika itu––- yang ditandai oleh krisis multidimensi, kerusuhan di sana-sini, terdepresiasinya rupiah dengan segala akibat turunannya––- tidak memungkinkan para tokoh reformis berpikir mengenai konstruksi Indonesia pasca- Orde Baru. Seluruh energi mereka terpusat pada upaya bagaimana Soeharto bersedia mundur tanpa menimbulkan akibat-akibat yang tidak diinginkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar