Partai
Politik dan Kedustaan
Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
Sumber
: KOMPAS, 21 Februari 2012
"Jika syarat masuk surga itu harus masuk
partai politik, saya lebih memilih tak mau menjadi anggota partai politik.”
Pernyataan Thomas Jefferson itu mendekati sinisme yang berkembang di Indonesia
saat ini, yang memandang partai politik dalam konotasi peyoratif.
Sinisme itu meluas seiring dengan tendensi
keserbahadiran partai merecoki segala bidang kehidupan dengan menampakkan diri
dalam wajah ”kebebalan keburukan” (banality of evil). Politik sebagai arena
pertukaran gagasan bijak, perjuangan aspirasi rakyat, akuntabilitas dan
pertanggungjawaban publik diselewengkan oleh parpol menjadi arena penampakan
kedangkalan berpikir, transaksi kepentingan pragmatis, korupsi, pengingkaran,
dan pembohongan publik.
Elite partai yang mestinya menjadi garda res
publika (urusan publik) justru menjadi simpul terlemah dari kehidupan negeri.
Meminjam ungkapan Sayidina Ali, ”Sesungguhnya golongan elite ini adalah yang
paling memberatkan wali negeri dalam masa kemakmuran, paling kecil memberikan
bantuan saat terjadi musibah, paling tidak menyukai keadilan, paling banyak
permintaannya secara terus-menerus, tetapi paling sedikit rasa terima kasihnya
jika diberi, paling tidak siap menerima alasan jika ditolak, dan paling lemah
kesabarannya jika berhadapan dengan berbagai bencana.”
Sebagai sumber pemasok kepemimpinan negara,
perilaku politisi bahkan belum memiliki prasyarat mendasar untuk bisa mewakili
masyarakat manusia. Menurut Aristoteles, yang membedakan manusia dengan
binatang adalah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil dan zalim, yang
memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat membedakan kebaikan dengan
keburukan.
Pangkalnya Adalah Dusta
Pangkal dari semua keburukan itu adalah
dusta. Sedemikian rupa sehingga, menurut resep pertobatan Nabi Muhammad,
hal-hal negatif lain masih bisa dimaafkan sejauh tidak melakukan ”dusta”.
Celakanya, pada titik inilah jantung krisis kenegaraan kita bermula.
Dusta mendarahi republik ini dari hulu sampai
hilir. Kesibukan para calon pemimpin politik bukanlah menawarkan isi, melainkan
kemasan; bukanlah mendalami basis moral dan visi republik, melainkan sekadar
memperhatikan hasil rekayasa survei. Partai tidak didirikan sebagai perwujudan
dari aspirasi dan perjuangan kolektif, melainkan sebagai alat mobilisasi
dukungan elite politik.
Pemilu tidak menjadi sarana rakyat untuk
menghukum para politisi khianat lewat jaminan penghitungan suara yang fair,
melainkan jadi alat pengukuhan kembali para politisi pendulang ulang. Para
kepala daerah lebih disibukkan untuk membayar utang-utang politik ketimbang
memperhatikan pelayanan publik.
Dalam masalah dusta politik itu, saat ini
Partai Demokrat yang paling sering dituduh karena perilaku sejumlah kadernya.
Sebagai pemenang pemilu legislatif dan presiden, Partai Demokrat paling
bertanggung jawab menentukan hitam-putihnya Republik saat ini. Tanggung jawab
itu setidaknya menyangkut pemenuhan janji kampanyenya.
Partai inilah yang dalam janjinya paling
lantang mengatakan ”tidak” pada korupsi. Nyatanya, orang lingkaran inti partai
ini satu per satu terbongkar menjadi bagian dari sindikat korupsi. Tidak hanya
berhenti pada korupsi, orang-orang ini juga secara dingin memperlihatkan ketegaannya
untuk berdusta, membohongi nalar publik.
Kian hari kian terungkap, barangsiapa
menciptakan drama pantas mendapatkan karma. Bahwa, sesuatu kekuasaan yang
dimulai dengan dusta bisa melahirkan efek peniruan di tingkat bawah, sehingga
beranak pinak menjadi keluarga besar ”partai dusta”. Spiral dusta ini pada
akhirnya akan berbalik arah merongrong wibawa kekuasaan, yang diindikasikan
oleh merosotnya kepercayaan publik kepada Presiden.
Negara ini tak bisa dipimpin dusta. Sekali
kita menggunakan kebohongan sebagai cara meraih dan mempertahankan kekuasaan,
manipulasi dan destruksi menjadi tak terelakkan sebagai praktik memimpin. Hasil
akhir tindak kebohongan ini adalah pengabaian rakyat dan ketidakpercayaan
secara berkelanjutan.
Kepercayaan publik itu merupakan pertaruhan
Republik. Presiden Jerman Christian Wulff baru saja mundur dari jabatannya
hanya karena menerima fasilitas saat meminjam dana dari bank untuk mencicil
rumah sebelum menjadi presiden. Pengunduran diri itu ia pilih demi
mempertahankan kepercayaan publik pada politik, khususnya kepada Kanselir
Angela Merkel yang tengah bergelut agar Jerman bisa keluar dari krisis utang di
zona euro.
Di dalam politik, tidak ada yang lebih
penting daripada keselamatan republik. Karena itu, setiap pemimpin politik
harus berjiwa besar, siap mengorbankan apa pun demi kebaikan bangsa dan negara.
Politisi kerdil, yang hanya memperjuangkan kepentingan diri dan kelompoknya,
dan untuk itu tega berkhianat dan membohongi publik, tak pantas berambisi
memimpin republik ini.
Rantai terlemah dari demokrasi Indonesia saat
ini adalah mediokritas dan dekadensi golongan politik: miskin gagasan, miskin
etika, miskin pelayanan. Situasi inilah yang melahirkan apatisme dan sinisme
publik pada politik.
Situasi demikian amat merisaukan. Seperti
diingatkan Robert Maynard Hutchins, ”Kematian demokrasi bukanlah karena
pembunuhan oleh penyergapan secara tiba-tiba, tetapi merupakan kepunahan secara
perlahan yang disebabkan oleh apatis, ketakhirauan, dan kemelaratan.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar