Partai,
Patronase, Politik Uang
Dodi Ambardi, DOSEN FISIPOL UNIVERSITAS GADJAH MADA;
DIREKTUR EKSEKUTIF LEMBAGA SURVEI INDONESIA
Sumber
: KOMPAS, 21 Februari 2012
Kasus Nazaruddin, mantan Bendahara Umum
Partai Demokrat, hampir setahun menjadi tajuk media. Mudah ditebak, kasus suap
wisma atlet ini melibatkan partai pemenang Pemilu 2009, petinggi partai, dan
sejumlah nama tenar. Tentu saja, korupsi politik ini menjadi sorotan publik
karena menyangkut penyalahgunaan uang negara.
Umumnya, cacat moral politisi dengan mudah
kita pilih sebagai penyebab untuk menjelaskan terjadinya korupsi politik.
Meskipun masuk akal, penjelasan ini cenderung mengentengkan sebab-sebab lain
dan menggampangkan persoalan politik keuangan partai dan politisi partai.
Lemahnya tradisi hukum di Republik ini bisa
menjelaskan menjangkitnya gejala korupsi politik. Sistem pemilihan umum
semiterbuka juga mendesak politisi untuk bertarung dengan mengandalkan uang.
Namun, faktor dan karakter pengorganisasian
parpol terlewatkan, padahal faktor ini tak kalah penting untuk menjelaskan
logika politik keuangan para politisi partai.
Organisasi partai
Formalnya, Undang-Undang tentang Partai
Politik tahun 2008 mengamanatkan partai peserta pemilihan umum harus memiliki
jumlah cabang minimal 2/3 di tingkat provinsi dan 2/3 kabupaten/kota di tiap
provinsi tersebut. Tujuan pasal ini cukup mulia, yakni untuk mengurangi
kemungkinan munculnya partai abal-abal.
Selain itu, tujuan lain yang hendak diraih
dari persyaratan itu adalah memungkinkan teraihnya fungsi representatif parpol.
Dengan ratusan cabang di daerah, parpol
diharapkan bisa menjaring aspirasi pemilih dengan mendayagunakan sumber daya
keorganisasian partai di tingkat pinggiran sampai ke tingkat pusat.
Organisasi partai yang bertakik-takik itu, secara
teoretis, bisa mewadahi proses penjaringan itu sehingga fungsi penyaluran
kepentingan konstituen bisa terjamin. Namun, itu rumusan benar di atas kertas,
yang bisa terjadi bisa juga tidak. Efek sampingnya pun bisa tak terduga.
UU Partai Politik telah menyeragamkan
struktur organisasi partai di Indonesia dan menghasilkan postur organisasi
partai yang tambun dan masif serta hierarkis. Alih-alih menjaring aspirasi
pemilih, bentuk keorganisasian semacam itu sesungguhnya juga bisa
bertransformasi menjadi jaringan patronase bertingkat dari pusat hingga daerah.
Patronase, secara sederhana, adalah hubungan
mutualisme antara patron dan anak buah melalui mekanisme pertukaran politik.
Bentuk pertukaran ini bersifat khusus, di mana anak buah memberikan dukungan
politik atas imbalan jabatan atau materi.
Pada tingkat elite partai, yakni kepengurusan
dari pusat sampai daerah, patronase menjadi sendi kompetisi dan mobilisasi
dukungan politik di dalam partai. Faksionalisme yang muncul dalam partai tak
lain adalah persaingan antarpatron.
Untuk membangun dukungan politik di dalam
organisasi, setiap patron mengembangkan tautan patronase ke bawah dan ke
daerah-daerah. Pemetaan perimbangan kekuatan di lingkungan partai ditandai
dengan kategori ”orang siapa”.
Faksionalisme di dalam partai tidaklah
bersumber dari perbedaan penafsiran tentang visi partai, tetapi berdasar atas
tautan kesetiaan perorangan terhadap seorang patron. Orang daerah umumnya
memiliki patron di kepengurusan pusat.
Kandidasi di dalam partai untuk jabatan organisasi
juga mengikuti logika ini. Cacah suara dukungan dibangun dan dipelihara
berdasar prinsip pertukaran.
Setiap kandidat tidaklah membangun legitimasi
dan dukungan yang berbasis visi, ide, atau argumen, tetapi seberapa besar
imbalan yang bisa mereka sebarkan kepada pemilik suara di kongres partai.
Karena itu, inti organisasi partai
sesungguhnya adalah sekumpulan patron yang saling bersaing memperluas jaringan
patronase ke bawah. Kampanye yang visioner selalu bersifat sekunder.
Di tingkat daerah pun, model dan tautan ini
berkembang pesat. Hierarki komando bisa berjalan maksimal hanya dengan
membangkitkan, memperluas, dan memelihara jaringan patronase. Pendeknya,
politik internal partai adalah politik perseorangan.
Bagaimana membiayai jaringan itu? Di titik
inilah uang menjadi penting. Secara eufemistis, pembiayaan jaringan itu muncul
dalam berbagai istilah: bantuan transportasi, biaya penginapan, uang makan,
sangu pulang ke daerah, atau semuanya bisa diringkas dalam ungkapan biaya
akomodasi dan logistik.
Tidak mengherankan kemudian jika kandidat
yang memiliki kantong tebal juga berarti memiliki kans lebih tinggi untuk
memenangi persaingan di dalam partai.
Ini bukanlah satu-satunya penentu kemenangan,
tetapi ini adalah soal penghitungan kans kemenangan. Dalam konteks ini pula
istilah bandar dan cukong kerap muncul dalam persaingan politik dalam partai
karena fungsi strategi mereka untuk membiayai pemenangan.
Dalam konteks ini pula, kasus Nazaruddin bisa
dijelaskan. Namun, seberapa luas mode mobilisasi keuangan semacam itu—yakni
penyalahgunaan uang negara— merambah kehidupan partai politik?
Jangkauan
Kalau model organisasi partai di Indonesia
pada dasarnya seragam, dan setiap partai dan politisi mengembangkan jaringan
patronase di tingkat kepengurusan dan di tingkat konstituen, maka sesungguhnya
logika politik keuangan di setiap partai akan sama juga.
Karena itu, kita bisa menduga bahwa kasus
Nazaruddin tentulah bukan sebuah kasus unik yang tak ada kembarannya. Mode
mobilisasi uang negara untuk pembiayaan politik pasti terjadi juga di
partai-partai lain.
Kasus-kasus lama dan mutakhir tentang cara
mobilisasi keuangan yang dilakukan oleh para politisi memberikan banyak
ilustrasi.
Media massa mengungkapkan kecurigaan
patgulipat dalam proyek e-KTP di DKI Jakarta yang melibatkan beberapa petinggi
Golkar, kasus cek pelawat yang melibatkan politisi Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), berbagai kasus anggaran yang melibatkan hampir semua
politisi partai di Badan Anggaran DPR, dan tentu, kasus Nazaruddin yang
melibatkan politisi Partai Demokrat dan kemudian menyeret politisi PDI-P.
Pendeknya, mobilisasi dana politisi dan dana
partai dengan memanfaatkan dana negara tampaknya adalah cara yang lazim, yang
diterima di kalangan elite.
Karena itu, kategori yang berguna bagi kita
untuk memahami politik keuangan partai atau politisi di Indonesia bukan
kategori siapa dan partai mana yang memanfaatkan uang negara. Yang lebih cocok,
mungkin, adalah kategori (a) tertangkap, (b) terdeteksi, dan (c) tersimpan
rapi.
Jika format masif organisasi dan jaringan
patronase yang menjadi sendi partai ternyata adalah biang keladi korupsi
politik, maka di dua titik inilah perombakan harus dilakukan. Celakanya, format
masif organisasi itu bersumber dari perundang-undangan yang memiliki tujuan
mulia tetapi membawa ekses negatif.
Pengenduran syarat atas jumlah cabang minimal
yang harus dimiliki oleh partai politik untuk meredakan desakan pada politisi
untuk membiayai jaringan patronase yang harus dikompensasikan dengan munculnya
kemungkinan pendirian partai secara asal-asalan.
Implikasi praktisnya, kemudahan pendirian
partai kelak akan menyulitkan administrasi pemilihan umum, karena ratusan
partai baru akan dengan mudah ikut pemilu.
Selain itu, jangkauan partai ke daerah akan
menipis drastis karena tak punya tangan organisasi di tingkat bawah, dan itu
justru akan semakin menjauhkan mereka dari publik.
Tampaknya, yang lebih cocok dilakukan adalah
memerangi politik berbasis patronase yang selama ini tertanam dalam tubuh
partai-partai di Indonesia.
Standar etika politik dalam kompetisi
internal partai yang bisa mencegah praktik patronase perlu didesakkan dalam
kehidupan internal partai.
Mungkin, dalam derajat tertentu, aturan hukum
bisa dirumuskan agar praktik patronase itu berkurang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar