Polemik
Seputar Peraturan Dikti
tentang
Wajib Publikasi Ilmiah
Djoko Santoso, PENGAJAR FK UNIVERSITAS
AIRLANGGA SURABAYA;
STAF RSUD DR SOETOMO
Sumber
: JAWA POS, 21 Februari 2012
Dancing in all its forms cannot be
excluded from the curriculum of all noble education; dancing with the feet,
with ideas, with words, and, need I add that one must also be able to dance
with the pen? Friedrich Nietzsche (1844-1900)
DUNIA pendidikan tinggi sedang dihebohkan oleh surat edaran Dirjen Dikti yang isinya pada intinya mengharuskan karya akhir mahasiswa S1, S2, dan S3 dipublikasikan dalam jurnal ilmiah sesuai dengan tingkatannya. Termasuk untuk tingkat S3 harus di jurnal internasional. Keharusan publikasi itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas karya ilmiah dan mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain.
Kegundahan dan kebingungan boleh jadi memang menghinggapi banyak kalangan di dunia kampus. Syarat memang sangat berat dilaksanakan. Tokoh-tokoh pendidikan pun menyebut itu dengan "tergesa-gesa" dan tidak mungkin terlaksana dengan baik. Salah satu tokoh yang paling lantang menyorot kebijakan itu adalah Franz Magnis Suseso, pensiunan guru besar filsafat yang ternama.
Penulis memandang, Dirjen Dikti jelas memiliki niat yang luhur, sementara para pengkritik juga tidak berniat buruk. Tetapi, alangkah membanggakannya kalau SE Dirjen Dikti itu dapat mendorong karya akademik lebih berkualitas hingga menembus level lebih tinggi. Di sisi lain, apa yang diharapkan Franz Magnis Suseno agar para akademisi/mahasiswa dapat memperoleh ketenangan untuk berkarya, tanpa beban, sehingga lebih produktif dan memperoleh gelar.
Tetapi, marilah kita bicara mengapa warga kampus menulis dan menerbitkan karyanya. Antara lain, terkait penghargaan dan akuntabilitas karena ini merupakan aktivitas yang berharga. Henson (1999) atau Thyer (1994) menunjukkan, menulis adalah sebuah jalan berinteraksi untuk mendapatkan kredibilitas, untuk memperoleh legitimasi profesi, memperkuat posisi/jabatan, untuk meningkatkan cara pandang, serta untuk mempromosikan profil diri.
Intinya, dengan menulis dan meneliti, seseorang dapat mengubah semuanya. Menulis yang merupakan proses untuk menyusun ide dapat membuat Anda berpikir dan berpikir, mendorong untuk selalu membaca dan membaca lebih kritis. Antara membaca dan menulis itu saling mendorong dan mengatur satu sama lain. Menulis adalah bagian dari pekerjaan, mendiskusikan ide-ide, dan dapat mengolahragakan pikiran hingga berpikir selalu hati-hati dan teliti.
Suatu universitas, katakanlah, menargetkan minimal tiga publikasi tiap tahun untuk memacu dosen agar menulis karena hal ini merupakan pekerjaan akademik universitas. Kalau hal ini dihayati, menulis bukan merupakan sesuatu yang rumit. Apalagi didorong rasa tanggung jawab dan sadar kebutuhan profesinya.
Muncul pertanyaan, bagimana kalau karya ilmiah tidak diterbitkan? Alasannya banyak. Ada kemungkinan penulisnya kurang percaya diri, malu, takut akan ditolak, takut untuk dinilai, kurangnya kesempatan untuk diterbitkan karena ketatnya berkompetisi. Mungkin pula seseorang bingung bagaimana merespons kritik yang muncul. Belum lagi harus menunggu beberapa bulan untuk jawabannya ditolak atau diterima, takut akan kelemahan.
Sindroma Impostor
Brookfield (1995:229) menyebutkan bahwa seorang penulis tidak menerbitkan karyanya bisa karena "sindroma impostor", suatu perasaan bimbang apakah benar-benar dia tahu apa yang sedang dianalisis? Sindroma ini lahir dari: kurangnya kepercayaan diri, ketakutan akan menjadi tidak sekompeten penulis yang lain, perasaan ketidakmampuan, rasa tidak berharga, takut ditemukan sebagai plagiat. Sindroma tersebut dapat menghambat dan menciptakan perasaan rasa rendah diri hingga dapat menghentikan niat seseorang untuk menulis. Namun, jika hal tersebut bisa dibuka, hal ini bisa berdampak positif. Dorongan dan bantuan kolega akan sangat membantu mereka yang menghadapi kekurangpercayaan diri tersebut.
Dalam kaitan ini, perlu pula diingat bahwa jurnal ilmiah sendiri bukanlah kumpulan karya tanpa cacat. Penelitian Tooley dan Darby (1998), misalnya, menunjukkan, banyak hasil riset dalam pendidikan tidak relevan dengan para praktisi dan para pembuat kebijakan, tidak dibangun di atas literatur atau pengetahuan yang telah ada. Artikel-artikel itu juga sukar diakses dan eksklusif; sukar dibaca dan penulisannya buruk sekali, atau sukar dipahami; bias dan sepihak saja (lihat Wellington, 2000).
Kritik mereka adalah bahwa penulis-penulis dalam jurnal pendidikan memiliki sebuah kecenderungan untuk memasukkan nama-nama orang besar tidak untuk alasan apa pun, namun hanya untuk membesarkan karya tulis mereka atau memberikan kesan bahwa karya mereka itu intelek.
Mengapa Dirjen Dikti meminta karya ilmiah harus diterbitkan? Ada ilustrasi yang menarik tentang tukang kayu yang akan dipecat saat membangun sebuah bangunan. Dia berkata, "Saya seorang tukang kayu. Jadi, saya tidak memasang pintu." Demikian juga sama dengan dosen-dosen yang berkata, "Baik, saya suka menerbitkan karya ilmiah, namun saya tidak memiliki waktu karena saya harus mengajar dan mengatur tata kelola universitas." Jawaban ini adalah sebanding dengan tukang kayu yang mengatakan bahwa dia tidak memasang pintu.
Memublikasikan karya tulis bagaimana pun beratnya akan menguntungkan. Aktivitas ini memang bisa menghabiskan biaya, energi, dan waktu di saat suatu tulisan menjalani proses review yang mungkin amat panjang, menyakitkan. Asal prosesnya fair, hasilnya membanggakan.
Walhasil, SK Dirjen Dikti tentang keharusan publikasi karya ilmiah warga kampus tidaklah perlu ditanggapi secara berlebihan. Memang, pemegang kebijakan perlu lebih mempertimbangkan seberapa besar peluang suatu kebijakan bisa dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya, para sivitas akademika tentu tidak ingin sekadar menggelinding, asal hidup, asal eksis. Bagaimana pun, dapat menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk menghasilkan karya-karya terbaik adalah anugerah yang luar biasa. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia. ●
DUNIA pendidikan tinggi sedang dihebohkan oleh surat edaran Dirjen Dikti yang isinya pada intinya mengharuskan karya akhir mahasiswa S1, S2, dan S3 dipublikasikan dalam jurnal ilmiah sesuai dengan tingkatannya. Termasuk untuk tingkat S3 harus di jurnal internasional. Keharusan publikasi itu dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas karya ilmiah dan mengejar ketertinggalan dengan negara-negara lain.
Kegundahan dan kebingungan boleh jadi memang menghinggapi banyak kalangan di dunia kampus. Syarat memang sangat berat dilaksanakan. Tokoh-tokoh pendidikan pun menyebut itu dengan "tergesa-gesa" dan tidak mungkin terlaksana dengan baik. Salah satu tokoh yang paling lantang menyorot kebijakan itu adalah Franz Magnis Suseso, pensiunan guru besar filsafat yang ternama.
Penulis memandang, Dirjen Dikti jelas memiliki niat yang luhur, sementara para pengkritik juga tidak berniat buruk. Tetapi, alangkah membanggakannya kalau SE Dirjen Dikti itu dapat mendorong karya akademik lebih berkualitas hingga menembus level lebih tinggi. Di sisi lain, apa yang diharapkan Franz Magnis Suseno agar para akademisi/mahasiswa dapat memperoleh ketenangan untuk berkarya, tanpa beban, sehingga lebih produktif dan memperoleh gelar.
Tetapi, marilah kita bicara mengapa warga kampus menulis dan menerbitkan karyanya. Antara lain, terkait penghargaan dan akuntabilitas karena ini merupakan aktivitas yang berharga. Henson (1999) atau Thyer (1994) menunjukkan, menulis adalah sebuah jalan berinteraksi untuk mendapatkan kredibilitas, untuk memperoleh legitimasi profesi, memperkuat posisi/jabatan, untuk meningkatkan cara pandang, serta untuk mempromosikan profil diri.
Intinya, dengan menulis dan meneliti, seseorang dapat mengubah semuanya. Menulis yang merupakan proses untuk menyusun ide dapat membuat Anda berpikir dan berpikir, mendorong untuk selalu membaca dan membaca lebih kritis. Antara membaca dan menulis itu saling mendorong dan mengatur satu sama lain. Menulis adalah bagian dari pekerjaan, mendiskusikan ide-ide, dan dapat mengolahragakan pikiran hingga berpikir selalu hati-hati dan teliti.
Suatu universitas, katakanlah, menargetkan minimal tiga publikasi tiap tahun untuk memacu dosen agar menulis karena hal ini merupakan pekerjaan akademik universitas. Kalau hal ini dihayati, menulis bukan merupakan sesuatu yang rumit. Apalagi didorong rasa tanggung jawab dan sadar kebutuhan profesinya.
Muncul pertanyaan, bagimana kalau karya ilmiah tidak diterbitkan? Alasannya banyak. Ada kemungkinan penulisnya kurang percaya diri, malu, takut akan ditolak, takut untuk dinilai, kurangnya kesempatan untuk diterbitkan karena ketatnya berkompetisi. Mungkin pula seseorang bingung bagaimana merespons kritik yang muncul. Belum lagi harus menunggu beberapa bulan untuk jawabannya ditolak atau diterima, takut akan kelemahan.
Sindroma Impostor
Brookfield (1995:229) menyebutkan bahwa seorang penulis tidak menerbitkan karyanya bisa karena "sindroma impostor", suatu perasaan bimbang apakah benar-benar dia tahu apa yang sedang dianalisis? Sindroma ini lahir dari: kurangnya kepercayaan diri, ketakutan akan menjadi tidak sekompeten penulis yang lain, perasaan ketidakmampuan, rasa tidak berharga, takut ditemukan sebagai plagiat. Sindroma tersebut dapat menghambat dan menciptakan perasaan rasa rendah diri hingga dapat menghentikan niat seseorang untuk menulis. Namun, jika hal tersebut bisa dibuka, hal ini bisa berdampak positif. Dorongan dan bantuan kolega akan sangat membantu mereka yang menghadapi kekurangpercayaan diri tersebut.
Dalam kaitan ini, perlu pula diingat bahwa jurnal ilmiah sendiri bukanlah kumpulan karya tanpa cacat. Penelitian Tooley dan Darby (1998), misalnya, menunjukkan, banyak hasil riset dalam pendidikan tidak relevan dengan para praktisi dan para pembuat kebijakan, tidak dibangun di atas literatur atau pengetahuan yang telah ada. Artikel-artikel itu juga sukar diakses dan eksklusif; sukar dibaca dan penulisannya buruk sekali, atau sukar dipahami; bias dan sepihak saja (lihat Wellington, 2000).
Kritik mereka adalah bahwa penulis-penulis dalam jurnal pendidikan memiliki sebuah kecenderungan untuk memasukkan nama-nama orang besar tidak untuk alasan apa pun, namun hanya untuk membesarkan karya tulis mereka atau memberikan kesan bahwa karya mereka itu intelek.
Mengapa Dirjen Dikti meminta karya ilmiah harus diterbitkan? Ada ilustrasi yang menarik tentang tukang kayu yang akan dipecat saat membangun sebuah bangunan. Dia berkata, "Saya seorang tukang kayu. Jadi, saya tidak memasang pintu." Demikian juga sama dengan dosen-dosen yang berkata, "Baik, saya suka menerbitkan karya ilmiah, namun saya tidak memiliki waktu karena saya harus mengajar dan mengatur tata kelola universitas." Jawaban ini adalah sebanding dengan tukang kayu yang mengatakan bahwa dia tidak memasang pintu.
Memublikasikan karya tulis bagaimana pun beratnya akan menguntungkan. Aktivitas ini memang bisa menghabiskan biaya, energi, dan waktu di saat suatu tulisan menjalani proses review yang mungkin amat panjang, menyakitkan. Asal prosesnya fair, hasilnya membanggakan.
Walhasil, SK Dirjen Dikti tentang keharusan publikasi karya ilmiah warga kampus tidaklah perlu ditanggapi secara berlebihan. Memang, pemegang kebijakan perlu lebih mempertimbangkan seberapa besar peluang suatu kebijakan bisa dilaksanakan dengan baik. Sebaliknya, para sivitas akademika tentu tidak ingin sekadar menggelinding, asal hidup, asal eksis. Bagaimana pun, dapat menggunakan waktu sebaik-baiknya untuk menghasilkan karya-karya terbaik adalah anugerah yang luar biasa. Tak ada waktu yang terbuang sia-sia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar