NU
dan Moderatisme
Ali Rif'an, KADER
MUDA NU; PENELITI DI UIN SYARIF HIDAYATULLAH, JAKARTA
Sumber
: SINAR HARAPAN, 1
Februari 2012
Tanggal 31 Januari 2012, Nahdlatul Ulama (NU)
genap berusia 86 tahun. Untuk ukuran organisasi, NU saat ini sudah memasuki usia
yang relatif mapan.
Ibarat semakin tinggi dan rindang sebuah
pohon maka akan semakin kencang dan besar angin badai yang menerpanya. Bagitu
pula yang dialami NU saat ini. Dalam perspektif sosial-historis, NU memiliki
tanggung jawab yang berat, yakni mengawal bangsa ini, mulai dari perjuangan
pra-kemerdekaan hingga sekarang.
Sebagai organisasi kultural keagamaan yang
mengusung nilai-nilai Aswaja, NU adalah bagian dari dinamika dan pertumbuhan
bangsa sekaligus sebagai wujud kegairahan luhur para ulama dalam membangun
peradaban. NU bukan ormas yang eksklusif terhadap perbedaan dan keragaman.
Justru keragaman dan pluralitas itulah spirit yang hendak diembuskan NU.
NU seumpama cahaya penerang dari maraknya
kebengisan, sukuisme, primordialisme, dan fanatisme berlebihan sebagian anak
bangsa, yang acap mendatangkan konflik horizontal. NU bukan ormas yang melulu
mengeluarkan fatwa benar dan salah atau stempel hitam dan putih. Tapi, ia
semacam katalisator juru damai yang berada di garis tengah.
Kebinekaan dan kemajemukan menjadi roh NU
dalam menancapkan misi perjuangannya. Ia secara terang-terangan mengatakan
bahwa Pancasila adalah asas final bagi Indonesia. Ia pun tampil menjadi ormas
garda depan yang berwatak kebangsaan.
Sikap dasar kebangsaan NU jelas, yakni keseimbangan
antara akhuwah Islamiah (persaudaraan sesama Islam), ukhuwah
basyariah (persaudaraan sesama manusia), dan ukhuwah wathaniyah
(persaudaraan sebangsa). Pandangan NU tentang paham kebangsaan digali dari
pemikiran-pemikiran politik Sunni Abad Pertengahan. Al-Ghazali dan al-Mawardi
merupakan tokoh utamanya.
NU melihat pandangan politik dua tokoh itu
senapas dengan watak orang Jawa yang mementingkan keselarasan hubungan
antarmanusia, seperti sikap moderat dan cenderung memilih “jalan damai”. Ini
karena jalan tengah dirasa sejalan dengan tradisi Jawa yang ditandai pencarian
suatu harmoni yang dicita-citakan dalam kehidupan masyarakat (Ali Masykur Musa,
2011 : ix).
Karena itu, dengan amat gigih dan penuh
perjuangan, NU hendak mengelola pilar-pilar perbedaan sehingga bisa mewujudkan
harmonisasi yang konsisten. Seperti diungkapkan Ketua Umum PB NU Said Agil
Shiraj, NU adalah organisasi reformis dan dinamis yang senantiasa dinaungi
spirit moral yang bercahaya.
Metamorfosis
Harus diakui, dalam perjalanannya, NU adalah
organisasi terbesar di Indonesia yang tampil dan mampu mengikuti arah retak
zaman. Ia menerjemahkan prinsip-prinsip dasar yang dicanangkannya ke dalam
perilaku konkret.
Dalam bidang pendidikan, NU mewujudkannya
dalam bentuk pesantren. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mengajarkan
moral dan adiluhung dalam hidup dan berbangsa.
Dalam bidang sosial-ekonomi, NU mengusung
ekonomi kerakyatan dan transformasi-transformasi sosial yang terejawantah dalam
aksi-aksi sosial dengan membela kaum minoritas dan termarginalkan.
Dalam ranah teologi, NU menampilkan wajah
Islam yang ramah; ramah terhadap budaya lokal, adat setempat, dan agama-agama
yang ada. Sementara itu, dalam bidang politik, NU mengajak kepada moralitas
politik, bukan tipu muslihat politik.
Tentu saja, dalam kehidupan sejarah berbangsa
ini, NU telah banyak mengambil kepeloporan dalam peta sejarah Indonesia. NU
merupakan organisasi yang mampu tumbuh secara adaptif dan responsif terhadap
dinamika yang terjadi.
Karena memang dalam sejarahnya, NU lahir atas
keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa
Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi.
Tak kuat dengan kondisi itu, sekumpulan kaum
terpelajar kemudian tergugah untuk memperjuangkan martabat bangsa ini melalui
jalan pendidikan dan organisasi. Tahun 1908, muncullah apa yang disebut
“Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan inilah yang akhirnya menjadi daya
dobrak sekaligus titik kisar dimulainya benih-benih perjuangan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih
melawan kolonialisme, merespons Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916.
Tahun 1918, Taswirul Afkar atau dikenal juga Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran)
berdiri sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum
santri.
Dari situ kemudian didirikan Nahdlatul Tujjar
(Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki
perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, Taswirul Afkar, selain
tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang
sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Organisasi-organisasi itulah yang kemudian
menjadi cikal bakal berbagai kiai berkesepakatan membentuk organisasi yang
bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari
1926). Organisasi ini dipimpin KH Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Memang dalam perkembangannya, NU pernah masuk
ke dalam politik praktis. Itu terlihat pasca-kemerdekaan Indonesia, orientasi
NU lebih terkonsentrasi pada transformasi bidang sosial-politik. Pada titik
ini, NU sebenarnya hendak berkiprah secara total dalam upaya membangun tatanan
nasional.
Tapi, “politik” tampaknya bukanlah “rumah” NU
yang sesungguhnya. Karena itu, era transformasi bidang sosial-politik itu
berakhir saat NU memutuskan kembali ke Khitah 1926 dalam Muktamar Ke-27 NU pada
1984 di Situbondo. Mulai saat itu, NU membuka lembaran baru dalam rangka
transformasi bidang sosial-ekonomi.
Tentu absennya NU dalam panggung politik di
bawah kekuasaan rezim Orba bukan lantaran NU ingin lari dari masalah
kebangsaan. NU justru ingin menyelamatkan bangsa ini dari kaos.
Ketidakhadiran NU dalam kancah politik
praktis justru akan mampu menekan warga NU untuk tidak terbuai dengan kekuasaan
yang korup, kolutif, dan manipulatif. NU tak boleh dipolitisasi oleh segelintir
orang yang hanya mengejar kekuasaan, tapi miskin misi kebangsaan.
Moderatisme
NU dikenal sebagai organisasi yang moderat,
yaitu sikap yang mengedepankan jalan tengah. Dalam bahasa NU, prinsip ini
dikenal dengan istilah tawassuth yang mencakup tawazun
(keseimbangan dan keselarasan), i’tidal (teguh dan tidak berat sebelah),
dan iqtishad (bertindak seperlunya dan sewajarnya, tidak berlebihan)
(Ali Maskur Musa, 2011 : vii-viii).
Baik melalui jalur politik praktis,
transformasi sosial-ekonomi, ataupun pendidikan, NU selalu menampilkan dua
watak, yakni kebijaksanaan dan keluwesan. Kebijaksanaan, bagi NU, adalah
tindakan yang kondusif untuk memperoleh manfaat/menghindari kerugian.
Kewajiban untuk mengurangi atau menghindari
segala bentuk risiko atau akibat buruk juga merupakan salah satu tema sentral
dalam tradisi ijtihad politik NU. Sementara itu, keluwesan NU adalah sikap
kompromistis dan menghindari segala bentuk ekstremistis.
Tentu saja, moderatisme NU sangat dibutuhkan
sebagai perekat di tengah-tengah konstelasi pemikiran, baik keagamaan maupun
politik kebangsaan, yang cenderung ekstrem kanan dan ekstrem kiri.
Ataupun santernya gerakan-gerakan ekstremisme
yang mengatasnamakan golongan dan agama yang belakangan kerap menyembul. Ini
karena NU adalah ormas yang selalu mengusung kedamaian dan kesantunan--atau
jalan tengah--dalam menerjemahkan visi dan gerakannya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar