Balada
Politikus Muda
Indra Tranggono, PEMERHATI KEBUDAYAAN
Sumber
: KOMPAS, 18
Februari 2012
Betapa ”eloknya” perjalanan (sebagian)
politikus muda di negeri ini. Begitu cepat melesat dan berkuasa meski akhirnya
terpelanting dan tumbang akibat korupsi. Penjara pun siap menampung mereka.
Seperti balada, kisah mereka pun
”mengharu-haru biru” publik. Maklum, selama ini mereka sering tampil di
panggung media cetak dan elektronik, baik sebagai politikus maupun pesohor
(selebritas). Tubuh mereka licin bagai lilin. Wajah bersih. Senyum selalu
mengembang setiap memberikan pernyataan. Persoalan-persoalan yang bagi rakyat
dirasakan sangat berat, bagi mereka tak lebih dari intermezo.
Begitu pula ketika nama mereka disebut dalam
perkara korupsi miliaran rupiah. Mereka membantah dengan enteng, bahkan sambil
cengengesan. Kasus korupsi yang gawat, baginya tak lebih dari drama yang
diyakini selalu berakhir dengan bahagia. Mereka seolah menganggap jagat politik
dan seluruh lendir kebusukannya sekadar dongeng yang mengasyikkan. Padahal,
bagi rakyat, seluruh kebusukan politik merupakan horor riil.
Penikmat Reformasi
Para politisi muda (berusia 30-40 tahun) bisa
disebut para penikmat buah reformasi 1998; sebuah momentum yang menjebol
otoritarianisme dan memberi jalan bagi liberalisme politik dan ekonomi.
Partai-partai politik menjamur bagai gerai (warung). Ada yang berkelas
kelontong yang serba subsisten. Ada pula yang berkelas ritel modern atau mal
yang memiliki modal menggumpal. Baik gerai kecil maupun raksasa sama-sama menjual
dagangan bermerek perubahan demi meraih dukungan besar dan dapat merebut
kekuasaan.
Ke dalam gerai-gerai itulah para politikus
muda bernaung. Tentu dibutuhkan banyak syarat, antara lain modal uang,
popularitas, modal sosial, dan modal (baca: lobi) politik. Dengan cara instan
itulah mereka nangkring di lembaga-lembaga negara.
Jangan bertanya soal ideologi, perubahan, dan
komitmen sosial kepada mereka. Tanyalah yang praktis-praktis saja. Misalnya,
mobil mewah merek apa yang mereka sukai atau alasan membeli rumah yang harganya
”cuma” Rp 1,5 miliar. Anda akan dianggap ”jadul” (kuno) jika bertanya soal
pentingnya memperjuangkan jaminan sosial bagi rakyat, pembangunan
infrastruktur, pelayanan kesehatan/pendidikan, upaya mengatasi
pengangguran/kemiskinan, dan pemberantasan korupsi.
Sebagian (besar) memahami peran
sosial-politik sebagai karier profesional, bukan panggilan
kemanusiaan/kebangsaan. Seluruh perolehan material dianggap lebih penting
daripada ideologi (etika-etos) dan pengabdian yang memberikan output bermakna
bagi publik. Ketersesatan pemahaman itu menimbulkan blunder, yakni korupsi,
yang akhirnya membunuh karakter para politikus muda itu.
Impian untuk menjadi kaya menggoda mereka
untuk bermain sulap dalam soal anggaran yang bersumber dari APBN. Jalan lain
yang ditempuh adalah melakukan praktik-praktik makelar dalam permainan tender
yang bernilai miliaran, bahkan triliunan rupiah.
Mati Sebelum Berarti
Politisi muda yang terjangkit korupsi itu
gagal membangun nilai dan makna atas peran sosialnya; kalimat kunci yang oleh
Chairil Anwar dielaborasi menjadi frase puitis ”sekali berarti sesudah itu
mati”. Mereka pun telanjur ”mati” sebelum berarti.
Materialisme dan pragmatisme yang menguasai
jagat politik sekarang ini terlalu tangguh hanya dihadapi dengan kemampuan
teknis, kecakapan intelektual, dan lobi politik. Mahatma Gandhi mengajarkan,
politik butuh komitmen moral agar tidak kotor. Moralitas berbicara tentang
nilai-nilai yang seharusnya diperjuangkan/diwujudkan: kemanusiaan, keadilan,
kebangsaan, dan solidaritas sosial. Moralitas melekat pada martabat. Politik
yang bermartabat mampu mengubah chaos menjadi cosmos.
Sangat mungkin para politisi yang kini ”mati
muda” itu lebih terpukau pada silau jagat politik yang menjanjikan kemapanan,
limpahan uang, dan popularitas. Seolah-olah martabat ditentukan dari gebyar
duniawi itu sehingga mereka giat membangun proyek pencitraan diri. Mereka lupa,
martabat ditentukan karakter personal (jujur, bersih, mampu, dan bertanggung
jawab) yang membias/mewujud dalam praksis sosial bermakna.
Politikus yang
berkarakter selalu menggugat diri terkait kehidupan rakyat yang tidak
sejahtera, bukan malah sibuk menuntut kenaikan gaji dan fasilitas mewah.
Betapa sederhananya perjalanan para politikus
muda, sesederhana kisah-kisah dalam balada. Mereka melesat bak meteor, sekejap
”bercahaya”, tetapi akhirnya lenyap diringkus gelap.
Pada akhirnya, setiap orang akan menemukan
”kodrat” dirinya. Politisi bermental instan, rapuh, dan bermoral keruh tak akan
mampu menyentuh lapisan langit pencapaian tinggi dan jauh. Sejarah pun
memasukkan nama mereka dalam catatan yang buram dan lusuh.
Dalam jagat politik yang oleng dan galau,
bangsa ini membutuhkan politikus-politikus berkapasitas pendekar sekaligus
kesatria-kesatria iman yang tangguh. Kepada mereka bangsa ini selalu menaruh
hormat dan tak akan pernah mengucapkan ”selamat tinggal”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar