Bupati-bupati
Inlander
Sri-Edi Swasono, GURU BESAR UI; KETUA UMUM MAJELIS LUHUR TAMANSISWA
Sumber
: KOMPAS, 18
Februari 2012
Seorang pejabat tinggi pemerintah
menyampaikan kepada saya niatnya menerbitkan buku berdasarkan data yang
dimiliki kantornya berjudul ”Tukang Becak dan Kemiskinan Massal”. Saya bilang,
judul semacam itu tidak akan menarik selera baca.
John Kenneth Galbraith yang menulis buku Why The Poor Are Poor, 55 tahun lalu,
tak direspons pembaca. Istrinya mengusulkan judul buku diganti The Affluent Society. Buku itu pun
terkenal sebagai buku superlaris, menyajikan pencerahan tentang ekonomi dan
humanisme.
Kepada pejabat tinggi itu saya sarankan agar
judul bukunya diganti ”Bupati-bupati Inlander” atau ”Bupati-bupati Keblinger”,
pasti bukunya akan jadi tersohor.
Tugas Kerakyatan
Ketika saya berkunjung ke satu kabupaten,
yang sesuai kriteria Bappenas termasuk kabupaten tertinggal, sang bupati
memamerkan pemasukan anggaran Rp 1 miliar per tahun berupa royalti dari
restoran cepat saji makanan asing yang diizinkannya berdiri di pinggir
alun-alun kabupaten. Alun-alun turun pangkat, bukan lagi sebagai kemegahan
lokal yang dikelilingi kantor kabupaten, masjid agung, kantor pos, penjara, dan
kawedanan. Sang bupati yang bangga dengan hadirnya restoran waralaba asing itu
masih inlander, mudah terkagum-kagum.
Berapa omzet restoran cepat saji ini jika
berani membayar royalti Rp 1 miliar per tahun: Rp 10 miliar-kah, Rp 15
miliar-kah? Maka, akan sebesar omzet itu pula uang rakyat tersedot ke situ,
tidak lagi dibelanjakan jajanan pasar dan makanan lokal lain buatan rakyat.
Proses pemiskinan ini tidak menguak kesadaran sang bupati. Baginya modernisasi
adalah pembaratan, mengagumi investor asing, lengah akan tugas kerakyatan.
Membangun mal atau supermal tentu tak harus
dilarang, tetapi semestinya dikenai syarat-syarat. Sebagai pemberi izin,
seharusnya kekuasaan pemerintah daerah ini disertai aturan menata kehidupan
ekonomi demi menyejahterakan rakyat. Misalnya, 70 persen produk yang dijual di
mal harus produk lokal dan produk dalam negeri. Lalu, 30 persen tempat
disediakan untuk usaha-usaha kecil—termasuk pedagang kaki lima bisa masuk ke
dalam mal— dengan biaya kios yang terjangkau.
Pelanggaran terhadap aturan ini tidak boleh
ditoleransi dengan denda. Barangkali ada baiknya pula jika konsumen-konsumen
dapat diatur oleh perbankan memperoleh saham kesertaan dari
minimarket-minimarket di RT/RW. Bukankah rakyat harus senantiasa terbawa serta
dalam kemajuan pembangunan?
Pemodal dan Pedagang Politik
Globalisasi dengan selera hidup konsumtif
affluency-nya mendapat tempat di Indonesia. Kesan kuat terasakan, banyak
penguasa daerah mereduksi makna pembangunan menjadi sekadar hadirnya mal,
supermarket, dan semacamnya. Ibaratnya, pembangunan ada jika muncul restoran
hamburger, piza, dan semacamnya, serba absurd dengan papan-papan nama serba
berbahasa asing. Ternyata sebagian teman kampus menyukai pula model dan selera
ekonomi macam ini, tetapi bagi sebagian yang lain menyebutnya sebagai
kemiskinan akademis.
Akibatnya nyata: demi mal, supermarket—dan
tentu demi hotel mewah dan permukiman supermewah—pembangunan telah menggusur
orang miskin, bukan menggusur kemiskinan. Transfer pemilikan—terutama
tanah—dari si lemah ke si kuat makin intensif dan masif, sekaligus merupakan
proses minderisasi (inferiorization)
rakyat.
Tidak ada orang yang tergusur dengan pesangon
menjadi kaya, sebaliknya pemilik baru akan terus memperoleh rente ekonomi.
Pemilikan bersama (co-ownership)
adalah kata kunci penyelesaian. Pemiskinan rakyat ini terjadi karena berlakunya
pakem-pakem zaman edan, mumpungisme alias carpediemism dan cita rasa murah
penguasa-penguasa daerah, maka pembangunan berubah menjadi proses dehumanisasi.
Terpilihnya pemimpin daerah bukan berkat
pakem vox populi vox dei, melainkan sekadar vox populi vox argentum alias suara
rakyat suara uang receh. Tokoh lokal yang terbaik tidak terpilih jadi pemimpin
akibat takhta bukan untuk rakyat, melainkan untuk pemodal dan pedagang politik.
Kata Mendagri, ada 160 bupati jadi tersangka atau masuk bui. Indeks korupsi
APBD diberitakan tetap tinggi. Mereka bupati-bupati keblinger, jabatannya bukan
untuk rakyat, tetapi untuk diri sendiri.
Siapa salah jika sang bupati tak mengenal
potensi rakyat, potensi daerah, dan nilai oportunitasnya? Siapa salah kalau
sang bupati tak berwawasan pembangunan humanistis sebagaimana dikehendaki
konstitusi kita: bahwa pembangunan harus menghasilkan nilai tambah ekonomi
sekaligus nilai tambah sosial-kultural?
Pembangunan semestinya merupakan
pemberdayaan, bukan pelumpuhan terhadap rakyat. Pembangunan harus merupakan
improvisasi kehidupan, bukan pemiskinan terhadap rakyat. Brutalitas
neoliberalisme ekonomi menambah kesewenang-wenangan dan kesengsaraan rakyat.
Otonomi daerah telah membawa kegamangan bagi para bupati. Ibaratnya, sumber daya
alam boleh diobral: Indonesia is for sale!
Barangkali Mendagri lengah budaya di sini, ia
”menyekolahkan” bupati-bupati baru ke Harvard
School of Government, bukan ke kampus-kampus kita sendiri yang memahami
pembangunan partisipatori-emansipatif. Barangkali itulah hasilnya ke Harvard,
asingisasi.
Bukan Sekadar Bagi-bagi Kue
Pembangunan bukan lagi sekadar memperbesar
”kue pembangunan”, bukan memperbesar produk domestik bruto (PDB). Bahkan, tak
lagi sekadar bagaimana membagi kue pembangunan secara adil.
Hakikat pembangunan justru menyangkut jenis
kue pembangunan itu sendiri, menyangkut pola produksi yang mendikte pola
konsumsi. Apakah kita membuat ”kue tar” dengan bahan-bahan impor yang tak
diproduksi di dalam negeri? Apakah kita membuat ”tumpeng” sebagai kue
pembangunan yang penuh bahan lokal produksi rakyat kita sendiri, yang berarti
partisipasi dan emansipasi rakyat lebih luas, yang tentu akan lebih memakmurkan
dan memanusiakan rakyat.
Pembangunan juga dituntut menjadi upaya
peningkatan dan perluasan kemampuan rakyat sehingga proses pembangunan dapat
diartikan sebagai proses keberlanjutan peningkatan produktivitas rakyat. Di
sinilah peran ilmu ekonomi institusional sekaligus ekonomi konstitusi yang
diabaikan dalam pembelajaran otonomi daerah. Tentu tidak semua bupati merusak
otonomi daerah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar