Sabtu, 18 Februari 2012

Nakalnya Birokrasi


Nakalnya Birokrasi
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR ICW
Sumber : KOMPAS, 18 Februari 2012



Gelontoran dana negara Rp 13,4 triliun pada 2010 untuk mendongkrak pendapatan pegawai negeri lewat program remunerasi ternyata belum cukup efektif untuk membenahi mentalitas koruptif birokrasi.

Berdasarkan data analisis tren penegakan hukum korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) 2011, pegawai negeri justru merupakan aktor yang paling banyak korupsi dibandingkan lainnya. Dari 1.053 tersangka korupsi yang datanya berhasil dikumpulkan selama 2011, sebanyak 239 berstatus pegawai negeri (ICW, Tren Korupsi 2011).

Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) I-2011 lebih kurang seragam. Menurut BPK, meskipun terdapat perbaikan signifikan dalam kualitas penyajian laporan keuangan pemerintah di pusat dan di daerah, dugaan penyimpangan di birokrasi tetap tidak bisa dianggap remeh. BPK menemukan minimal ada 2.281 kasus ketidakpatuhan dengan berbagai variasi modus penyimpangan yang dapat menimbulkan kerugian negara Rp 5,5 triliun.

Modus penyimpangan yang diidentifikasi BPK merupakan ciri khas korupsi birokrasi, yakni berhubungan dengan kegiatan pengadaan barang/jasa di lembaga pemerintah, seperti praktik penggelembungan harga, proyek pengadaan barang/jasa fiktif, pembiaran terhadap wanprestasi kontrak kerja rekanan, baik karena rekanan tidak menyelesaikan proyek atau kekurangan volume pekerjaan maupun kelebihan pembayaran pekerjaan.

Penyimpangan lain yang ditemukan BPK adalah laporan perjalanan dinas (SPPD) fiktif dan melebihi pagu, pembayaran honorarium ganda, dan penggunaan uang negara untuk keperluan pribadi (BPK, Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester I, 2011).

Beberapa penjelasan di atas telah menepis asumsi dominan bahwa penyebab terbesar penyakit korupsi di lembaga birokrasi adalah sistem penggajian yang buruk. Corruption by need tampaknya telah bertransformasi menjadi corruption by want. Jika kebutuhan memiliki batas dan kecukupan, keinginan merupakan sesuatu yang terus muncul dan didorong oleh nafsu ketamakan dan ”mimpi jorok” tentang kehidupan glamor.

Langkah Konvensional

Meskipun korupsi birokrasi sudah sangat mengkhawatirkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara konvensional untuk menyelesaikannya. Program remunerasi, sebagai misal, telah dibajak oleh para predator berbaju dinas sehingga tak banyak meningkatkan integritas para pegawai birokrasi. Selain itu, birokrasi yang mudah sekali dikooptasi oleh elite politik, baik di pusat maupun daerah, turut mendorong kegagalan reformasi birokrasi secara lebih efektif.

Bagaimana mungkin mekanisme insentif bagi pegawai birokrasi yang cakap, jujur, dan berprestasi dapat dipraktikkan jika pengaruh politik terhadap birokrasi masih sangat kental. Keinginan partai politik mendapatkan akses sumber daya publik melalui lembaga birokrasi—dengan menempatkan kader mereka di pucuk pimpinan departemen atau sebagai kepala daerah—telah mengacaukan agenda reformasi birokrasi yang bertumpu pada peningkatan kesejahteraan pegawai.

Akibatnya, agenda reformasi birokrasi ibarat membuang garam di lautan. Meski ada sedikit perbaikan kualitas pelayanan publik, penyalahgunaan anggaran dan penerimaan negara terus berlangsung.

Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS juga tak berwibawa. Ringannya sanksi terhadap pegawai negeri yang melakukan penyimpangan, termasuk korupsi, tak banyak menimbulkan efek takut. Pertanyaannya, mengapa jenis pelanggaran yang sama (misalnya penyalahgunaan kekuasaan) memiliki jenjang hukuman berbeda dilihat dari dampaknya: terhadap lingkungan kerja, lembaga tempat bekerja, atau negara?

Pemerintah agaknya alpa bahwa dampak terburuk dari sikap yang sangat permisif terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan birokrasi adalah terbentuknya nilai-nilai yang salah: bahwa melanggar itu dapat ditoleransi. Bandingkan dengan Pemerintah Meksiko yang telah memecat dengan tidak hormat 900-an aparat kepolisian dalam kampanye antikorupsi terkait perang besar terhadap narkotika.

Reformasi Mendasar

Reformasi birokrasi memang membutuhkan beberapa prasyarat. Pertama, birokrasi harus benar-benar steril dari kepentingan politik di berbagai jenjang pemerintahan. Kehadiran partai politik dan elitenya yang gemar mengeksploitasi sumber daya publik melalui berbagai praktik korupsi telah berdampak buruk pada birokrasi yang dikendalikannya. Tanpa sterilisasi, sulit mendorong perubahan di lembaga birokrasi dalam sistem politik yang amat koruptif ini.

Kedua, pembiayaan atas birokrasi akan terus meningkat jika postur dan ukurannya tidak dipangkas. Negara bisa kebobolan anggaran jika pertumbuhan lembaga birokrasi tidak dihentikan. Menurut data Seknas Fitra, 124 pemda di Indonesia terancam bangkrut karena belanja pegawainya di atas 60 persen dari total APBD (Seknas Fitra, 2011).

Jeff Hutter dan Anwar Shah menyarankan, satu-satunya cara melapangkan jalan reformasi birokrasi adalah dengan pemangkasan postur birokrasi dan jumlah pegawai. Dengan pengerucutan ukuran dan jumlah pegawai birokrasi, negara akan lebih efisien dan fokus pada tugas utama melayani warga (Jeff Hutter dan Anwar Shah, 2000).

Ketiga, birokrasi tidak boleh lagi dianakemaskan oleh negara dengan berbagai macam fasilitas. Modernisasi birokrasi harus dilakukan dengan cara menghargai pegawai yang berprestasi sehingga akhirnya dapat menyingkirkan dengan cepat siapa saja yang tidak kompetitif, buruk kinerja, dan tidak profesional.

Tidak seperti hari ini: memecat yang sudah terbukti korupsi pun negara enggan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar