Nakalnya
Birokrasi
Adnan Topan Husodo, WAKIL KOORDINATOR ICW
Sumber
: KOMPAS, 18
Februari 2012
Gelontoran dana negara Rp 13,4 triliun pada
2010 untuk mendongkrak pendapatan pegawai negeri lewat program remunerasi
ternyata belum cukup efektif untuk membenahi mentalitas koruptif birokrasi.
Berdasarkan data analisis tren penegakan
hukum korupsi Indonesia Corruption Watch
(ICW) 2011, pegawai negeri justru merupakan aktor yang paling banyak korupsi
dibandingkan lainnya. Dari 1.053 tersangka korupsi yang datanya berhasil
dikumpulkan selama 2011, sebanyak 239 berstatus pegawai negeri (ICW, Tren
Korupsi 2011).
Laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) I-2011 lebih kurang seragam. Menurut BPK, meskipun terdapat
perbaikan signifikan dalam kualitas penyajian laporan keuangan pemerintah di
pusat dan di daerah, dugaan penyimpangan di birokrasi tetap tidak bisa dianggap
remeh. BPK menemukan minimal ada 2.281 kasus ketidakpatuhan dengan berbagai
variasi modus penyimpangan yang dapat menimbulkan kerugian negara Rp 5,5
triliun.
Modus penyimpangan yang diidentifikasi BPK
merupakan ciri khas korupsi birokrasi, yakni berhubungan dengan kegiatan
pengadaan barang/jasa di lembaga pemerintah, seperti praktik penggelembungan
harga, proyek pengadaan barang/jasa fiktif, pembiaran terhadap wanprestasi
kontrak kerja rekanan, baik karena rekanan tidak menyelesaikan proyek atau
kekurangan volume pekerjaan maupun kelebihan pembayaran pekerjaan.
Penyimpangan lain yang ditemukan BPK adalah
laporan perjalanan dinas (SPPD) fiktif dan melebihi pagu, pembayaran honorarium
ganda, dan penggunaan uang negara untuk keperluan pribadi (BPK, Ikhtisar Hasil
Pemeriksaan Semester I, 2011).
Beberapa penjelasan di atas telah menepis
asumsi dominan bahwa penyebab terbesar penyakit korupsi di lembaga birokrasi
adalah sistem penggajian yang buruk. Corruption by need tampaknya telah
bertransformasi menjadi corruption by want. Jika kebutuhan memiliki batas dan
kecukupan, keinginan merupakan sesuatu yang terus muncul dan didorong oleh
nafsu ketamakan dan ”mimpi jorok” tentang kehidupan glamor.
Langkah Konvensional
Meskipun korupsi birokrasi sudah sangat
mengkhawatirkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara konvensional untuk
menyelesaikannya. Program remunerasi, sebagai misal, telah dibajak oleh para
predator berbaju dinas sehingga tak banyak meningkatkan integritas para pegawai
birokrasi. Selain itu, birokrasi yang mudah sekali dikooptasi oleh elite
politik, baik di pusat maupun daerah, turut mendorong kegagalan reformasi
birokrasi secara lebih efektif.
Bagaimana mungkin mekanisme insentif bagi
pegawai birokrasi yang cakap, jujur, dan berprestasi dapat dipraktikkan jika
pengaruh politik terhadap birokrasi masih sangat kental. Keinginan partai
politik mendapatkan akses sumber daya publik melalui lembaga birokrasi—dengan
menempatkan kader mereka di pucuk pimpinan departemen atau sebagai kepala
daerah—telah mengacaukan agenda reformasi birokrasi yang bertumpu pada
peningkatan kesejahteraan pegawai.
Akibatnya, agenda reformasi birokrasi ibarat
membuang garam di lautan. Meski ada sedikit perbaikan kualitas pelayanan
publik, penyalahgunaan anggaran dan penerimaan negara terus berlangsung.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010
tentang Disiplin PNS juga tak berwibawa. Ringannya sanksi terhadap pegawai negeri
yang melakukan penyimpangan, termasuk korupsi, tak banyak menimbulkan efek
takut. Pertanyaannya, mengapa jenis pelanggaran yang sama (misalnya
penyalahgunaan kekuasaan) memiliki jenjang hukuman berbeda dilihat dari
dampaknya: terhadap lingkungan kerja, lembaga tempat bekerja, atau negara?
Pemerintah agaknya alpa bahwa dampak terburuk
dari sikap yang sangat permisif terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan
birokrasi adalah terbentuknya nilai-nilai yang salah: bahwa melanggar itu dapat
ditoleransi. Bandingkan dengan Pemerintah Meksiko yang telah memecat dengan
tidak hormat 900-an aparat kepolisian dalam kampanye antikorupsi terkait perang
besar terhadap narkotika.
Reformasi Mendasar
Reformasi birokrasi memang membutuhkan
beberapa prasyarat. Pertama, birokrasi harus benar-benar steril dari
kepentingan politik di berbagai jenjang pemerintahan. Kehadiran partai politik
dan elitenya yang gemar mengeksploitasi sumber daya publik melalui berbagai
praktik korupsi telah berdampak buruk pada birokrasi yang dikendalikannya.
Tanpa sterilisasi, sulit mendorong perubahan di lembaga birokrasi dalam sistem
politik yang amat koruptif ini.
Kedua, pembiayaan atas birokrasi akan terus
meningkat jika postur dan ukurannya tidak dipangkas. Negara bisa kebobolan
anggaran jika pertumbuhan lembaga birokrasi tidak dihentikan. Menurut data
Seknas Fitra, 124 pemda di Indonesia terancam bangkrut karena belanja
pegawainya di atas 60 persen dari total APBD (Seknas Fitra, 2011).
Jeff Hutter dan Anwar Shah menyarankan,
satu-satunya cara melapangkan jalan reformasi birokrasi adalah dengan
pemangkasan postur birokrasi dan jumlah pegawai. Dengan pengerucutan ukuran dan
jumlah pegawai birokrasi, negara akan lebih efisien dan fokus pada tugas utama
melayani warga (Jeff Hutter dan Anwar Shah, 2000).
Ketiga, birokrasi tidak boleh lagi
dianakemaskan oleh negara dengan berbagai macam fasilitas. Modernisasi
birokrasi harus dilakukan dengan cara menghargai pegawai yang berprestasi
sehingga akhirnya dapat menyingkirkan dengan cepat siapa saja yang tidak
kompetitif, buruk kinerja, dan tidak profesional.
Tidak seperti hari ini: memecat yang sudah
terbukti korupsi pun negara enggan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar