Jumat, 11 November 2011

Ironi RUU Zakat


Ironi RUU Zakat
Yusuf Wibisono, WAKIL KEPALA PUSAT EKONOMI DAN BISNIS SYARIAH, FEUI
Sumber : KORAN TEMPO, 11 November 2011



Dewan Perwakilan Rakyat secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Zakat, Infaq, dan Shadaqah (ZIS) menjadi undang-undang pada rapat paripurna 27 Oktober 2011. RUU Zakat yang diperjuangkan sejak DPR periode 2004-2009 dan naskahnya telah selesai dibuat DPR sejak 2010—sedangkan draf pemerintah baru masuk pada April 2011—ternyata pembahasannya berjalan relatif singkat. Pembahasan RUU Zakat selesai pada September 2011, hanya sekitar tiga bulan.

Dalam undang-undang baru ini terlihat pokok-pokok reformasi pengelolaan zakat nasional masa depan: (i) Sentralisasi pengelolaan zakat nasional oleh pemerintah,
yaitu melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) yang didirikan dari tingkat pusat
hingga kabupaten/kota, dengan Baznas di setiap tingkatan dapat membentuk Unit
Pengumpul Zakat (UPZ) hingga ke tingkat kelurahan; (ii) Peran serta masyarakat dalam
pengelolaan zakat nasional melalui Lembaga Amil Zakat (LAZ) dimarginalkan, dengan eksistensi LAZ sekadar membantu Baznas; (iii) Sumber pembiayaan Baznas berasal dari anggaran pendapatan dan belanja negara, anggaran pendapatan dan belanja daerah, dan hak amil, sedangkan LAZ hanya dari hak amil; serta (iv) Menteri Agama melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap Baznas dan LAZ, serta dapat memberikan sanksi administratif atas pelanggaran berupa peringatan tertulis, pembekuan operasi, hingga pencabutan izin.

Hasil akhir pembahasan RUU ZIS ini adalah antiklimaks, selain karena waktu pembahasan yang relatif singkat dan tanpa debat publik yang memadai, lantaran
hampir keseluruhan isi undang-undang didominasi oleh draf pemerintah (Kementerian
Agama). Draf awal usulan DPR, karena undang-undang ini merupakan inisiatif DPR dan banyak menampung aspirasi masyarakat sipil atas pengelolaan zakat nasional,
nyaris hilang seluruhnya dari undang-undang ini.

Disahkannya undang-undang ini justru akan menjadi langkah mundur bagi dunia zakat nasional. Undang-undang yang merupakan amendemen terhadap UU Nomor 38 Tahun 1999 ini gagal menjalankan misi utamanya dalam mengoptimalkan potensi dana filantropi Islam yang besar, dan perannya yang strategis dalam penanggulangan
kemiskinan serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Dalam konteks masyarakat madani Indonesia yang demokratis, UU ZIS semestinya mengukuhkan peran negara dalam memberi perlindungan bagi warga negara yang membayar zakat (muzaki), menjaga ketertiban umum dengan mencegah penyalahgunaan dana zakat, memfasilitasi sektor filantropi Islam untuk perubahan sosial, dan memberi insentif bagi perkembangan dunia zakat nasional. Namun undang-undang ini justru mematahkan praktek pengelolaan zakat yang baik oleh masyarakat
sipil yang telah berjalan lama, sekaligus memarginalkan partisipasi masyarakat sipil dalam penanggulangan kemiskinan dan pembangunan.

Marginalisasi LAZ dalam undang-undang ini sangat jelas dan eksplisit. Undang-undang
mengamanatkan bahwa yang memiliki kewenangan atas pengelolaan zakat nasional hanya Baznas, sedangkan pendirian LAZ oleh masyarakat sekadar membantu Baznas. Lebih jauh lagi, pendirian LAZ direstriksi secara ketat, dengan restriksi yang sangat krusial adalah keharusan LAZ didirikan atau merupakan bagian dari organisasi kemasyarakatan Islam. LAZ, yang sekarang sudah dikukuhkan, memang tetap diakui dalam undang-undang ini, tapi maksimal setahun mereka diharuskan menyesuaikan diri dengan undang-undang baru. Artinya, harus mengikuti persyaratan pendirian LAZ baru jika ingin pengukuhannya tidak dicabut oleh Menteri Agama. Pasal ini sangat potensial digunakan untuk melemahkan bahkan “membunuh”LAZ karena LAZ-LAZ besar saat ini tidak berafiliasi dengan ormas Islam.

Hal ini secara jelas kontraproduktif dengan upaya peningkatan kinerja zakat nasional.
Kinerja penghimpunan dan pendayagunaan dana zakat lebih banyak ditentukan oleh legitimasi dan reputasi lembaga pengumpul, bukan oleh sentralisasi kelembagaan oleh pemerintah. Kinerja zakat nasional terbukti justru meningkat setelah dikelola oleh masyarakat sipil yang kredibel.

UU ZIS baru juga tidak memberi kejelasan tentang tata kelola yang baik untuk dunia zakat nasional. Undang-undang menempatkan Kementerian Agama sebagai regulator dan pengawas, sedangkan Baznas sebagai operator. Namun Baznas melakukan fungsi perencanaan pengelolaan zakat nasional dan menerima laporan dari Baznas provinsi,
Baznas kabupaten/kota, dan LAZ. Dalam undang-undang ini, Baznas secara jelas mengalami conflict of interest: berstatus sebagai operator, tapi memiliki kewenangan regulator. Kewenangan otoritatif yang dimiliki Baznas tidak akan efektif karena ketiadaan kredibilitas, lantaran Baznas merangkap sebagai operator. Fungsi regulasi yang dijalankan Kementerian Agama pun akhirnya terlihat menjadi setengah hati, dan karena itu diyakini tidak akan optimal.Kementerian akan sulit melakukan fungsi  pembinaan dan pengawasan secara optimal karena Baznas provinsi, Baznas kabupaten/kota, dan LAZ melakukan pelaporan ke Baznas, bukan ke Kementerian Agama.

UU Zakat baru ini juga memberi privilese secara luar biasa kepada Baznas sehingga
menciptakan level of playing field yang tidak sama antara Baznas dan LAZ. Ketika LAZ mendapat persyaratan pendirian yang ketat, hal yang sama tidak diterapkan pada Baznas hanya karena ia adalah lembaga pemerintah. Bahkan pendirian Baznas menjadi amanat undang-undang. Ketika LAZ dihadapkan pada disiplin pasar yang tinggi karena kelangsungan operasionalnya sepenuhnya bergantung pada zakat yang dihimpun, Baznas mendapat pembiayaan dari APBN dan APBD serta tetap berhak menggunakan zakat untuk operasionalnya, yaitu hak amil.

Meskipun undang-undang menyatakan Baznas adalah lembaga pemerintah konstruktural, pendirian Baznas secara jelas mengikuti struktur pemerintah dari tingkat
pusat hingga kelurahan. Jika mengikuti amanat undang-undang, pada masa mendatang, selain Baznas di tingkat pusat, akan terdapat 33 Baznas provinsi dan 502
Baznas kabupaten/kota. Jika Baznas di setiap tingkatan membentuk UPZ dengan mengikuti struktur pemerintahan, akan terdapat 6.636 UPZ tingkat kecamatan dan 76.155 UPZ kelurahan/desa.Ketika pemerintah menolak proposal pendirian lembaga baru sebagai regulator zakat karena alasan beban anggaran negara, kini pemerintah
justru jauh lebih parah dalam membebani anggaran negara dengan menetapkan struktur Baznas yang sangat tambun dan harus dibiayai oleh APBN dan APBD.

Dengan konsep sentralisasi pengelolaan zakat versi Kementerian Agama dengan
Baznas yang didirikan mengikuti struktur administrasi pemerintahan, jumlah operator
zakat menjadi sangat besar dan secara jelas mengindikasikan inefisiensi dunia zakat
nasional terkait dengan penghimpunan dana zakat yang relatif masih kecil. Pengelolaan
zakat nasional menjadi tidak efisien, karena mayoritas operator beroperasi pada skala usaha yang terlalu kecil. Pada 2010, penghimpunan dana zakat Baznas, 33 Badan Amil Zakat Daerah (Bazda) provinsi dan 447 Bazda kabupaten/kota hanya mencapai Rp 865 miliar, atau secara ratarata tiap BAZ hanya mengelola dana kurang dari Rp 2 miliar per tahun. Sangat jauh dari ideal untuk mencapai economies of scale.Terlebih jika kita memperhitungkan beban penghimpunan oleh puluhan ribu UPZ kecamatan dan UPZ desa/kelurahan, inefisiensi dunia zakat nasional menjadi sangat mengkhawatirkan.

Pada saat yang sama, kondisi LAZ jauh lebih baik. Pada 2010, 18 LAZ nasional dan 22 LAZ daerah mampu menghimpun Rp 635 miliar, atau secara rata-rata tiap LAZ pengelola dana lebih dari Rp 15 miliar per tahun. Dengan undang-undang ini, LAZ yang memiliki kinerja jauh lebih baik justru dimarginalkan, bahkan dilemahkan secara sistemik.Konsolidasi Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) adalah keharusan untuk efisiensi dunia zakat nasional, karena itu restriksi LAZ sudah tepat. Namun restriksi
tersebut menjadi ahistoris dan tidak valid ketika dikaitkan dengan keharusan berafiliasi dengan ormas Islam. Di saat yang sama restriksi juga menjadi diskriminatif ketika BAZ tidak mendapat restriksi yang serupa, bahkan pendiriannya diperluas dan menjadi manat undang-undang.

Lebih dari setahun yang lalu, dalam kolom “RUU Zakat dan Kesejahteraan Umat”,
Koran Tempo, 14 Mei 2010, saya pernah berargumen bahwa dalam pembahasan RUU Pengelolaan Zakat ini, isu utama yang seharusnya didorong masuk dalam pembahasan
adalah desentralisasi pengelolaan zakat dengan regulator yang kuat dan kredibel, konsolidasi OPZ menuju dunia zakat nasional yang efisien, dan kemitraan pemerintah-
OPZ untuk akselerasi pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Namun tampaknya tidak cukup keras untuk menembus tembok gedung parlemen.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar