Jumat, 09 Juli 2021

 

Urgensi Investasi bagi Korporasi Petani

Bagus Herwibawa ;  Dosen Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro

KOMPAS, 29 Juni 2021

 

 

                                                           

Setahun lebih sejak pandemi Covid-19 dinyatakan resmi, banyak sektor yang terpukul krisis multidimensi. Berbeda dengan sektor lain, pertanian masih terbukti punya daya lenting. Apresiasi sudah seharusnya pantas diterima petani, yang tak pernah berhenti berusaha di tengah pandemi.

 

Hari Krida Pertanian (HKP) yang diperingati setiap 21 Juni merupakan wujud penghargaan kepada petani. Tidak hanya ungkapan rasa syukur kita kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kekayaan alam Indonesia. Keberpihakan kepada petani harus menjadi keniscayaan karena petani yang mendapat mandat mengelola alam untuk kesejahteraan.

 

"Sedangkan soal persediaan makanan rakyat ini bagi kita adalah soal hidup dan mati”, sebuah petikan pidato Soekarno saat peletakan batu pertama Gedung Fakultet Pertanian UI di Bogor tahun 1952. Keberpihakan pemerintah sebenarnya sudah ditunjukkan dengan berbagai program strategis untuk mendongkrak kesejahteraan petani.

 

Namun, selama bertahun-tahun jalan termudah untuk meredam masalah pangan justru dipilih pemerintah. Impor pangan selalu menjadi solusi ketika stok nasional dikatakan menipis. Panen raya hanya sekadar menjadi angka prestasi, tanpa pernah mendatangkan nilai yang berarti bagi sebagian besar petani.

 

Petani tua yang seakan tak punya posisi tawar, bahkan ketika harga jual produknya ditentukan tengkulak, hanya bisa menerimanya dengan pasrah. Disparitas harga di tingkat produsen dan konsumen, kompleksitas budidaya, dan citra petani yang miskin. Sangat wajar bila profesi petani sudah tidak diminati sebagian besar generasi muda.

 

Generasi muda sadar bahwa pertumbuhan ekonomi dapat diwujudkan dan dipertahankan dengan adanya suatu aliran investasi yang stabil dan andal. Investasi di sektor pertanian sangat penting karena dapat mengintroduksi teknologi baru, meningkatkan pengetahuan dan kapasitas manajerial, serta koneksi ke pasar global.

 

Teori Harrod-Domar memberikan peranan kunci pada investasi dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya mengenai watak gandanya. Yaitu, menciptakan pendapatan yang disebut dampak permintaan, dan memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan meningkatkan stok modal yang disebut dampak penawaran.

 

Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) melaporkan realisasi investasi di sektor pertanian selama tahun 2020 hingga awal 2021 sebesar Rp 62 triliun, dengan proporsi modal dalam negeri sebesar 67 persen sementara modal asing sekitar 33 persen. Realisasi investasi pertanian tentu akan bertumbuh seiring dengan peluang peningkatan konsumsi domestik.

 

Untuk sawit misalnya, banyak perusahaan yang menyuntikkan investasi karena kebijakan mandatori biodiesel meningkatkan konsumsi minyak sawit mentah (CPO). Namun, keuntungan besar investasi lebih mudah dirasakan konglomerasi di bidang pertanian. Berbeda dengan nasib sebagian besar petani di pedesaan yang seolah tak tersentuh dengan manfaat kebijakan untuk menggenjot perekonomian petani.

 

Investasi di sektor pertanian untuk usaha tani di pedesaan memang masih sedikit peminat. Banyak faktor yang menjadi latar belakang, misalnya usaha tani memiliki risiko tinggi, tidak punya manajemen yang jelas, budidaya tidak efisien, kepemilikan lahan yang sempit, dan tidak memenuhi persyaratan agunan.

 

Model bisnis pertanian di pedesaan sebagai perusahaan (korporasi) saat ini merupakan solusi konkret untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Korporasi petani merupakan kumpulan usaha tani milik petani, yang digabungkan untuk dikelola bersama secara profesional dalam satu manajemen disertai adanya tanda penyertaan modal.

 

Korporasi petani menyebabkan peningkatan produksi bukan lagi menjadi satu-satunya tujuan utama, namun lebih ditentukan manajemen yang berorientasi keuntungan. Manajer dapat menunda untuk menjual produk ketika harga jatuh saat panen raya, tata niaga bisa menjadi lebih pendek, dan akses modal lebih mudah. Petani juga tidak lagi menjual produk hulu, namun harus dijual sebagai produk hilir.

 

Sistem pertanian subsisten akan bertransformasi menjadi agribisnis. Di sisi lain, era neo-pertanian juga tidak bisa dicegah, bagaimana sekarang petani dituntut untuk menghadapi ganasnya ekonomi digital, dan pertanian cerdas berbasis mahadata, otomatisasi, dan kecerdasan buatan yang terintegrasi dengan jaringan internet.

 

Kita juga harus bersiap untuk era manusia 2.0 dimana titik singularitas diperkirakan terjadi pada tahun 2029. Sementara pada tahun 2030, Indonesia diprediksi menghadapi bonus demografi. Saat itu jumlah digital native sudah melebihi digital immigrants. Generasi milenial kemudian akan menjadi kunci utama dalam kehidupan neo-pertanian baik sebagai konsumen maupun produsen.

 

Sembilan tahun bukanlah waktu yang lama untuk menyiapkan generasi milenial sebagai pemegang tongkat estafet pembangunan pertanian selanjutnya. Namun bila proses peralihan teknologi dari tradisional menjadi modern dibiarkan alami, tentu sangat sulit untuk mengejar ketertinggalan. Selain karena keterbatasan biaya, keterbatasan pengetahuan petani juga menjadi faktor penghambat.

 

Oleh karenanya, investasi bagi korporasi petani sangat penting dan mendesak agar petani tetap eksis menjalankan bisnisnya. Investasi juga akan mempercepat regenerasi petani milenial. Bila pertanian memiliki sumber daya dan manajemen yang baik tentu pada akhirnya akan menjadi sektor yang menarik, prospektif, menguntungkan, dan berdampak signifikan bagi peningkatan kesejahteraan petani di pedesaan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar