Mitigasi
Pandemi A Prasetyantoko ; Rektor Unika Atma Jaya |
KOMPAS, 29 Juni 2021
Di bawah langit, tak ada
yang sepenuhnya baru. Sejarah selalu berulang, paling tidak ada pola serupa. Belum
lama ini, tim peneliti Universitas Zurich dan Toronto mengungkap kemiripan
kesalahan dalam merespons pandemi Flu Spanyol 1918 dan Covid-19. Kelambatan reaksi serta
pendekatan terdesentralisasi membuat pandemi semakin panjang dan fatal.
Sejarah juga mencatat gelombang kedua Flu Spanyol cenderung lebih ganas
akibat mutasi penyakit serta kendurnya disiplin warga. Penambahan kasus baru
Covid-19 di atas 20.000 dalam sehari akhir-akhir ini sangat merisaukan. Rumah
Sakit tak lagi bisa menampung pasien, pasokan oksigen terbatas, korban jiwa
pun bertambah drastis. Banyak pihak khawatir kita akan mengalami tragedi
seperti India. Desakan berbagai pihak agar pemerintah mengambil sikap lebih
tegas pembatasan sosial meningkat. Situasinya sangat
dilematis. Di satu sisi momentum pemulihan ekonomi perlu dijaga, tetapi di
sisi lain, korban harus diminimalkan. Jika dilakukan pembatasan sosial lebih
ketat, pemulihan ekonomi di triwulan kedua tahun ini akan kembali turun di
triwulan ketiga. Target pertumbuhan 4 persen tahun ini pun bisa jadi sulit
dicapai. Jika pemulihan tidak
segera terjadi, sementara beban fiskal semakin meningkat dan rasio hutang
semakin tinggi tentu akan menaikkan profil risiko kita. Defisit fiskal 2020
sebesar 6,1 persen diharapkan turun menjadi 5,7 persen pada 2021 dan 4,5
persen pada 2022 sebelum kembali di bawah 3 persen pada 2023 sebagaimana
diamanatkan undang-undang. Untuk mencapai target tersebut, momentum
pertumbuhan harus dijaga. Apalagi, situasi global akan lebih menantang ketika
suku bunga The Fed mulai dinaikkan akibat naiknya inflasi. Gelombang
Kedua Pola penyebaran pandemi
Covid-19 yang berbeda di setiap negara ditentukan oleh berbagai faktor.
Amerika Serikat yang pada pertengahan Januari 2021 memecahkan rekor tertinggi
pertambahan kasus harian sebanyak 250.000, pada akhir Juni sudah turun
drastis menjadi sekitar 10.000 kasus sehari. Pergantian presiden dan
kebijakan vaksinasi massal yang didukung stimulus fiskal sangat besar menjadi
faktor penentu keberhasilan pengendalian pandemi. Di Indonesia pada awal
Februari lalu terjadi gelombang pertama dengan tambahan kasus sekitar 12.000
sehari. Setelah itu cenderung melandai. Pada akhir Juni ini kasusnya
meningkat tajam di atas 20.000 sehari. Banyak pihak khawatir, kita akan
mengalami pola seperti India, di mana pada gelombang kedua penambahan
kasusnya melonjak empat kali lipat. India mengalami gelombang pertama pada
pertengahan September dengan tambahan kasus tertinggi harian 93.000. Pada
gelombang kedua awal Mei, penambahan kasus baru di India hampir 400.000 dalam
sehari. Ada beberapa faktor yang
membuat gelombang kedua melonjak tinggi di India, di antaranya pelaksanaan
pemilu daerah, perayaan keagamaan, dan keengganan pemerintah pusat bersikap
tegas. Selain itu, mutasi virus Delta yang lebih cepat menyebar serta lebih
ganas juga menjadi faktor lainnya. Ada kemiripan pola serangan virus Covid-19
di Indonesia dan India, bukan hanya varian mutasi virusnya, melainkan juga
konteks sosial politiknya. Muncul desakan dari
berbagai pihak agar pemerintah pusat mengambil peran lebih kuat untuk
membatasi mobilitas sosial. Pemerintah telah menerapkan pelaksanaan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro melalui Instruksi Menteri
Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 2021. Pemerintah menegaskan belum perlu melakukan
pengetatan berskala besar karena selain biayanya mahal, aturan pembatasan
dianggap tidak efektif karena kuncinya pada pelaksanaan kebijakan tersebut. Disiplin masyarakat memang
jadi kunci, tetapi disiplin masyarakat bisa dibentuk melalui kebijakan.
Pemerintah memiliki wewenang memaksa agar warga membatasi mobilitas sosialnya
melalui kebijakan yang diambil. Data Google Mobility
Trends menunjukkan, menyusul merebaknya pandemi pada April 2020, aktivitas
masyarakat memang turun tajam. Seiring berjalannya waktu mobilitas sosial
cenderung naik dan relatif cepat kembali pada fase sebelum pandemi. Aktivitas
belanja eceran dan rekreasi sempat mengalami penurunan 45 persen pada bulan
April 2020, tetapi pada akhir Juni sudah lebih tinggi dibanding masa di awal
pandemi. Sebagai perbandingan,
India mengalami penurunan aktivitas serupa hingga 85 persen di awal pandemi,
lalu mulai naik dan kembali turun sebesar 65 persen begitu terjadi
peningkatan kasus. Pola serupa terjadi pada aktivitas lain di luar ruangan
lain, seperti aktivitas di taman dan di area transit. Di India, sepertinya
mobilitas sosial lebih ketat dibandingkan dengan kita. Selain itu, mobilitas
sosial kita cenderung lebih cepat menuju fase normal atau situasi seperti di
awal pandemi. Data mobilitas sosial di luar ruangan bisa menjadi indikator
dini tingkat kedisiplinan masyarakat menghadapi pandemi. Tampaknya India
masih lebih disiplin daripada kita dalam hal mobilitas sosial. Selain membatasi mobilitas
sosial, pilihan yang bisa diambil dalam mitigasi pandemi adalah meningkatkan
tes serta tingkat vaksinasi. Meski sudah terjadi peningkatan jumlah tes
harian, pada 20 Juni tingkat tes baru mencapai 0,26 per 1.000 penduduk.
Bandingkan dengan India yang pernah mencapai 2,2 sewaktu kasusnya memuncak,
sementara Amerika Serikat pernah mencapai 5,7 per seribu penduduk. Semakin
tinggi tingkat tes, semakin baik memitigasi penyebaran virus. Begitu pula kemampuan
melakukan vaksinasi harian bisa menjadi faktor penentu mitigasi pandemi.
Meski sudah terjadi peningkatan dari waktu ke waktu, tingkat vaksinasi per
100 penduduk masih tergolong rendah, yaitu sebesar 0,2. Bandingkan dengan
India yang sudah mencapai 0,42 dan masih di bawah rerata global 0,53. Hingga
25 Juni, baru 9,11 persen penduduk Indonesia mendapat suntikan (pertama)
vaksinasi dan baru 4,7 persen yang mendapat vaksinasi penuh. Bandingkan
dengan India yang sudah mencapai 14 persen dan AS sebesar 53 persen. Jika kemampuan melakukan
tes, pelacakan, dan vaksinasi masih jauh dari kebutuhan mencapai kekebalan
imunitas, pilihannya tinggal menekan mobilitas sosial. Dampaknya, pertumbuhan
2021 akan termoderasi, sementara defisit fiskal mungkin masih akan membesar
dan rasio utang akan cenderung tinggi. Dalam hal ini prinsip menyelamatkan
kehidupan (life) terlebih dahulu, baru kesejahteraan (livelihood) layak
dipertimbangkan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar