Jumat, 09 Juli 2021

 

”Taper Tantrum” Ancam Pemulihan Ekonomi

Agus Sugiarto ;  Kepala OJK Institute

KOMPAS, 30 Juni 2021

 

 

                                                           

Dalam beberapa waktu terakhir ini muncul diskusi yang cukup panjang mengenai potensi munculnya fenomena "taper tantrum" sebagai dampak dari kebijakan moneter Amerika Serikat dalam beberapa waktu mendatang.

 

Istilah taper tantrum menjadi populer pada 2013 yang lalu ketika gubernur bank sentral Amerika Serikat (The Fed) saat itu ingin mengurangi kebijakan moneter yang ekspansif sejalan dengan mulai membaiknya perekonomian negara tersebut. Sebelumnya, kebijakan moneter yang ekspansif itu dilakukan melalui quantitative easing, yaitu dengan mengalirkan likuiditas yang lebih banyak ke pasar dengan membeli surat utang yang diterbitkan oleh Pemerintah AS.

 

Likuiditas tersebut sangat diperlukan untuk mendongkrak kembali perekonomian Amerika Serikat yang dilanda kelesuan selama beberapa tahun sebelumnya. Namun seiring dengan mulai pulihnya ekonomi dan untuk mencegah terjadinya overheating maupun inflasi yang berlebihan, maka The Fed menganggap perlu menginjak pedal rem untuk mengurangi kebijakan quantitative easing secara perlahan-lahan.

 

Kondisi ini bisa terjadi karena untuk mengurangi kebijakan moneter yang ekspansif itu The Fed harus menaikkan suku bunga acuannya, sehingga sebagian likuiditas kembali disedot masuk ke dalam sistem moneter melalui perbankan. Tak pelak lagi dampak dari taper tantrum tersebut membawa dampak berantai terhadap perekonomian global.

 

Pasar surat utang menjadi terganggu karena volatilitas terjadi bukan hanya di negara-negara maju saja, melainkan juga di berbagai negara sedang berkembang. Perubahan kebijakan tersebut menimbulkan gejala taper tantrum, antara lain dengan merosotnya harga surat utang di pasar global sehingga imbal hasil (yield) surat berharga menjadi lebih tinggi.

 

Sebuah penelitian dari Estrada, Park dan Ramayandi (2015), menunjukkan bahwa pasar surat utang maupun saham sangat terpengaruh oleh adanya fenomena taper tantrum tersebut. Nilai tukar beberapa mata uang dunia terdepresiasi terhadap mata uang dollar AS.

 

Dampak lain yang sangat menakutkan adalah terjadinya arus pembalikan modal ke negara adidaya tersebut, sehingga arus modal keluar (capital outflow) dari negara-negara sedang berkembang tidak bisa terhindarkan lagi.

 

Meluasnya dampak dari taper tantrum tersebut sangat dahsyat dan terjadi di hampir di semua negara, mengingat konektivitas perekonomian global antara satu negara dengan negara lainnya sudah tidak ada batasnya lagi.

 

Kondisi tersebut sangat berpengaruh terhadap perekonomian negara-negara sedang berkembang, khususnya pada negara-negara yang masuk kelompok emerging market, seperti Brasil, India, Afrika Selatan, Turki, dan Indonesia. Bagi Indonesia sendiri, taper tantrum yang terjadi pada pertengahan 2013 tersebut juga memberikan dampak yang besar, walaupun ekonomi Indonesia sendiri pada saat itu dalam kondisi yang baik.

 

Saat itu pertumbuhan ekonomi Indonesia di kisaran 5 - 6 persen, namun tetap tidak memiliki imunitas dan kekebalan yang cukup menghadapi fenomena taper tantrum tersebut.

 

Beberapa fakta yang terjadi pada saat terjadinya taper tantrum pada tahun 2013 adalah, dapat dilihat bahwa rupiah sempat tersungkur dari Rp 9.790 menjadi Rp 14.730 (turun 50,4 persen) per dollar AS, sedangkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga mengalami kemerosotan dari 5.207 menjadi 3.967 atau turun 23,3 persen.

 

Fakta-fakta tersebut membuktikan bahwa tidak ada jaminan walaupun ekonomi kita dalam keadaan sedang tumbuh positif dan berkembang pesat, kita bisa terhindar dari dampak taper tantrum tersebut.

 

Potensi munculnya "taper tantrum" 2.0

 

Pandemi Covid-19 yang terjadi di hampir semua negara memaksa bank sentral mereka menggelontorkan likuiditas dengan kebijakan moneter yang ekspansif, guna mendukung pemulihan ekonomi. Kebijakan tersebut dilakukan dengan menurunkan suku bunga acuan dan pembelian surat utang.

 

Setahun setelah pandemi berlalu, beberapa negara sudah menunjukkan tanda-tanda pemulihan ekonomi yang lebih cepat dari yang diperkirakan, seperti Amerika Serikat, China, Australia, Hong Kong dan Taiwan. Pemulihan tersebut tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang sudah positif dan naiknya angka inflasi bulanan, sehingga kebijakan moneter ekspansif mungkin perlu dikurangi sedikit demi sedikit.

 

Amerika Serikat sebagai sentral dari ekonomi global telah memperlihatkan pertumbuhan ekonomi yang positif pada triwulan I-2021, yaitu 6,4 persen (year on year/yoy), dan diproyeksikan pada triwulan II-2021 akan mencapai 8,6 persen (yoy).

 

Angka inflasi pada bulan April 2021 bahkan telah mencapai 4,2 persen (yoy), sebuah pencerminan dari naiknya tingkat konsumsi masyarakat di tengah ancaman pandemi yang belum selesai.

 

Melesatnya pemulihan ekonomi negara adidaya tersebut disebabkan oleh tiga faktor, yaitu berhasilnya paket stimulus ekonomi, belanja infrastruktur yang sangat besar, dan suksesnya program vaksinasi. Oleh karena itu, apabila The Fed menarik rem kebijakan moneternya yang ekspansif, dikhawatirkan akan menimbulkan dampak besar bagi negara-negara yang saat ini masih mengalami resesi ekonomi, termasuk di Indonesia sendiri.

 

Para pengamat ekonomi sendiri terbelah pendapatnya terkait dengan ramalan munculnya taper tantrum jilid kedua tersebut. Di satu sisi para ekonom menyatakan bahwa potensi munculnya taper tantrum sangat kecil sekali pada saat ini karena beberapa alasan.

 

Pertama, fundamental ekonomi global sekarang ini relatif lebih kuat dibandingkan dengan kondisi ekonomi global tahun 2013 lalu. Fundamental ekonomi negara-negara maju maupun emerging market, termasuk Indonesia, saat ini juga lebih solid dibandingkan dengan situasi tahun 2013.

 

Kedua, The Fed tentunya telah belajar banyak dari pengalaman tahun 2013 bahwa menarik rem kebijakan quantitative easing tidak boleh terlalu drastis dan perlu dilakukan secara perlahan-lahan. Tujuannya sangat jelas, untuk mencegah guncangan finansial (financial shocks) yang bisa terjadi di pasar keuangan global.

 

Ketiga, adanya keyakinan dari para investor maupun pemerintahan di berbagai negara yang sudah memiliki instrumen dan kebijakan yang ampuh untuk mengatasi potensi munculnya taper tantrum tersebut.

 

Namun, di sisi lain sebagian pakar ekonomi menilai bahwa taper tantrum masih mungkin terjadi lagi di era pandemi sekarang ini, berdasarkan atas beberapa argumen.

 

Pertama, pemulihan ekonomi akibat pandemi Covid-19 yang lebih cepat dari perkiraan, khususnya di beberapa negara maju, terutama Amerika Serikat, mendorong mereka untuk segera mengubah kebijakan moneter ekspansif mereka. Perubahan kebijakan moneter negara adidaya tersebut memiliki dampak sistemik ke hampir semua negara.

 

Kebijakan moneter yang bersifat ekspansif yang diambil selama pandemi memang harus memenuhi unsur 3T, yaitu timely, targeted dan temporary. Artinya kebijakan tersebut dikeluarkan oleh pemerintah di waktu yang tepat, dengan target yang jelas, serta bersifat sementara. Apabila perbaikan ekonomi sudah berangsur-angsur terjadi, maka kebijakan moneter yang ekspansif harus dikurangi untuk menjaga agar roda perekonomian tidak memanas dan mengancam laju inflasi.

 

Kedua, saat ini masih banyak negara yang sedang berkembang maupun emerging market yang belum keluar dari jurang resesi, sehingga sebagian besar masih mengandalkan kebijakan moneter yang ekspansif, baik melalui quantitative easing maupun suku bunga rendah.

 

Dengan pengetatan likuiditas, perbedaan suku bunga antara negara maju yang sudah pulih dari resesi dengan negara-negara berkembang yang masih berjuang mengatasi resesi menjadi semakin lebar. Akibatnya, capital outflow dari negara-negara berkembang bisa menjadi semakin deras, sehingga mengganggu proses pemulihan ekonomi negara-negara tersebut.

 

Ketiga, kondisi tahun 2021 sangat berbeda dengan tahun 2013 lalu di mana saat itu tidak ada krisis kesehatan sebagai akibat dari pandemi Covid-19. Salah satu upaya untuk mengatasinya dengan melakukan program vaksinasi guna menciptakan kekebalan komunitas (herd immunity) di masyarakat.

 

Semakin cepat tercipta herd immunity tersebut tentunya akan mempermudah pemulihan ekonomi global maupun nasional. Namun tidak semua negara mendapatkan kesempatan pemerataan vaksinasi, mengingat sebagian besar vaksin yang tersedia masih dalam genggaman negara-negara maju tempat produsen vaksin tersebut berada.

 

Tanpa adanya pemerataan vaksinasi, maka pemulihan ekonomi negara-negara yang sedang berkembang menjadi semakin sulit, sementara ekonomi negara-negara maju justru melaju semakin kencang. Dengan terwujudnya herd immunity, maka pemulihan ekonomi negara-negara maju menjadi lebih cepat, sehingga secara perlahan-lahan kebijakan moneter yang ekspansif akan digantikan dengan pengetatan likuiditas.

 

Dampak bagi Indonesia

 

Apabila taper tantrum benar-benar terjadi nantinya, bukan sesuatu yang mustahil jika dampaknya juga akan merambat ke negara-negara lain, termasuk Indonesia sendiri. Munculnya taper tantrum tersebut akan berpotensi menimbulkan beberapa gejolak atau gangguan.

 

Pertama, nilai tukar rupiah kemungkinan akan terdepresiasi, seperti yang terjadi pada tahun 2013 lalu, namun sulit diprediksi sampai seberapa jauh penurunannya. Depresiasi rupiah tersebut tentunya akan memukul investasi dan kegiatan usaha yang terkait dengan pembiayaan dalam valuta asing.

 

Kedua, indeks harga saham tentunya juga akan mengalami tekanan cukup besar karena investor asing yang memegang surat utang dan saham lokal kemungkinan akan menjualnya, sehingga untuk sementara waktu dana-dana asing berpotensi balik ke negara-negara mereka.

 

Ketiga, biaya penerbitan surat utang, baik itu obligasi pemerintah ataupun obligasi swasta, menjadi lebih mahal, karena penerbit surat utang harus memberikan imbal hasil yang lebih tinggi guna menjaga selisih suku bunga yang lebih kompetitif sebagai akibat naiknya suku bunga acuan dari negara adidaya itu.

 

Keempat, kenaikan suku bunga acuan sebagai antisipasi dampak taper tantrum akan memukul upaya intermediasi perbankan, sehingga suku bunga kredit ikut terkatrol naik. Kondisi ini bisa mengganggu upaya pemulihan ekonomi nasional mengingat permintaan kredit perbankan saat ini masih jauh dari harapan, padahal kredit perbankan bisa jadi salah satu pendorong perbaikan ekonomi.

 

Perlu "siaga 1"

 

Kita berharap bahwa taper tantrum tidak akan terjadi lagi di tahun 2021 ini, tapi tidak seorangpun yang mampu memberikan kepastian dan jaminan bahwa hantu taper tantrum memang benar-benar tak akan muncul kembali.

 

Oleh sebab itu, dari sejak dini kita perlu mengantisipasinya dengan melakukan siaga 1, yaitu dengan menyiapkan berbagai kebijakan yang memang nantinya diperlukan apabila taper tantrum tersebut benar-benar muncul.

 

Antisipasi kebijakan dari sejak dini sangat dibutuhkan untuk menghadapi dampak berantai dari taper tantrum tersebut, agar kita memiliki cukup waktu untuk menyiapkan kebijakan yang responsif dan akomodatif sehingga kita sudah siap menghadapinya.

 

Guna mencegah dampak berantai dari taper tantrum tersebut, tentunya Bank Indonesia juga sudah mengantisipasinya dan akan melakukan beberapa penyesuaian terkait dengan kebijakan moneter longgar yang sudah berjalan selama ini.

 

Tidak menutup kemungkinan kebijakan moneter yang ekspansif berangsur-angsur berubah menjadi kebijakan kontraksi moneter untuk memperlambat intervensi likuiditas ke pasar. Suku bunga acuan yang saat ini sudah rendah sekali bisa jadi akan naik kembali secara perlahan-lahan, sehingga dapat memperlambat penyaluran kredit yang saat ini masih lemah permintaannya.

 

Beban lainnya adalah kemungkinan bertambah besarnya biaya intervensi untuk menjaga nilai tukar rupiah agar tetap terjaga di kisaran angka yang stabil.

 

Kebijakan fiskal maupun mikro prudensial juga perlu tetap diteruskan untuk menjaga tingkat konsumsi yang selama ini menjadi mesin pertumbuhan ekonomi nasional sebelum pandemi terjadi. Semua kebijakan tersebut sangat diperlukan guna memperkuat fundamental ekonomi makro Indonesia agar mampu keluar dari resesi, maupun mengantisipasi datangnya ancaman taper tantrum.

 

Semoga perekonomian Indonesia di triwulan II-2021 nanti tumbuh positif, sehingga kita bisa keluar dari jalur resesi dan dampak dari taper tantrum dapat ditekan serendah mungkin.

 

Selain itu, program vaksinasi nasional yang telah berjalan sekarang ini perlu segera dipercepat guna mendukung pemulihan ekonomi nasional. Pelajaran berharga dari Amerika Serikat sedikit banyak membuktikan bahwa ternyata kesuksesan program vaksinasi menjadi salah satu kunci pemulihan ekonomi negeri adidaya tersebut. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar