Menyangkal Korona Muchamad Zaid Wahyudi ; Wartawan Kompas |
KOMPAS, 30 Juni 2021
Saat sejumlah negara mulai
melonggarkan kewajiban menggunakan masker di tempat umum, Indonesia justru
sedang bertarung dengan datangnya gelombang kedua pandemi Covid-19. Meski
korban terus bertambah dan cerita-cerita kengerian akibat paparan virus
korona penyebab Covid-19 menyebar luas di berbagai media dan grup percakapan,
masih banyak warga menyangkal korona. Kabar penuhnya ruang
isolasi pasien Covid-19 di rumah sakit, antrean pasien mengular hingga
pelataran instalasi gawat darurat, ambulans yang hilir mudik membawa pasien
ke tempat isolasi, hingga kesulitan pemakaman sejumlah korban korona tak juga
membuat sejumlah orang sadar bahwa Covid-19 adalah nyata. Penyangkalan terus
dilakukan dengan berbagai cara dan alasan. Banyak teori konspirasi diajukan
dan diyakini. Pendapat ahli terus disanggah, sedangkan omongan orang yang
tidak kompeten terhadap persoalan kesehatan justru diagungkan. Sejumlah orang juga
membangun narasi bahwa hidup dan mati ada di tangan Tuhan, tetapi mereka
tidak mau berikhtiar menjaga kehidupan yang juga diperintahkan Tuhan.
Berbagai anjuran pemerintah demi mengendalikan penyebaran Covid-19 pun terus
ditentang dan dengan egois mengabaikan protokol kesehatan. Memang ada kegagapan
pemerintah dalam menangani pandemi. Pola komunikasi pejabat berwenang pun
sering kali justru menimbulkan blunder. Teladan pemimpin pemerintahan dari
pusat sampai daerah pun sangat minim, bahkan tak jarang mereka justru
mencontohkan perilaku yang melanggar protokol kesehatan. Di luar persoalan
penanganan pandemi yang tambal sulam, penyangkalan terhadap Covid-19, menurut
Mark Whitmore, psikolog dari Universitas Negeri Kent, Ohio, Amerika Serikat,
kepada CNN, 16 Agustus 2020, adalah cara termudah untuk menghindarkan diri
dari kecemasan. Namun, seperti ditulis
Adrian Bardon, profesor filsafat dari Universitas Wake Forest, AS, di The
Conversation, 25 Juni 2020, penyangkalan itu tidak bersumber dari
ketidaktahuan. Mereka yang menolak soal korona juga bukanlah orang yang tidak
bisa berpikir rasional atau menalar karena banyak di antara mereka merupakan
kaum terpelajar. Penolakan atas isu korona juga tidak dipengaruhi oleh
pilihan politik seseorang. Proses
tak sadar Penyangkalan sejatinya
merupakan hal biasa. Semua orang pernah melakukan penyangkalan terhadap apa
pun dalam hidupnya meski dengan derajat yang berbeda. Sikap menolak kenyataan
atau fakta obyektif itu sejatinya merupakan proses tak sadar manusia untuk
melindungi pikiran dan perasaannya dari rasa tidak nyaman dan kecemasan. Karena itu, penyangkalan
tidak selalu buruk. Dalam terapi kesehatan mental, seperti dikutip dari
Psychology Today, penyangkalan terkadang menjadi bagian dari proses terapi
kesehatan mental agar bisa menerima kebenaran yang sulit dihadapi. Namun,
proses terapi itu dilakukan dalam lingkup aman, bertahap, dan dalam pantauan
profesional hingga keyakinan seseorang bisa diubah menjadi mekanisme koping
(penyelesaian masalah secara sadar) yang lebih sehat dan mampu menerima
keadaan. Whitmore menambahkan,
dalam jangka pendek, penyangkalan memberikan waktu bagi individu untuk
menyesuaikan diri dengan situasi yang terjadi. Namun, dalam jangka panjang,
penyangkalan justru bisa membahayakan diri dan orang lain. Penyangkalan juga
tidak membantu seseorang beradaptasi dengan mengambil tindakan pencegahan
terukur yang diperlukan hingga mereka menjadi lebih mudah terpapar ancaman. Di sisi lain, keputusan
seseorang terkait gaya hidup dan sikapnya dalam menjaga kesehatan, khususnya
menjalankan protokol kesehatan demi mencegah penyebaran korona, menurut
psikolog klinis dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia,
Adityawarman Menaldi, sebagaimana dikutip dari Kompas (25/6/2020), sangat
bergantung pada tingkat kerentanan, keparahan, keuntungan, dan hambatan yang
dirasakan seseorang pada Covid-19. Sejumlah orang abai dengan
protokol kesehatan karena merasa ancaman atau kerentanan mereka terhadap
korona masih jauh. Mereka merasa memiliki daya tahan tubuh yang baik karena
masih muda atau yakin lingkungan sekitar mereka tidak terpapar korona. Pandangan itu biasanya
berubah jika mereka atau ada keluarga mereka yang mengalami kesusahan atau
meninggal dunia akibat terpapar korona. Namun, kesadaran itu tentu sudah
terlambat. Bukankah manusia memiliki akal yang bisa digunakan untuk terus
belajar dan mengamati sekitar sehingga tidak perlu mengalami penderitaan
seperti yang dialami orang lain? Meski demikian,
penyangkalan tetap bisa diatasi. Michele Wucker, penulis buku The Gray Rhino,
dalam seri tulisan ”Around My Mind” di LinkedIn, 25 Maret 2020, mengingatkan, karena penyangkalan memiliki
dimensi logis dan emosional, penyelesaiannya pun harus menyentuh dua dimensi
tersebut, yaitu akal pikiran dan hati nurani mereka. Untuk menghentikan
penyangkalan dan mengakui keberadaan Covid-19 melalui proses menalar bukan
persoalan gampang, apalagi bagi sebagian besar masyarakat kita yang tak
terbiasa berpikir kritis. Bahkan, proses melogika sering kali harus
menghadapi hambatan akibat adanya bias kognitif yang membuat manusia
cenderung hanya meyakini informasi yang dia inginkan serta mengabaikan
fakta-fakta obyektif lain yang dia tak yakini kebenarannya. Untuk itu, komunikasi
sains tentang korona kepada publik perlu dilakukan lebih eketif. Menurut
komunikator sains JV Chamary di Forbes, 31 Mei 2021, meski sains itu sulit,
proses pemahamannya akan menjadi lebih mudah jika ide-idenya dikomunikasikan
dengan jelas. Selain itu, dalam
pengomunikasian sains perlu ditentukan kelompok sasarannya secara selektif.
Tidak bisa satu materi komunikasi sains dengan satu platform media digunakan
untuk seluruh penduduk Indonesia yang beragam tingkat pendidikan, pengetahuan,
ataupun budayanya. Pendekatan komunikasi dengan bahasa daerah atau
menggerakkan tokoh lokal, seperti tokoh masyarakat dan tokoh agama, juga
perlu dipertimbangkan. Penggunaan istilah-istilah
teknis kesehatan ataupun manajemen pengendalian penyakit yang rumit juga
harus dihindari. Pemakaian istilah yang tidak konsisten, mulai dari lockdown
atau karantina wilayah, pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pemberlakuan
pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM), hingga PPKM mikro, hanya membuat warga
tambah bingung hingga akhirnya tak mau peduli. Hal-hal yang disampaikan
kepada masyarakat seharusnya lebih terfokus pada informasi yang dibutuhkan
dan ditata sesuai skala prioritasnya. Informasi yang belum pasti perlu
hati-hati diterangkan kepada masyarakat sehingga masyarakat bisa mengambil
langkah-langkah antisipasi secara terukur, bukan malah membuat bingung,
menakuti, atau menambah kecemasan masyarakat. Di luar pendekatan logika,
pendekatan emosional dan ikatan kemanusiaan dinilai Wucker lebih ampuh untuk
mendobrak pertahanan para penyangkal Covid-19. Hal itu berarti makin banyak
orang yang dikenal dan semakin dekat hubungannya dengan seseorang yang
menderita akibat paparan virus SARS-CoV2, peluang dia untuk menganggap
serangan virus ini sebagai persoalan yang serius akan makin besar. Selain itu, ajakan untuk
selalu mengingat dan mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan
diri atau kelompok juga bisa dikampanyekan untuk terus membangun kesadaran
bahwa Covid-19 adalah persoalan bersama. Karena itu, satu-satunya cara
menyelesaikan pandemi yang sudah berlangsung hampir 1,5 tahun ini dan tidak
jelas kapan akan berakhir itu, dibutuhkan kerja dan kepedulian bersama. NIlai-nilai masyarakat
Indonesia yang mengutamakan kepentingan umum perlu diberdayakan. Keegoisan
dengan alasan capek terhadap pandemi hingga melakukan hal-hal yang melanggar
protokol kesehatan tak dapat dibenarkan dalam semua nilai dan norma
masyarakat. Dengan demikian, kelelahan jiwa akibat berbagai tekanan yang
muncul selama pandemi perlu dikelola dan dilepaskan tanpa harus merugikan dan
membahayakan orang lain, khususnya orang-orang terdekat di sekitar kita. Aku jaga kamu, kamu jaga
aku. Kepedulianmu menjaga Indonesia dan memuliakan kemanusiaan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar