Rasionalitas
Kritik Dony Kleden ; Rohaniwan dan Pemerhati Masalah Politik |
KOMPAS, 8 Juli 2021
Kritik tidak korelatif
dengan tata krama dan kesopansantunan. Kritik hanya bisa dan menuntut dirinya
untuk korelatif dengan responsibilitas Seno Gumira Ajidarma dalam
epilog buku Matinya Tukang Kritik (2006) karya Agus Noor mengatakan
dunia bertambah sempurna karena kontribusi sikap kritis, dan karena itu
berlaku diktum: kritik itu mutlak perlu demi kemajuan zaman dan kebaikan
bersama. Dengan kata lain
keberadaan kritik adalah mutlak sebagai bagian dari idealitas itu sendiri,
dan di sanalah kritik ideologi mendapatkan pembenaran atas kehadirannya. Lagi
katanya, lenyapnya tukang kritik, bukanlah sukses kebudayaan, sebaliknya awal
ketertindasan baru. Jelas bagi kita bahwa
hadirnya tukang kritik menjadi pilar dalam sebuah pemerintahan yang
demokratis dan egaliter. Kritik adalah nadi yang memompa darah demokrasi agar
kehidupan yang bebas tetap terjaga dan terawat. Matinya kritik melahirkan
permerintahan yang tiran, otoriter. Dalam sejarah bangsa
Indonesia, kita mengalami matinya kritik pada rezim Orde Baru yang disebuat
sebagai rezim pemangsa di bawah pimpinan presiden Soeharto. Pada rezim Orde
Baru, hadirnya kritik ditabuhkan. Geliat politik Orde Baru selalu dalam
pengawasan dengan sistem panoptisme, sistem kekuasan yang menyentuh kesadaran
(Michel Foucault, 1979). Sistem kekuasaan yang panoptik ini membuat orang
berada dalam ketakutan. Rakyat lemah inovasi,
bahkan hak-hak politiknya pun digerayang dan dikebiri oleh rezim pemangsa.
Selama tiga puluh dua tahun kita mengalami sistem pemerintahan panoptik yang
kasar ini. Sri Bintang Pamungkas adalah salah satu tokoh atau tukang kritik
yang dipasung. Ia dituduh menghina Presiden Soeharto sehingga dijatuhi
hukuman penjara. Tentu masih ada tokoh lain
yang dibungkam dan diasingkan Soeharto karena sikap kritiknya. Kita
memaklumi, karena Soeharto presiden yang arogan, otoriter yang selalu
berusaha mengamankan posisinya dan tak sudi mendengar suara kritik yang
menggoyahkan posisi dan kekuasaannya. Krisis
ruang publik Kini kita yang hidup di
alam reformasi ini tidak ingin kembalinya pemerintahan yang tiran,
pemerintahan yang otoriter. Kita ingin supaya setiap warga negara bebas
mengaplikasikan hak-hak politiknya. Janganlah ada hak politik yang dibungkam,
janganlah ada kebebasan yang dirampas. Pemerintahan yang demokratis adalah
pemerintahan yang merangkum semuanya, betapapun pahitnya kritik karena
semuanya itu demi kebaikan bersama. Hemat saya ruang publik
kita tengah mengalami kegoyahan dengan dua bandul yang saling tarik-menarik.
Di satu pihak, ada kebebasan yang sepertinya tidak terawat dan terkontrol
untuk memberikan pendapat, dan di saat yang sama ada juga keengganan dari
segelintir orang untuk tidak ditatap dengan mata kritik dan hinaan. Padahal, ruang publik hanya
bisa bertahan dan egaliter, berkembang dan produktif kalau kebebasan
menemukan lahannya pada ruang publik itu sendiri. Tetapi persoalannya semakin
rancu ketika kita hanya memahami demokrasi sebagai pintu sekadar berekspresi
tanpa pertanggungjawaban dan menekan daya ekspresi kritik dengan alasan
keamanan, kesopansantunan dan proses kemajuan. Padahal demokrasi
menampung kritik agar bisa memastikan kebaikan dan perkembangan bersama akan
tercapai dan politik tidak menjadi pragmatis (politik aji mumpung). Demokrasi memanggil dan
menjamin semua pihak untuk dapat menyampaikan pendapatnya atau kritiknya,
bahkan kritik difasilitasi dengan aturan sebagai perisai bagi para penyampai
kritik. Semakin tinggi intensitas
kritik, pertanda adanya kepedulian, kepekaan dan partisipasi rakyat untuk
menjaga dan memajukan bangsanya. Sistem demokrasi juga mewadahi kritik
sebagai pola interaksi dan cara bergaul di antara sesama pelaku politik
(politisi), karena itu kritik tidak bisa dilarang. Dalam arti ini maka, ruang
publik harus terus dirawat dengan adanya keterbukaan di antara kita, antara
pihak penguasa dan yang dikuasai. Karena kekuasaan adalah amanah dan mandat
dari rakyat, maka rakyat pun harus terus mengontrol dan memastikan bahwa
amanah dan mandat yang diberikan itu tidak disalahgunakan. Di sinilah letak urgensi
hadirnya kritik dalam ruang publik demokrasi kita. Tetapi perlu terus diingat
bahwa, demokrasi tidak saja mengejar kebebasan berekspresi dan bependapat,
tetapi lebih dari itu kebebasan yang diekspresikan itu harus dapat
dipertanggungjawabkan dengan rasional. Sikap kritis yang rasional
akan menjadi tabuhan gong perang untuk terus bergerak dan maju di atas roda
demokrasi yang ramah dan benar. Reaksi Presiden Joko
Widodo terhadap kritik BEM UI yang menyebut dirinya The King of Lip Service
sebenarnya juga menyimpan ketidakberesan atau lebih tepatnya ketidakutuhan
dalam memahami arti dan substansi dari kritik itu sendiri. Presiden mengatakan bahwa;
universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi, tetapi juga
ingat, kita mempunyai budaya tata krama dan budaya kesopansantunan. Perlu
dipahami bahwa kritik tidak korelatif dengan tata krama dan kesopansantunan. Kritik hanya bisa dan
menuntut dirinya untuk korelatif dengan responsibilitas. Di sinilah letak
rasionalitas kritik itu sendiri. Mari kita bangun budaya kritik yang rasional
demi kebaikan dan kemajuan bangsa yang sangat kita cintai ini. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar