Sabtu, 10 Juli 2021

 

Rasionalitas Kritik

Dony Kleden ;  Rohaniwan dan Pemerhati Masalah Politik

KOMPAS, 8 Juli 2021

 

 

                                                           

Kritik tidak korelatif dengan tata krama dan kesopansantunan. Kritik hanya bisa dan menuntut dirinya untuk korelatif dengan responsibilitas

 

Seno Gumira Ajidarma dalam epilog buku Matinya Tukang Kritik (2006) karya Agus Noor mengatakan dunia bertambah sempurna karena kontribusi sikap kritis, dan karena itu berlaku diktum: kritik itu mutlak perlu demi kemajuan zaman dan kebaikan bersama.

 

Dengan kata lain keberadaan kritik adalah mutlak sebagai bagian dari idealitas itu sendiri, dan di sanalah kritik ideologi mendapatkan pembenaran atas kehadirannya. Lagi katanya, lenyapnya tukang kritik, bukanlah sukses kebudayaan, sebaliknya awal ketertindasan baru.

 

Jelas bagi kita bahwa hadirnya tukang kritik menjadi pilar dalam sebuah pemerintahan yang demokratis dan egaliter. Kritik adalah nadi yang memompa darah demokrasi agar kehidupan yang bebas tetap terjaga dan terawat. Matinya kritik melahirkan permerintahan yang tiran, otoriter.

 

Dalam sejarah bangsa Indonesia, kita mengalami matinya kritik pada rezim Orde Baru yang disebuat sebagai rezim pemangsa di bawah pimpinan presiden Soeharto. Pada rezim Orde Baru, hadirnya kritik ditabuhkan. Geliat politik Orde Baru selalu dalam pengawasan dengan sistem panoptisme, sistem kekuasan yang menyentuh kesadaran (Michel Foucault, 1979). Sistem kekuasaan yang panoptik ini membuat orang berada dalam ketakutan.

 

Rakyat lemah inovasi, bahkan hak-hak politiknya pun digerayang dan dikebiri oleh rezim pemangsa. Selama tiga puluh dua tahun kita mengalami sistem pemerintahan panoptik yang kasar ini. Sri Bintang Pamungkas adalah salah satu tokoh atau tukang kritik yang dipasung. Ia dituduh menghina Presiden Soeharto sehingga dijatuhi hukuman penjara.

 

Tentu masih ada tokoh lain yang dibungkam dan diasingkan Soeharto karena sikap kritiknya. Kita memaklumi, karena Soeharto presiden yang arogan, otoriter yang selalu berusaha mengamankan posisinya dan tak sudi mendengar suara kritik yang menggoyahkan posisi dan kekuasaannya.

 

Krisis ruang publik

 

Kini kita yang hidup di alam reformasi ini tidak ingin kembalinya pemerintahan yang tiran, pemerintahan yang otoriter. Kita ingin supaya setiap warga negara bebas mengaplikasikan hak-hak politiknya. Janganlah ada hak politik yang dibungkam, janganlah ada kebebasan yang dirampas. Pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang merangkum semuanya, betapapun pahitnya kritik karena semuanya itu demi kebaikan bersama.

 

Hemat saya ruang publik kita tengah mengalami kegoyahan dengan dua bandul yang saling tarik-menarik. Di satu pihak, ada kebebasan yang sepertinya tidak terawat dan terkontrol untuk memberikan pendapat, dan di saat yang sama ada juga keengganan dari segelintir orang untuk tidak ditatap dengan mata kritik dan hinaan.

 

Padahal, ruang publik hanya bisa bertahan dan egaliter, berkembang dan produktif kalau kebebasan menemukan lahannya pada ruang publik itu sendiri. Tetapi persoalannya semakin rancu ketika kita hanya memahami demokrasi sebagai pintu sekadar berekspresi tanpa pertanggungjawaban dan menekan daya ekspresi kritik dengan alasan keamanan, kesopansantunan dan proses kemajuan.

 

Padahal demokrasi menampung kritik agar bisa memastikan kebaikan dan perkembangan bersama akan tercapai dan politik tidak menjadi pragmatis (politik aji mumpung).

 

Demokrasi memanggil dan menjamin semua pihak untuk dapat menyampaikan pendapatnya atau kritiknya, bahkan kritik difasilitasi dengan aturan sebagai perisai bagi para penyampai kritik.

 

Semakin tinggi intensitas kritik, pertanda adanya kepedulian, kepekaan dan partisipasi rakyat untuk menjaga dan memajukan bangsanya. Sistem demokrasi juga mewadahi kritik sebagai pola interaksi dan cara bergaul di antara sesama pelaku politik (politisi), karena itu kritik tidak bisa dilarang.

 

Dalam arti ini maka, ruang publik harus terus dirawat dengan adanya keterbukaan di antara kita, antara pihak penguasa dan yang dikuasai. Karena kekuasaan adalah amanah dan mandat dari rakyat, maka rakyat pun harus terus mengontrol dan memastikan bahwa amanah dan mandat yang diberikan itu tidak disalahgunakan.

 

Di sinilah letak urgensi hadirnya kritik dalam ruang publik demokrasi kita. Tetapi perlu terus diingat bahwa, demokrasi tidak saja mengejar kebebasan berekspresi dan bependapat, tetapi lebih dari itu kebebasan yang diekspresikan itu harus dapat dipertanggungjawabkan dengan rasional.

 

Sikap kritis yang rasional akan menjadi tabuhan gong perang untuk terus bergerak dan maju di atas roda demokrasi yang ramah dan benar.

 

Reaksi Presiden Joko Widodo terhadap kritik BEM UI yang menyebut dirinya The King of Lip Service sebenarnya juga menyimpan ketidakberesan atau lebih tepatnya ketidakutuhan dalam memahami arti dan substansi dari kritik itu sendiri.

 

Presiden mengatakan bahwa; universitas tidak perlu menghalangi mahasiswa untuk berekspresi, tetapi juga ingat, kita mempunyai budaya tata krama dan budaya kesopansantunan. Perlu dipahami bahwa kritik tidak korelatif dengan tata krama dan kesopansantunan.

 

Kritik hanya bisa dan menuntut dirinya untuk korelatif dengan responsibilitas. Di sinilah letak rasionalitas kritik itu sendiri. Mari kita bangun budaya kritik yang rasional demi kebaikan dan kemajuan bangsa yang sangat kita cintai ini. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar