Menggugat
Monopoli Platform Digital Agus Sudibyo ; Dosen Akademi Televisi Indonesia (ATVI)
Jakarta, Anggota Dewan Pers |
KOMPAS, 8 Juli 2021
Bertubi-tubi digugat
melakukan praktik monopoli, bertubi-tubi harus bayar denda. Itulah cerita
tentang Google di Eropa belakangan ini. Tahun 2017, Google didenda
2,4 miliar euro karena mendiskriminasikan situs belanja daring kompetitor.
Setahun kemudian, didenda 4,3 miliar euro karena menggunakan sistem operasi
seluler untuk memblokir pesaing Android. Tahun 2019, kembali didenda 1,5
miliar euro karena memblokir iklan pencarian platform mesin pencari yang
lain. Terakhir Juni 2021,
Pemerintah Perancis menjatuhkan denda 220 juta euro pada Google yang terbukti
mendominasi pasar periklanan programatik dan memanfaatkannya untuk
mengistimewakan anak- anak perusahaan sendiri dan mendiskriminasi pihak lain. Buat Google, denda demi
denda ini mungkin hanya uang receh saja yang tak menggoyahkannya sebagai
raksasa platform digital global. Namun, dampak politisnya perlu
diperhitungkan. Keberhasilan Eropa memaksa platform digital mematuhi regulasi
anti-monopoli jadi model bagi negara lain. Meski belum terlihat
hasilnya, upaya untuk mengoreksi persaingan usaha tak sehat di jagat digital
telah jadi tren di seluruh dunia. Bagaimanakah monopoli itu terjadi? Kuasai
pasar periklanan digital Dominasi perusahaan
platform digital dalam pasar iklan digital dibangun melalui penguasaan atas
seluruh lini rantai pasokan dan permintaan iklan digital dan ekosistem yang
mendukungnya. Google, misalnya, menguasai hampir seluruh segi periklanan
digital dengan: menjadi yang terkaya dalam menyediakan inventori iklan,
menjadi yang terunggul dalam menawarkan teknologi penunjang periklanan,
menjadi yang terkuat dalam menguasai data perilaku pengguna internet (user
behavior data). Dalam struktur periklanan
digital global, iklan pencarian merupakan bagian terbesar dengan porsi pasar
50 persen tahun 2020. Porsi iklan display media sosial 21 persen, iklan
display terbuka 16 persen, dan iklan terklasifikasi 13 persen. Pada pasar
iklan pencarian, Google adalah pemain utama yang menguasai 77 persen dari
total belanja iklan pencarian 2020. Pasar iklan display media-sosial dikuasai
Facebook (70 persen) dan YouTube (20 persen). Sebagai bagian utama
struktur periklanan digital global, pasar iklan pencarian dan iklan display
media sosial dikuasai Google dan Facebook. Dengan penguasaan ini, duopoli itu
juga menguasai 46 persen dari keseluruhan belanja iklan global tahun 2020. Hanya dua perusahaan
menguasai 46 persen belanja iklan global, sementara 54 persen sisanya
diperebutkan ratusan ribu media cetak, online, televisi, radio, e-commerce di
seluruh dunia. Sebuah konsentrasi ekonomi yang belum pernah terjadi dalam
industri media, juga sulit ditemukan presedennya pada industri lain. Bagi penerbit media,
praktis hanya tersisa area iklan display terbuka yang bisa digunakan untuk
berjibaku berebut rezeki. Area yang hanya 16 persen dari keseluruhan pasar
periklanan digital. Masalahnya, pada area yang sempit ini pun, platform
digital juga menebar jaring untuk ambil rezeki tambahan. Mereka berperan sebagai
vendor teknologi penunjang periklanan digital yang dalam praktiknya
menggerogoti sekitar 40 persen dari keseluruhan belanja iklan display
terbuka. Jaring ditebar melalui perusahaan-perusahaan perantara teknologi
periklanan programatik. Vendor
teknologi gerogoti pendapatan penerbit Sebelum era digital, pasar
media memiliki tiga aktor utama: media massa, pembaca dan pengiklan. Media
massa menjadi episentrum. Pembaca berkontribusi terhadap terwujudnya
jurnalisme berkualitas dengan membeli terbitan atau berlangganan sehingga
penerbit mendapatkan dana memadai untuk memproduksi berita. Pengiklan berkontribusi
dengan membeli ruang iklan. Semakin besar jumlah pembaca, semakin menarik
media di mata pengiklan, semakin banyak uang yang dapat dikumpulkan penerbit
untuk menggerakkan praktik jurnalisme bermutu. Revolusi digital membawa
perubahan dramatis. Bagaimana khalayak mencari informasi, pengiklan
mempromosikan produk, juga awak media bekerja, telah berubah drastis. Pengiklan dapat membeli
iklan tanpa berhubungan langsung dengan penerbit. Proses lelang, negosiasi,
kesepakatan dan pembayaran iklan dilakukan secara otomatis, cepat dan tak
langsung. Sistem periklanan yang serba otomatis dan cepat ini dikenal dengan
periklanan programatik (programmatic advertising). Berkat sentuhan teknologi
digital, otomatisasi pembayaran dan penjualan iklan programatik terjadi dalam
skala sangat besar. Terjadi miliaran proses bidding iklan programatik setiap
hari dan semuanya hanya butuh rata-rata 150 mili detik per bidding. Jangkauan
iklan programatik sangat luas, efektivitasnya menggiurkan, ditopang analisis
terus-menerus atas data perilaku pengguna internet berskala mondial. Namun, iklan programatik
memiliki kerumitan yang tak dapat dikendalikan penerbit. Banyak perusahaan
perantara yang terlibat di dalamnya. Mereka secara teknologis berkontribusi
menghubungkan penjual dan pembeli, memfasilitasi transaksi, memastikan iklan
dalam kemasan yang diharapkan pengiklan dan menyasar khalayak yang relevan.
Kontribusi itu tentu tidak gratis, alih-alih mengurangi pendapatan para
penerbit dan agen periklanan. Menurut riset Plum Consulting
(2019), penerbit Inggris hanya menerima rata-rata 0,62 poundsterling untuk
setiap poundsterling transaksi iklan programatik. Sisanya, 0,38
poundsterling, diambil para perusahaan perantara teknologi periklanan.
Menurut The Daily Mail Group, transaksi iklan non programatik memberikan
pemasukan 0,83 poundsterling per 1 poundsterling transaksi iklan pada
penerbit di Inggris. Sebaliknya, transaksi
iklan programatik dapat memberikan pemasukan yang rendahnya hingga 0,30
poundsterling per 1 poundsterling kepada penerbit. Studi The World Federation
of Advertisers tahun 2016 juga memperkirakan penerbit media di seluruh dunia
pada umumnya menerima pemasukan lebih rendah dari iklan programatik. Siapakah perusahaan
perantara teknologi periklanan programatik? Google menguasai pasar teknologi
perantara periklanan secara lengkap (end-to- end advertising technology). Hal
ini mencakup teknologi yang digunakan pengiklan untuk melakukan penawaran
atau pembelian slot iklan (demand side technologies). Selain itu, teknologi yang
digunakan penerbit untuk menjual slot iklan kepada pengiklan (supply side
technologies), dan teknologi penunjang lain seperti ad exchange, ad server,
data analytic. Google juga mengembangkan
berbagai teknologi untuk pasar layanan yang berimpitan seperti web browsing
(Google Chrome), sistem pengoperasian seluler (Google Android), cloud (Google
Cloud), dan kecerdasan buatan (Google Deep Mind). Semua lini ini secara
integratif menguntungkan Google untuk mengambil surplus ekonomi semaksimal
mungkin baik sebagai perusahaan penyedia slot iklan maupun sebagai induk
perusahaan-perusahaan perantara yang menyediakan layanan teknologi penunjang
periklanan untuk pihak lain. Perusahaan perantaralah
sang penentu pasar iklan programatik. Mereka menciptakan nilai tambah untuk
diri sendiri dengan menghubungkan pengiklan dan media, memfasilitasi
transaksi iklan serta melakukan pemutakhiran data untuk menghasilkan
penargetan khayalak yang lebih efektif. Mereka menguasai
teknologi, data dan SDM berkualitas yang tidak dimiliki pihak lain. Yang
paling kuat dari mereka sekali lagi adalah anak-anak perusahaan Google. Google mendominasi dua
sisi pasar perantara periklanan digital sekaligus: sisi pasokan dan sisi
permintaan. Pada sisi pasokan, Google secara global diperkirakan menguasai
30-50 persen pangsa pasar layanan supply side platform (SSP). Sementara pada sisi
permintaan, Google menguasai 25-35 persen pangsa pasar layanan demand side
platform (DSP). Google juga mendominasi layanan ad server yang dibutuhkan
pengiklan dan penerbit dengan pangsa 80-90 persen. Google juga menyediakan
teknologi untuk membantu merancang inventori iklan digital penerbit,
mendukung atau memfasilitasi penerbit melakukan proses lelang iklan
programatik, memfasilitasi proses tawar-menawar penerbit dengan pengiklan. Praktik
monopoli Dengan menguasai seluruh
lini dan level periklanan digital, Google menduduki posisi yang ambigu.
Google adalah kompetitor sekaligus vendor untuk penerbit. Google adalah
broker penerbit sekaligus broker pengiklan. Google menjadi yang terkuat pada
sisi pasokan sekaligus permintaan periklanan programatik. Google berposisi
sebagai pemain sekaligus “wasit”. Dalam posisinya yang serba
ini dan itu tersebut, seperti disimpulkan Plum Consulting, Google terjebak
dalam konflik kepentingan. Google dapat menerapkan harga yang rendah pada
sisi penawaran pembelian iklan dengan memanfaatkan perusahaan DSP-nya, tetapi
menerapkan premi hingga dua kali lipat dari yang diterapkan pesaing pada sisi
penjualan, dengan mengoptimalkan perusahaan SSP Google. Layanan DSP milik
Google, seperti DV360 dan Google Ad Manager memberikan preferensi ke
pengiklan agar membeli slot iklan dari Google AdX alih-alih slot iklan milik
SSP pihak lain. Munculnya berbagai kritik
dan regulasi baru yang mempersoalkan praktik monopoli Google telah mendorong
Google mereformulasikan posisi Google AdX, Google DV360 dan Google AdManager
agar terlihat menjadi platform yang terpisah dan tak melakukan pertukaran
data. Namun dalam kenyataan, integrasi antar anak perusahaan perantara Google
yang menyediakan teknologi penunjang periklanan itu terus terjadi. Integrasi yang juga
mencakup anak perusahaan yang mengembangkan teknologi lain dengan jenis
layanan yang berimpitan seperti Google Chrome, Google Android, Google Cloud,
dan Google Deep Mind. Plum Consulting
mempublikasikan risetnya tahun 2019. Riset ini memprediksi dengan tepat apa
yang terjadi hari ini: Google melakukan praktik monopoli. Google memanfaatkan
posisi dominannya untuk mendukung anak-anak usaha sendiri, menyingkirkan
pesaing dengan cara tak sehat, serta mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Persoalannya, hidup di
luar ekosistem Google juga bukan pilihan realistis untuk penerbit saat ini.
Hanya segelintir media yang mencoba melakukannya, dan tidak sepenuhnya
berhasil. Iklan programatik juga menjadi kenyataan yang sulit dihindari. Opsi yang tersedia bagi
para penerbit adalah terus-menerus mempersoalkan praktik monopoli yang
terjadi melalui gugatan pengadilan atau mendorong regulasi seperti News Media
Bargaining Code di Australia. Denda yang ditetapkan pengadilan tak
menggoyahkan bisnis platform digital. Namun publisitas dan
respons politik atas denda itu memberi dampak yang lebih memukul. Publik
menjadi paham bagaimana praktik bisnis platform digital. Pemerintah juga
semakin kuat mengendus kecurangan platform digital dalam urusan pajak dan
monopoli usaha. Setidaknya, gugatan-gugatan itu membuat platform lebih
membuka diri untuk bersedia bernegosiasi dengan penerbit media dan
pemerintah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar