Pergolakan
Iklim yang Berkelanjutan Paulus Agus Winarso ; Praktisi Cuaca, Iklim dan Lingkungan |
KOMPAS, 13 Juli 2021
Hingga Juli 2021, hujan
lebat masih sering turun di Jakarta dan sekitarnya, juga di berbagai daerah,
terutama di bagian barat Indonesia. Gejala alam La Nina yang
membawa banyak curah hujan di Indonesia, mulai giat sejak akhir tahun 2020.
Sebelumnya, El Nino—berdampak curah hujan rendah sehingga memicu kekeringan,
kebalikan dari La Nina—sempat muncul awal 2018 dengan intensitas lemah, dan
kemudian menuju normal hingga akhir tahun. El Nino muncul lagi awal 2019
hingga awal 2020. Selama lima tahun
terakhir, dari sejak 2016, gejala alam El Nino dan La Nina memang terjadi silih
berganti. Pada 2016 giat gejala El Nino kuat dengan kemarau yang giat hingga
pertengahan tahun. Muncul kebakaran hutan dan lahan, hingga kualitas udara
turun. Tiba-tiba, pertengahan
tahun 2016 giat fenomena global lawan El Nino yaitu gejala alam La Nina yang
meningkatkan curah hujan di beberapa kawasan hingga awal tahun 2018. Curah
hujan ektrem terjadi di Garut, Jawa Barat dan Purworejo, Jawa Tengah dengan
curah hujan 200–400 milimeter. Gejala alam global La Nina
kala itu sepertinya menggiatkan bencana hidrometeorologi basah dengan bencana
banjir, banjir bandang dan tanah longsor yang marak di beberapa kawasan
Indonesia. Baru awal tahun 2018
kembali lagi ke kondisi gejala alam El Nino meski nilai indeks masih lebih
rendah atau suhu muka laut kawasan Samudera Pasifik kala itu kurang dari 0,5
derajat dari rerata tiap bulan. Kondisi ini masuk kategori
sedikit normal alias tanpa gejala alam global. Namun, kecenderungan yang
terarah ke El Nino telah berkonsekuensi pada kekeringan. Bencana
hidrometeorologi kering ini memicu kebakaran lahan dan hutan dan berlanjut
dengan kondisi pencemaran asap khususnya di lahan gambut seperti Sumatera dan
Kalimantan. Tahun 2019 sempat terjadi
musim hujan berkepanjangan dengan puncak musim hujan pada pertengahan tahun.
Kondisi ini berubah selepas tengah tahun dengan kemarau kering yang perlahan
namun terus meningkat kekeringannya. Awal 2020, nilai indeks El
Nino tidak memberi konsekuensi kemarau yang kering dan berkepanjangan. Bahkan
dari pengamatan pribadi diketahui periode angin muson barat hanya sempat
bertiup 1–2 bulan saja di awal tahun 2020. Ini bukti pergolakan iklim dan
musim dari sisi pola angin muson sudah tidak lagi sinergi dengan kondisi
musim selama beberapa dekade. Pergolakan musim semakin nyata tahun 2020 hingga
kini. Indeks
kelautan Sebenarnya akhir 2020
hingga awal 2021 sempat ada gejala El Nino dengan intensitas lemah. Ini
seiring nilai Indeks Kelautan yang kurang dari positif 1, selaras dengan
simpangan suhu muka laut tropis, antara hangat 0,5 hingga 1. Peranan laut regional
Samudera India barat dan selatan wilayah Indonesia diukur dengan Indeks
Dipole Mode (menghitung beda nilai simpangan suhu muka laut perairan
timur/barat daya Indonesia dengan nilai simpangan suhu muka laut perairan
barat/Timur dari Benua Afrika). Bila nilai Indeks Dipole
Mode di atas positif 0,4 berarti kondisi perairan barat lebih hangat dari
perairan timur. Bila bernilai negatif berarti kondisi perairan timur lebih
hangat dari perairan barat Kondisi nilai Indeks
Dipole Mode (IDM) kala menjelang akhir bernilai cukup besar. Artinya kondisi
sebagian perairan Indonesia bagian Barat kian turun atau dingin meski dampak
pengaruh gejala alam El Nino yang giat sudah rendah. Tambahan rendahnya suhu
muka laut sebagian besar kawasan perairan Indonesia kala itulah yang
menyebabkan kemarau kian kering dan berkepanjangan. Namun, saat pengaruh
gejala alam El Nino sepertinya masih kuat, kondisi berlawanan muncul dengan
nilai IDM yang tiba-tiba menuju nilai ambang batas minus 0,4 akhir Desember 2019.
Artinya sebagian kawasan Indonesia bagian barat bersuhu muka laut hangat yang
sifatnya sporadis. Maka masuk awal tahun 2020
kawasan Jabodetabek, Banten dan sekitarnya, mengalami bencana
hidrometeorologi dengan banjir bandang dan tanah longsor. Untuk kawasan Jabodetabek,
selama Januari–Februari tercatat hujan ekstrem kurang lebih 9 kali dengan
rincian 3 kali hujan ekstrem dan 6 kali hujan sangat lebat. Dari catatan data
curah hujan stasiun BMKG mulai 1960 hingga kini, diketahui bahwa hujan
ekstrem itu sangat langka kejadiannya. Kondisi catatan pergolakan
di tahun 2020 yang kontroversial ternyata juga berlanjut saat giat gejala
alam La Nina di akhir tahun 2020 hingga awal 2021. Mulai tampak awal musim
hujan yang maju dengan curah hujan tinggi, meski belum berdampak buruk karena
masih sporadis dan dapat dikelola. Mulai akhir tahun 2020
nilai IDM positif namun masih dalam nilai batas ambang positif 0,4. Kondisi
ini sempat menghambat perkembangan curah hujan meski situasi gejala alam La
Nina masih giatkan curah hujan tinggi di Jabodetabek dan Kalimantan Selatan
dan beberapa kawasan lain. Curah hujan yang turun masih dalam kisaran normal
hingga awal Mei 2021. Suhu
laut menghangat Mulai dasarian 2, Mei
2021, nilai IDM bernilai rendah dan mendekati nilai minus 0,4 yang artinya
tiba-tiba saja suhu muka laut perairan Timur Samudera Indonesia menghangat.
Terjadilah peningkatan curah hujan yang terjadi curah hujan yang
berkepanjangan di musim kemarau, seperti di beberapa kawasan Jawa hingga Nusa
Tenggara. Padahal, seharusnya saat ini sudah memasuki musim kemarau 2021. Di bulan Juni curah hujan
naik, terjadi hujan lebih dari normalnya. Selain itu Juni atau bulan Juni
posisi garis edar semu matahari yang enjauhi kawasan lintang tempat Benua
Maritim Indonesia yang tentunya suhu udara akan rendah dan turun hingga bulan
Juli. Adanya curahan hujan yang
hampir turun tiap hari seperti musim kemarau merupakan kenyataan yang terjadi
saat ini dan ini kondisi alamiah seiring pergolakan iklim dan musim. Berdasarkan realita bahwa
pergolakan atau kondisi kontroversial cuaca dan iklim, kini sedang,
berlangsung. Seperti sekarang, musim kemarau mirip musim hujan. Ini berdampak
buruk pada petani tembakau dan pengusahaan garam, mungkin juga bidang-bidang
lain. Belum lagi pandemi Covid-19
yang kembali giat, kiranya semua memberi konsekuensi dan pengaruh pada
berbagai aspek kehidupan kita. Semoga catatan berdasarkan pengalaman dan
kajian yang serba terbatas memberi pemahaman khususnya dalam menghadapi iklim
Bumi yang bergolak, berkembang, dan berubah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar