Rabu, 14 Juli 2021

 

Pergolakan Iklim yang Berkelanjutan

Paulus Agus Winarso ;  Praktisi Cuaca, Iklim dan Lingkungan

KOMPAS, 13 Juli 2021

 

 

                                                           

Hingga Juli 2021, hujan lebat masih sering turun di Jakarta dan sekitarnya, juga di berbagai daerah, terutama di bagian barat Indonesia.

 

Gejala alam La Nina yang membawa banyak curah hujan di Indonesia, mulai giat sejak akhir tahun 2020. Sebelumnya, El Nino—berdampak curah hujan rendah sehingga memicu kekeringan, kebalikan dari La Nina—sempat muncul awal 2018 dengan intensitas lemah, dan kemudian menuju normal hingga akhir tahun. El Nino muncul lagi awal 2019 hingga awal 2020.

 

Selama lima tahun terakhir, dari sejak 2016, gejala alam El Nino dan La Nina memang terjadi silih berganti. Pada 2016 giat gejala El Nino kuat dengan kemarau yang giat hingga pertengahan tahun. Muncul kebakaran hutan dan lahan, hingga kualitas udara turun.

 

Tiba-tiba, pertengahan tahun 2016 giat fenomena global lawan El Nino yaitu gejala alam La Nina yang meningkatkan curah hujan di beberapa kawasan hingga awal tahun 2018. Curah hujan ektrem terjadi di Garut, Jawa Barat dan Purworejo, Jawa Tengah dengan curah hujan 200–400 milimeter.

 

Gejala alam global La Nina kala itu sepertinya menggiatkan bencana hidrometeorologi basah dengan bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor yang marak di beberapa kawasan Indonesia.

 

Baru awal tahun 2018 kembali lagi ke kondisi gejala alam El Nino meski nilai indeks masih lebih rendah atau suhu muka laut kawasan Samudera Pasifik kala itu kurang dari 0,5 derajat dari rerata tiap bulan.

 

Kondisi ini masuk kategori sedikit normal alias tanpa gejala alam global. Namun, kecenderungan yang terarah ke El Nino telah berkonsekuensi pada kekeringan. Bencana hidrometeorologi kering ini memicu kebakaran lahan dan hutan dan berlanjut dengan kondisi pencemaran asap khususnya di lahan gambut seperti Sumatera dan Kalimantan.

 

Tahun 2019 sempat terjadi musim hujan berkepanjangan dengan puncak musim hujan pada pertengahan tahun. Kondisi ini berubah selepas tengah tahun dengan kemarau kering yang perlahan namun terus meningkat kekeringannya.

 

Awal 2020, nilai indeks El Nino tidak memberi konsekuensi kemarau yang kering dan berkepanjangan. Bahkan dari pengamatan pribadi diketahui periode angin muson barat hanya sempat bertiup 1–2 bulan saja di awal tahun 2020. Ini bukti pergolakan iklim dan musim dari sisi pola angin muson sudah tidak lagi sinergi dengan kondisi musim selama beberapa dekade. Pergolakan musim semakin nyata tahun 2020 hingga kini.

 

Indeks kelautan

 

Sebenarnya akhir 2020 hingga awal 2021 sempat ada gejala El Nino dengan intensitas lemah. Ini seiring nilai Indeks Kelautan yang kurang dari positif 1, selaras dengan simpangan suhu muka laut tropis, antara hangat 0,5 hingga 1.

 

Peranan laut regional Samudera India barat dan selatan wilayah Indonesia diukur dengan Indeks Dipole Mode (menghitung beda nilai simpangan suhu muka laut perairan timur/barat daya Indonesia dengan nilai simpangan suhu muka laut perairan barat/Timur dari Benua Afrika).

 

Bila nilai Indeks Dipole Mode di atas positif 0,4 berarti kondisi perairan barat lebih hangat dari perairan timur. Bila bernilai negatif berarti kondisi perairan timur lebih hangat dari perairan barat

 

Kondisi nilai Indeks Dipole Mode (IDM) kala menjelang akhir bernilai cukup besar. Artinya kondisi sebagian perairan Indonesia bagian Barat kian turun atau dingin meski dampak pengaruh gejala alam El Nino yang giat sudah rendah.

 

Tambahan rendahnya suhu muka laut sebagian besar kawasan perairan Indonesia kala itulah yang menyebabkan kemarau kian kering dan berkepanjangan. Namun, saat pengaruh gejala alam El Nino sepertinya masih kuat, kondisi berlawanan muncul dengan nilai IDM yang tiba-tiba menuju nilai ambang batas minus 0,4 akhir Desember 2019. Artinya sebagian kawasan Indonesia bagian barat bersuhu muka laut hangat yang sifatnya sporadis.

 

Maka masuk awal tahun 2020 kawasan Jabodetabek, Banten dan sekitarnya, mengalami bencana hidrometeorologi dengan banjir bandang dan tanah longsor.

 

Untuk kawasan Jabodetabek, selama Januari–Februari tercatat hujan ekstrem kurang lebih 9 kali dengan rincian 3 kali hujan ekstrem dan 6 kali hujan sangat lebat. Dari catatan data curah hujan stasiun BMKG mulai 1960 hingga kini, diketahui bahwa hujan ekstrem itu sangat langka kejadiannya.

 

Kondisi catatan pergolakan di tahun 2020 yang kontroversial ternyata juga berlanjut saat giat gejala alam La Nina di akhir tahun 2020 hingga awal 2021. Mulai tampak awal musim hujan yang maju dengan curah hujan tinggi, meski belum berdampak buruk karena masih sporadis dan dapat dikelola.

 

Mulai akhir tahun 2020 nilai IDM positif namun masih dalam nilai batas ambang positif 0,4. Kondisi ini sempat menghambat perkembangan curah hujan meski situasi gejala alam La Nina masih giatkan curah hujan tinggi di Jabodetabek dan Kalimantan Selatan dan beberapa kawasan lain. Curah hujan yang turun masih dalam kisaran normal hingga awal Mei 2021.

 

Suhu laut menghangat

 

Mulai dasarian 2, Mei 2021, nilai IDM bernilai rendah dan mendekati nilai minus 0,4 yang artinya tiba-tiba saja suhu muka laut perairan Timur Samudera Indonesia menghangat. Terjadilah peningkatan curah hujan yang terjadi curah hujan yang berkepanjangan di musim kemarau, seperti di beberapa kawasan Jawa hingga Nusa Tenggara. Padahal, seharusnya saat ini sudah memasuki musim kemarau 2021.

 

Di bulan Juni curah hujan naik, terjadi hujan lebih dari normalnya. Selain itu Juni atau bulan Juni posisi garis edar semu matahari yang enjauhi kawasan lintang tempat Benua Maritim Indonesia yang tentunya suhu udara akan rendah dan turun hingga bulan Juli.

 

Adanya curahan hujan yang hampir turun tiap hari seperti musim kemarau merupakan kenyataan yang terjadi saat ini dan ini kondisi alamiah seiring pergolakan iklim dan musim.

 

Berdasarkan realita bahwa pergolakan atau kondisi kontroversial cuaca dan iklim, kini sedang, berlangsung. Seperti sekarang, musim kemarau mirip musim hujan. Ini berdampak buruk pada petani tembakau dan pengusahaan garam, mungkin juga bidang-bidang lain.

 

Belum lagi pandemi Covid-19 yang kembali giat, kiranya semua memberi konsekuensi dan pengaruh pada berbagai aspek kehidupan kita. Semoga catatan berdasarkan pengalaman dan kajian yang serba terbatas memberi pemahaman khususnya dalam menghadapi iklim Bumi yang bergolak, berkembang, dan berubah. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar