Rabu, 14 Juli 2021

 

Krisis Oksigen

Iqbal Elyazar ;  Eijkman-Oxford Clinical Research Unit, Akademi Ilmuwan Muda Indonesia, Kolaborator Saintis LaporCovid-19

KOMPAS, 13 Juli 2021

 

 

                                                           

Sejak April 2020, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan cara menghitung kebutuhan oksigen medis. Pasien dengan kondisi berat, membutuhkan sepuluh liter oksigen per menit atau 600 liter per jam, sedangkan pasien kritis butuh 30 liter per menit atau 1.800 liter per jam.

 

Ketika tabung oksigen langka dan ditawarkan dengan harga Rp 6 juta (naik 3-5 kali lipat dari harga normal) untuk satu tabung oksigen volume 6.000 liter (biaya Rp 1.000 per liter oksigen), sungguh, pandemi mengajarkan berharganya oksigen yang dihirup.

 

Oksigen dan kehidupan

 

Organ paru-paru bertugas menyerap oksigen dan mendistribusikannya melalui peredaran darah ke seluruh sel-sel tubuh. Sel tubuh menggunakan oksigen untuk mengubah glukosa menjadi energi yang diperlukan tubuh untuk beraktivitas. Ketika asupan oksigen ke paru-paru tidak maksimal, maka pasokan energi berkurang dan tubuh melemah.

 

Di saat kritis, asupan oksigen ke paru-paru harus ditingkatkan dengan sumber oksigen tambahan. Sumber oksigen biasanya disimpan dalam tabung oksigen. Oksigen di dalam tabung ini lebih tinggi kemurniannya dibandingkan oksigen di udara bebas (di atas 99 persen versus 21 persen).

 

Ketika suplai tabung oksigen tidak sanggup mengimbangi permintaan, maka kehilangan nyawa menjadi akibatnya. Keberanian tenaga kesehatan di sebuah rumah sakit di Yogyakarta untuk membuka fakta tentang akibat kelangkaan pasokan oksigen, telah membuka tabir kengerian yang terjadi.

 

Hari Sabtu (3/7/2021) rumah sakit tersebut melaporkan pasokan oksigen medis cair sentral telah benar-benar habis pada jam delapan malam. Cadangan tabung oksigen yang tersedia hanya akan bertahan untuk 4-6 jam saja. Di tengah malam, bantuan 100 tabung oksigen datang dari Polda setempat.

 

Permintaan oksigen ke distributor Jawa Tengah ditolak karena mereka pun kurang suplai. Bantuan datang dari distributor Jawa Timur dan Jakarta sebanyak 14 ton dan kiriman pertama sampai jam lima pagi. Pada hari Minggu (4/7/2021) rumah sakit tersebut mencatatkan 33 kematian pada hari itu.

 

Seluruhnya diklaim mendapatkan pasokan dari tabung oksigen. Namun dilaporkan kemudian, empat orang di antaranya meninggal dengan posisi masih tersambung kepada ventilator dari oksigen sentral yang sudah habis tersebut dan 15 meninggal di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dengan kondisi klinis berat dengan pasokan oksigen sentral yang tidak maksimal.

 

Tidak jelas apa yang terjadi dengan 14 orang lainnya. Keberanian terbuka harus dihargai supaya yang lain segera berbenah sehingga pengorbanan 33 orang itu tidak jadi sia-sia.

 

Kebutuhan di masa pandemi

 

WHO mengeluarkan panduan bagi pengambil kebijakan dan industri untuk menghitung kebutuhan oksigen medis, mengidentifikasi sumber oksigen medis dan cara terbaik meningkatkan kapasitas produksi sejak awal April 2020.

 

Data di awal pandemi menunjukkan bahwa 15 persen orang yang menderita Covid-19 memiliki gejala berat dan 5 persen berada dalam kondisi kritis. Keduanya butuh bantuan oksigen (20 persen). Pasien dalam kondisi berat atau kritis butuh 10-30 liter per menit atau 600-1.800 liter per jam.

 

Kebutuhan oksigen dihitung dengan mengalikan perkiraan jumlah pasien berat, pasien kritis dan lamanya jam perawatan yang membutuhkan bantuan oksigen. Perhitungan dapat dilakukan untuk tingkat fasilitas kesehatan, kabupaten/kota, provinsi, bahkan nasional.

 

Krisis oksigen global telah diingatkan WHO sejak Juni 2020. Untuk setiap satu juta kasus baru per minggu, akan dibutuhkan 620.000 m3 oksigen per hari atau setara dengan 88.000 tabung oksigen besar. Brasil dan India pernah mengalami krisis ini.

 

Di Brasil, tanda bahaya kekurangan pasokan oksigen mulai terjadi pada awal April 2020 di saat terjadi 1.000-2.000 kasus per hari. India mengalami krisis oksigen pada gelombang pertama pandemi Agustus-September 2020 ketika mereka dihantam 50.000-100.000 kasus baru per hari. India kembali dihantam krisis oksigen pada gelombang kedua di bulan April-Mei 2021 dengan 100.000-390.000 kasus per hari.

 

Indonesia ikut membantu mengatasi krisis oksigen di India sejak awal Mei 2021. Kementerian Perindustrian bersama asosiasi dan pelaku industri gas, petrokimia dan tekstil mengirimkan 200 konsentrator oksigen pada 8 Mei 2021, 1.400 tabung oksigen pada 8 Juni dan 2.000 tabung oksigen pada 28 Juni. Dana bantuan diperoleh dari gabungan pelaku industri dan APBN.

 

Akhir Juni 2021, Asosiasi Gas Industri Indonesia (AGII) pernah mengklaim punya cadangan 2.000 tabung oksigen medis dan cukup ketika terjadi kenaikan kasus sampai 15 persen. Kenyataannya, kasus naik sampai 500 persen.

 

Evaluasi kebutuhan, sumber, distribusi dan penimbunan

 

Pemerintah daerah dan pusat perlu menghitung ulang kebutuhan oksigen untuk kondisi darurat kelangkaan oksigen. Misalnya, pemerintah Yogyakarta menyiapkan 20 ton meter kubik yang kemudian dibagikan kepada 27 rumah sakit rujukan Covid-19. Tetapi seiring dengan semakin banyak pasien, stok oksigen pun habis lebih cepat.

 

Akhirnya, pemda meminta tambahan pasokan dari pemerintah pusat dan disetujui mendapatkan tambahan 47,6 ton per hari dan cadangan 50 persen dari kebutuhan harian.

 

Kementerian Perindustrian menyebutkan permintaan oksigen medis naik 69 persen menjadi 800 ton per hari. Di tingkat distributor dilaporkan malah terjadi kenaikan permintaan 2-7 kali lipat.

 

Kajian pemerintah mengungkap alokasi oksigen medis dari total produksi oksigen nasional masih rendah. Kapasitas produksi oksigen nasional bisa mencapai 866.000 ton per tahun, tetapi realisasinya hanya 640.000 ton (74 persen). Sekitar 459.000 ton per tahun (72 persen) digunakan bagi kepentingan industri, sedangkan kebutuhan medis hanya 181.000 ton per tahun (28 persen).

 

Pemerintah perlu tambahan investasi untuk BUMN yang mampu meningkatkan produksi tabung oksigen. Pemerintah telah memutuskan 100 persen produksi akan dialokasikan untuk oksigen medis. Kementerian Perindustrian telah mewajibkan semua produsen untuk mengalokasikan seluruh produksi oksigennya untuk kepentingan medis.

 

Dari produksi nasional 1.700 ton per hari, 1.400 ton per hari akan dialokasikan untuk Jawa. Alokasi ini harus segera dijalankan dalam beberapa minggu ke depan. Di saat yang sama, pemerintah telah membuka keran impor tabung oksigen besar untuk segera dikirim ke ruang-ruang darurat rumah sakit beberapa minggu ke depan.

 

Jalur distribusi tabung oksigen perlu ditambahkan dengan memperbanyak alat transportasi pengiriman sehingga lebih cepat. Rantai distribusi dimulai dari produsen mengirimkan tabung oksigen besar (1-6 meter kubik) oleh truk pengangkut ke distributor di daerah. Oksigen dari tabung besar lalu dibagi-bagi ke dalam tabung kecil (1-2 liter) untuk kebutuhan perorangan.

 

Ulah untuk menimbun dan menjual tabung oksigen di luar harga normal perlu segera ditertibkan. Tabung oksigen memang dapat dibeli tanpa resep dokter dan masyarakat pun bebas memperjualbelikanya. Masyarakat membeli setidaknya untuk keperluan perawatan orang sakit di rumah.

 

Berita kelangkaan tabung oksigen di fasilitas kesehatan dan di pasar alat kesehatan telah memicu kepanikan masyarakat untuk membeli sendiri. Harga tabung melambungkan sampai 3-5 kali dari harga normal. Beberapa anggota masyarakat di Lampung yang butuh tabung untuk anggota keluarga yang sakit terpaksa harus merampas tabung oksigen ketika petugas di puskesmas menolak meminjamkannya. Pemerintah sudah mengecam tindakan penimbunan tabung oksigen sebagai musuh masyarakat, diancam pidana dan denda.

 

Indonesia sedang dalam gelombang besar, lebih besar dari sebelumnya. Kasus hari ini dua kali lipat dari puncak kasus di awal Februari 2021. Angka proporsi orang dengan virus SARS-CoV-2 sebesar 40 persen (nasional) atau 50 persen di Jakarta, adalah indikasi orang terinfeksi tetapi tidak terdeteksi mungkin lebih besar lagi.

 

Selain menambah pasokan tabungan oksigen baik dengan produksi nasional dan impor, kita bisa membantu dengan tak menjadi sakit, dirawat dan butuh oksigen. Singkatnya, jangan sampai tertular atau menularkan. Batasi keluar rumah selama 2-4 minggu. Konsistensi kebijakan, ketegasan eksekusi di lapangan dan kepatuhan masyarakat jadi ukuran keberhasilan pembatasan kali ini. ●

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar