Sabtu, 10 Juli 2021

 

Pendidikan Masyarakat Adat

Roy Martin Simamora ;  Pengajar Filsafat Pendidikan ISI Yogyakarta; Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan

KOMPAS, 8 Juli 2021

 

 

                                                           

”Tidak ada masyarakat yang tertinggal atau termodern. Setiap masyarakat punya perkembangannya masing-masing dan pada satu konteks, mereka adalah profesor di tempat tinggal mereka.” Demikian sepenggal paparan Butet Manurung dalam webinar ”Komunitas Adat dan Indonesia Sebagai Proyek Bersama” yang diselenggarakan Pusat Studi Heritage Nusantara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), beberapa waktu lalu.

 

Butet menekankan pendidikan adat harus berkontribusi pada keseharian hidup dan penyelesaian masalah mereka. Sebab, jika sekadar nostalgia, ia akan ditinggalkan. Pengetahuan adat tersebut akan diterima dan akan terus bertahan selama alam serta lingkungan sekitarnya juga bertahan.

 

Butet berkontribusi dalam upaya-upaya membantu masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka, khususnya di pedalaman Kalimantan. Ikut mendukung gerakan masyarakat adat, mengkritik ”pembangunan” multinasional, serta tindakan dan peristiwa lain yang membahayakan masyarakat adat dan lingkungan mereka.

 

Butet seolah mengatakan sistem pendidikan nasional kita memang memberi tahu kita tentang politik, sejarah negara kita, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengajaran bahasa yang tidak diragukan lagi dan bermanfaat sekarang ini. Namun, apakah itu satu-satunya cara yang benar atau cukup? Bagaimana dengan pengetahuan masyarakat adat? Apakah cara dan  kebiasaan mereka tidak memiliki peran dalam kehidupan kita?

 

Seperti kata Butet, ”Pendidikan harus mengakomodasi cara belajar dan rutinitas masyarakat lokal. Pendidikan juga harus berpihak dan merespon persoalan kehidupan dan perubahan sekitar anak.”

 

Jika kita mau menengok ke belakang, pengaruh kolonialisme telah membuat orang-orang menganggap kata ”adat” sebagai sesuatu yang primitif atau semacam praktik yang buruk dan perlu untuk dimodernisasi. Bangsa Indonesia selama bertahun-tahun secara bertahap menjadi pasar basis konsumen dan itulah yang terjadi hingga hari ini. Alasan utamanya adalah sistem pendidikan yang melenceng dari cita-cita masyarakat lokal kita.

 

Saya menggunakan kata ”melenceng” karena sistem yang kita pelajari selama ini bukan milik bangsa kita dan tidak dirancang berdasarkan nilai dan keyakinan kita, yang hidup dari kearifan lokal kita. Akibatnya, manusia-manusia Indonesia di Nusantara tidak memiliki keunikan pengetahuan dibandingkan bangsa lain. Jika kita melihat ke pendidikan masyarakat adat, kita dapat mengharapkan pertumbuhan pesat di bidang pertanian, teknologi, kedokteran, tingkat pengangguran yang rendah, kualitas hidup yang tinggi, rendahnya korupsi, dan lain-lain.

 

Sistem saat ini mencegah rata-rata orang Indonesia untuk meneliti pengobatan tradisional, membuat kita enggan mengambil pelajaran yang terkait dengan realitas kita seperti bertani, berburu, memancing, mengukir, dan membuat kerajinan. Jika seseorang tidak bisa membuat sesuatu yang kecil, dia tidak bisa menjadi penemu dalam semalam dan karyanya tidak akan diakui.

 

Di kampung halaman saya, misalnya, ketika anak-anak tumbuh dewasa, ada banyak anak yang pandai berburu, memanjat pohon, dan membuat rumah-rumahan di tombak (hutan). Anak-anak juga belajar dari orangtua mereka bagaimana cara mengambil getah haminjon (kemenyan) dan madu di hutan.

 

Hari ini tidak demikian. Setiap anak muda ingin pergi ke kota, ke perguruan tinggi, mereka ingin mencari penghidupan yang layak, beberapa mendapatkan pekerjaan, duduk di kantor, mengendarai mobil besar, menikah, dan semua itu adalah ”kewajiban” yang harus dikejar dan dipenuhi. Hal-hal yang kita dapatkan dalam pendidikan modern dengan tujuan untuk sukses belaka.

 

Bagi masyarakat adat, kesuksesan hidup adalah ketika mereka mendapatkan hasil buruan, memakannya bersama kelompok dan menjaga kelangsungan ekosistem hutan. Sebagai gantinya, hutan memberikan segalanya bagi kehidupan mereka.

 

Relevansi pendidikan

 

Pada kenyataannya, akses pendidikan tidak serta-merta menghasilkan kualitas pendidikan dan relevansi pendidikan. Salah satu dari banyak tantangan yang kita hadapi dengan pendidikan di Indonesia adalah kurangnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat kita.

 

Pendidikan kita tidak dirancang untuk memecahkan masalah yang kita hadapi di tengah realitas sosial kita. Kita masih meniru gaya pendidikan Barat yang relevan bagi mereka, tetapi tidak banyak berguna bagi kita. Misalnya, masyarakat adat masih mengajari anak-anak mereka cara bertahan hidup dan berburu menggunakan panah di hutan; mengajari anak-anak sesuai dengan potensi atau tuntutan alam di sekitarnya. Ini yang saya katakan sebagai pendekatan berbasis pengalaman. Kebalikan dengan sistem pendidikan kita yang menghasilkan orang-orang dengan ”pengetahuan utama”, tetapi tidak memiliki keterampilan praktis.

 

Pengalaman saya ketika melakukan riset di Taiwan, saya mengunjungi sekolah-sekolah yang unik dan tidak ada penyeragaman, yang terkesan dipaksakan. Setiap sekolah memiliki ciri khasnya masing-masing. Anak-anak memiliki potensinya masing-masing.

 

Sekolah-sekolah di Taiwan, baik pinggiran, perdesaan, maupun perkotaan, mengajarkan anak-anak agar menghidupi nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang mereka secara turun-temurun. Artinya, anak-anak tidak kehilangan identitas dan terlempar jauh dari pengetahuan budaya mereka karena hegemoni pendidikan modern. Bagi mereka, hutan adalah sekolah. Mereka bisa belajar di sana dan mendapatkan banyak ilmu pengetahuan.

 

Apa yang saya pelajari dari masa kecil saya ketika di kampung halaman dan bertemu dengan masyarakat adat yang dijumpai? Masyarakat adat dapat membaca cuaca dengan sangat teliti sehingga mereka tahu, entah bagaimana, bahwa hujan akan turun dalam jangka waktu tertentu, yang bahkan ahli meteorologi tidak dapat mendeteksi perubahan cuaca secara pasti.

 

Masyarakat adat dapat mengetahui bahaya dari suara burung yang aneh dan mengetahui keberadaan babi hutan dengan jejak kaki yang tercetak di tanah di tengah hutan. Masyarakat adat dapat melihat dan mendengar tanda-tanda dan hubungan serta makna yang cenderung disingkirkan dalam pandangan dunia modern. Mengetahui tumbuhan mana yang aman untuk dimakan, cara membuat pakaian dari kulit pohon, dan masih banyak lagi ilmu yang sangat berharga yang bisa didapatkan dari masyarakat adat itu sendiri. Ketika saya mengamati penduduk asli Taiwan: suku Truku dan Amis, mereka menggunakan dedaunan, kulit, dan akar pohon untuk menghilangkan rasa sakit jauh sebelum aspirin diidentifikasi dan dikomersialisasi.

 

Jika melihat Indonesia, bangsa kita memiliki keanekaragaman yang luar biasa, terdiri dari banyak kelompok etnis dan masyarakat yang hidup dengan budaya dan tradisinya sendiri, dan mereka semua memiliki tujuan dan sasaran pendidikan yang sama. Namun, metode yang mereka ajarkan berbeda dari satu tempat ke tempat lain, terutama karena kepentingan sosial, ekonomi, dan letak geografis.

 

Kurikulum

 

Jika ditelusuri lebih dalam, pendidikan nasional kita sebagian besar didasarkan pada budaya arus utama dan cenderung meminggirkan perspektif dan pengalaman masyarakat adat. Inkonsistensi antara konten pendidikan dan lingkungan sosial menciptakan kerugian bagi anak-anak masyarakat adat. Kurikulum pendidikan pemerintah secara kontekstual kurang relevan bagi mereka dibandingkan dengan masyarakat adat.

 

Saya tidak sedang membayangkan agar kurikulum pendidikan kita diubah secara total, tetapi kepentingan masyarakat adat serta pengetahuan mereka sudah seharusnya diakomodasi dalam pendidikan nasional kita. Pendidikan masyarakat adat sangat penting bagi sistem pendidikan kita. Orang-orang perlu mengetahui dan memahami apa yang tidak mereka ketahui jika mereka ingin benar-benar dididik.

 

Saya pikir, memasukkan sejarah dan budaya masyarakat adat ke dalam sistem pendidikan akan menegaskan betapa pentingnya kontribusi mereka bagi masyarakat secara keseluruhan. Ini akan  mengakui dan membangun pemahaman tentang hak-hak masyarakat adat yang dilanggar oleh pemerintah. Dan, peran pemerintah sangat penting dalam membantu membangun hubungan yang saling menghormati dengan komunitas adat.

 

Kita dapat belajar banyak tentang dunia melalui pelajaran budaya dan bahasa masyarakat adat. Anak-anak di masyarakat adat mendapat manfaat dari kenyataan, pengalaman, dan kontribusi mereka yang terjalin di seluruh aspek kehidupan. Melihat diri mereka sebagai bagian dari kurikulum penting untuk memastikan mereka merasa menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia.

 

Seperti kata Butet bahwa lembaga pendidikan harusnya berkontribusi untuk merespons persoalan masyarakat adat. Sekolah tidak hanya mengajarkan ”Ilmu Pergi”. Karena setelah lulus dari kampungnya, anak-anak muda pergi ke kota dan ilmu dan pengetahuan mereka tidak bisa dipakai oleh kampung halamannya.

 

Adalah sebuah kerugian besar bagi bangsa kita bila tidak mendengarkan masukan-masukan dari Butet Manurung. Masyarakat adat telah berada di pinggir meja, yang hampir hilang, bahkan diabaikan. Sejatinya, inti dari pendidikan masyarakat adat adalah berfokus pada penyediaan pengetahuan, keterampilan praktis, dan sikap kepada setiap individu dalam masyarakat untuk mempersiapkan mereka menjalankan perannya dalam komunitas dan masyarakat secara keseluruhan.

 

Pengetahuan, kebiasaan, filosofi dan cara hidup, bercerita, peribahasa dan mitos memainkan peran penting dalam kehidupan mereka dan masyarakat adat berhak memutuskan apa yang penting bagi mereka dan apa yang tidak. Oleh karena itu, masyarakat yang tersentuh langsung oleh arus modernisasi wajib menghormati nilai-nilai luhur mereka sebagai bagian dari bangsa kita.

 

Sebagai penutup, pendidikan masyarakat adat pada prinsipnya mengembangkan rasa memiliki dan membuat anak-anak di lingkungan mereka jauh lebih menghargai sejarah, bahasa, adat-istiadat dan nilai-nilai komunitas adat, tetap berhubungan dengan warisan leluhur mereka, dan akar budaya mereka. Pendidikan masyarakat adat adalah kunci peradaban bangsa dan sudah sewajarnya ada upaya-upaya pelestarian dan mempromosikan budaya asli di tiap daerah sebagai bagian identitas nasional bangsa kita. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar