Pendidikan
Masyarakat Adat Roy Martin Simamora ; Pengajar Filsafat Pendidikan ISI Yogyakarta;
Alumnus National Dong Hwa University, Taiwan |
KOMPAS, 8 Juli 2021
”Tidak ada masyarakat yang
tertinggal atau termodern. Setiap masyarakat punya perkembangannya
masing-masing dan pada satu konteks, mereka adalah profesor di tempat tinggal
mereka.” Demikian sepenggal paparan Butet Manurung dalam webinar ”Komunitas
Adat dan Indonesia Sebagai Proyek Bersama” yang diselenggarakan Pusat Studi
Heritage Nusantara Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga bekerja
sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), beberapa waktu lalu. Butet menekankan
pendidikan adat harus berkontribusi pada keseharian hidup dan penyelesaian
masalah mereka. Sebab, jika sekadar nostalgia, ia akan ditinggalkan.
Pengetahuan adat tersebut akan diterima dan akan terus bertahan selama alam
serta lingkungan sekitarnya juga bertahan. Butet berkontribusi dalam
upaya-upaya membantu masyarakat adat dalam mempertahankan hak-hak mereka,
khususnya di pedalaman Kalimantan. Ikut mendukung gerakan masyarakat adat,
mengkritik ”pembangunan” multinasional, serta tindakan dan peristiwa lain
yang membahayakan masyarakat adat dan lingkungan mereka. Butet seolah mengatakan
sistem pendidikan nasional kita memang memberi tahu kita tentang politik,
sejarah negara kita, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengajaran bahasa
yang tidak diragukan lagi dan bermanfaat sekarang ini. Namun, apakah itu
satu-satunya cara yang benar atau cukup? Bagaimana dengan pengetahuan
masyarakat adat? Apakah cara dan
kebiasaan mereka tidak memiliki peran dalam kehidupan kita? Seperti kata Butet,
”Pendidikan harus mengakomodasi cara belajar dan rutinitas masyarakat lokal.
Pendidikan juga harus berpihak dan merespon persoalan kehidupan dan perubahan
sekitar anak.” Jika kita mau menengok ke
belakang, pengaruh kolonialisme telah membuat orang-orang menganggap kata
”adat” sebagai sesuatu yang primitif atau semacam praktik yang buruk dan
perlu untuk dimodernisasi. Bangsa Indonesia selama bertahun-tahun secara
bertahap menjadi pasar basis konsumen dan itulah yang terjadi hingga hari
ini. Alasan utamanya adalah sistem pendidikan yang melenceng dari cita-cita
masyarakat lokal kita. Saya menggunakan kata
”melenceng” karena sistem yang kita pelajari selama ini bukan milik bangsa
kita dan tidak dirancang berdasarkan nilai dan keyakinan kita, yang hidup
dari kearifan lokal kita. Akibatnya, manusia-manusia Indonesia di Nusantara
tidak memiliki keunikan pengetahuan dibandingkan bangsa lain. Jika kita
melihat ke pendidikan masyarakat adat, kita dapat mengharapkan pertumbuhan
pesat di bidang pertanian, teknologi, kedokteran, tingkat pengangguran yang
rendah, kualitas hidup yang tinggi, rendahnya korupsi, dan lain-lain. Sistem saat ini mencegah
rata-rata orang Indonesia untuk meneliti pengobatan tradisional, membuat kita
enggan mengambil pelajaran yang terkait dengan realitas kita seperti bertani,
berburu, memancing, mengukir, dan membuat kerajinan. Jika seseorang tidak
bisa membuat sesuatu yang kecil, dia tidak bisa menjadi penemu dalam semalam
dan karyanya tidak akan diakui. Di kampung halaman saya,
misalnya, ketika anak-anak tumbuh dewasa, ada banyak anak yang pandai berburu,
memanjat pohon, dan membuat rumah-rumahan di tombak (hutan). Anak-anak juga
belajar dari orangtua mereka bagaimana cara mengambil getah haminjon
(kemenyan) dan madu di hutan. Hari ini tidak demikian.
Setiap anak muda ingin pergi ke kota, ke perguruan tinggi, mereka ingin
mencari penghidupan yang layak, beberapa mendapatkan pekerjaan, duduk di
kantor, mengendarai mobil besar, menikah, dan semua itu adalah ”kewajiban”
yang harus dikejar dan dipenuhi. Hal-hal yang kita dapatkan dalam pendidikan
modern dengan tujuan untuk sukses belaka. Bagi masyarakat adat,
kesuksesan hidup adalah ketika mereka mendapatkan hasil buruan, memakannya
bersama kelompok dan menjaga kelangsungan ekosistem hutan. Sebagai gantinya,
hutan memberikan segalanya bagi kehidupan mereka. Relevansi
pendidikan Pada kenyataannya, akses
pendidikan tidak serta-merta menghasilkan kualitas pendidikan dan relevansi
pendidikan. Salah satu dari banyak tantangan yang kita hadapi dengan
pendidikan di Indonesia adalah kurangnya relevansi pendidikan dengan
kebutuhan masyarakat kita. Pendidikan kita tidak
dirancang untuk memecahkan masalah yang kita hadapi di tengah realitas sosial
kita. Kita masih meniru gaya pendidikan Barat yang relevan bagi mereka,
tetapi tidak banyak berguna bagi kita. Misalnya, masyarakat adat masih
mengajari anak-anak mereka cara bertahan hidup dan berburu menggunakan panah
di hutan; mengajari anak-anak sesuai dengan potensi atau tuntutan alam di
sekitarnya. Ini yang saya katakan sebagai pendekatan berbasis pengalaman.
Kebalikan dengan sistem pendidikan kita yang menghasilkan orang-orang dengan
”pengetahuan utama”, tetapi tidak memiliki keterampilan praktis. Pengalaman saya ketika
melakukan riset di Taiwan, saya mengunjungi sekolah-sekolah yang unik dan
tidak ada penyeragaman, yang terkesan dipaksakan. Setiap sekolah memiliki
ciri khasnya masing-masing. Anak-anak memiliki potensinya masing-masing. Sekolah-sekolah di Taiwan,
baik pinggiran, perdesaan, maupun perkotaan, mengajarkan anak-anak agar
menghidupi nilai-nilai luhur yang diwariskan nenek moyang mereka secara
turun-temurun. Artinya, anak-anak tidak kehilangan identitas dan terlempar
jauh dari pengetahuan budaya mereka karena hegemoni pendidikan modern. Bagi
mereka, hutan adalah sekolah. Mereka bisa belajar di sana dan mendapatkan
banyak ilmu pengetahuan. Apa yang saya pelajari
dari masa kecil saya ketika di kampung halaman dan bertemu dengan masyarakat
adat yang dijumpai? Masyarakat adat dapat membaca cuaca dengan sangat teliti
sehingga mereka tahu, entah bagaimana, bahwa hujan akan turun dalam jangka
waktu tertentu, yang bahkan ahli meteorologi tidak dapat mendeteksi perubahan
cuaca secara pasti. Masyarakat adat dapat
mengetahui bahaya dari suara burung yang aneh dan mengetahui keberadaan babi
hutan dengan jejak kaki yang tercetak di tanah di tengah hutan. Masyarakat
adat dapat melihat dan mendengar tanda-tanda dan hubungan serta makna yang
cenderung disingkirkan dalam pandangan dunia modern. Mengetahui tumbuhan mana
yang aman untuk dimakan, cara membuat pakaian dari kulit pohon, dan masih
banyak lagi ilmu yang sangat berharga yang bisa didapatkan dari masyarakat
adat itu sendiri. Ketika saya mengamati penduduk asli Taiwan: suku Truku dan
Amis, mereka menggunakan dedaunan, kulit, dan akar pohon untuk menghilangkan
rasa sakit jauh sebelum aspirin diidentifikasi dan dikomersialisasi. Jika melihat Indonesia,
bangsa kita memiliki keanekaragaman yang luar biasa, terdiri dari banyak
kelompok etnis dan masyarakat yang hidup dengan budaya dan tradisinya
sendiri, dan mereka semua memiliki tujuan dan sasaran pendidikan yang sama.
Namun, metode yang mereka ajarkan berbeda dari satu tempat ke tempat lain,
terutama karena kepentingan sosial, ekonomi, dan letak geografis. Kurikulum
Jika ditelusuri lebih
dalam, pendidikan nasional kita sebagian besar didasarkan pada budaya arus
utama dan cenderung meminggirkan perspektif dan pengalaman masyarakat adat.
Inkonsistensi antara konten pendidikan dan lingkungan sosial menciptakan
kerugian bagi anak-anak masyarakat adat. Kurikulum pendidikan pemerintah
secara kontekstual kurang relevan bagi mereka dibandingkan dengan masyarakat
adat. Saya tidak sedang
membayangkan agar kurikulum pendidikan kita diubah secara total, tetapi
kepentingan masyarakat adat serta pengetahuan mereka sudah seharusnya diakomodasi
dalam pendidikan nasional kita. Pendidikan masyarakat adat sangat penting
bagi sistem pendidikan kita. Orang-orang perlu mengetahui dan memahami apa
yang tidak mereka ketahui jika mereka ingin benar-benar dididik. Saya pikir, memasukkan
sejarah dan budaya masyarakat adat ke dalam sistem pendidikan akan menegaskan
betapa pentingnya kontribusi mereka bagi masyarakat secara keseluruhan. Ini
akan mengakui dan membangun pemahaman
tentang hak-hak masyarakat adat yang dilanggar oleh pemerintah. Dan, peran
pemerintah sangat penting dalam membantu membangun hubungan yang saling
menghormati dengan komunitas adat. Kita dapat belajar banyak
tentang dunia melalui pelajaran budaya dan bahasa masyarakat adat. Anak-anak
di masyarakat adat mendapat manfaat dari kenyataan, pengalaman, dan
kontribusi mereka yang terjalin di seluruh aspek kehidupan. Melihat diri
mereka sebagai bagian dari kurikulum penting untuk memastikan mereka merasa
menjadi bagian integral dari masyarakat Indonesia. Seperti kata Butet bahwa
lembaga pendidikan harusnya berkontribusi untuk merespons persoalan
masyarakat adat. Sekolah tidak hanya mengajarkan ”Ilmu Pergi”. Karena setelah
lulus dari kampungnya, anak-anak muda pergi ke kota dan ilmu dan pengetahuan
mereka tidak bisa dipakai oleh kampung halamannya. Adalah sebuah kerugian
besar bagi bangsa kita bila tidak mendengarkan masukan-masukan dari Butet
Manurung. Masyarakat adat telah berada di pinggir meja, yang hampir hilang,
bahkan diabaikan. Sejatinya, inti dari pendidikan masyarakat adat adalah
berfokus pada penyediaan pengetahuan, keterampilan praktis, dan sikap kepada
setiap individu dalam masyarakat untuk mempersiapkan mereka menjalankan
perannya dalam komunitas dan masyarakat secara keseluruhan. Pengetahuan, kebiasaan,
filosofi dan cara hidup, bercerita, peribahasa dan mitos memainkan peran
penting dalam kehidupan mereka dan masyarakat adat berhak memutuskan apa yang
penting bagi mereka dan apa yang tidak. Oleh karena itu, masyarakat yang
tersentuh langsung oleh arus modernisasi wajib menghormati nilai-nilai luhur
mereka sebagai bagian dari bangsa kita. Sebagai penutup,
pendidikan masyarakat adat pada prinsipnya mengembangkan rasa memiliki dan
membuat anak-anak di lingkungan mereka jauh lebih menghargai sejarah, bahasa,
adat-istiadat dan nilai-nilai komunitas adat, tetap berhubungan dengan
warisan leluhur mereka, dan akar budaya mereka. Pendidikan masyarakat adat
adalah kunci peradaban bangsa dan sudah sewajarnya ada upaya-upaya
pelestarian dan mempromosikan budaya asli di tiap daerah sebagai bagian
identitas nasional bangsa kita. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar