Kewenangan
yang Tak Berguna Antoni Putra ; Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan
Indonesia |
KOMPAS, 8 Juli 2021
Salah satu kewenangan
Mahkamah Konstitusi adalah memutus pembubaran partai politik. Kewenangan yang
sesungguhnya krusial karena dapat menjadi kontrol dan pembatas terhadap
partai politik agar tidak melakukan tindakan melanggar hukum yang berpotensi
menyebabkan gaduh dalam kehidupan bernegara. Sayangnya, kewenangan ini
tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sepanjang sejarah berdirinya Mahkamah
Konstitusi (MK), belum sekali pun kewenangan yang diberikan Pasal 24C Ayat
(1) UUD 1945 ini dijalankan. Bukan karena MK enggan membubarkan partai
politik, melainkn perkara pembatasan mengenai siapa yang dapat menjadi
pemohon yang terdapat dalam Pasal 68 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang
MK menjadikan kewenangan ini tidak berguna. Ketentuan Pasal 68 Ayat
(1) tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pemohon untuk perkara pembubaran
partai politik di MK adalah pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam
Negeri atau Jaksa Agung. Pada tataran teknis, Pasal 3 Ayat (1) Peraturan MK
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik
mempertegas hal itu bahwa pemohon dalam pembubaran partai politik adalah
pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau menteri yang
ditugasi oleh presiden. Ketentuan yang menempatkan
pemerintah sebagai pemohon tunggal dalam pembubaran partai politik ini
menjadi semacam tembok kokoh yang melindungi partai politik. Pemerintah
sebagai satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pembubaran
partai politik ke MK akan sulit mengambil sikap karena selalu terjebak dalam
situasi conflict of interest. Pemerintah, dalam hal ini
presiden, berada pada posisi yang serba salah. Mengajukan permohonan
pembubaran partai pendukung, maka akan dianggap pengkhianat, bahkan
berpotensi menyebabkan terjadinya pemakzulan bila partai koalisi memiliki
kursi mayoritas di parlemen. Sebaliknya, bila mengajukan permohonan
pembubaran partai oposisi, presiden akan dianggap melakukan pembungkaman dan
antikritik, sekalipun partai tersebut memang benar-benar telah melakukan
kejahatan terhadap negara. Apabila merujuk pada UU No
2/2008 tentang Partai Politik, mekanisme pembubaran partai justru lebih
rumit. Sebelum permohonan pembubaran partai politik diajukan ke MK,
berdasarkan Pasal 48 Ayat (3), partai yang melanggar peraturan
perundang-undangan terlebih dahulu dikenai sanksi pembekuan sementara. Jika
melanggar lagi dalam masa pembekuan, baru dibubarkan melalui putusan MK atas
permohonan dari pemerintah. Dalam konteks UU No 2/2008
tentang Partai politik, terdapat semacam penjatuhan sanksi secara berjenjang
terhadap partai politik yang menyebabkan kemungkinan pembubaran oleh MK
semakin sulit. Hingga kini, alih-alih membubarkan partai politik, meski
terdapat sanksi selain pembubaran oleh MK, nyatanya partai politik tetap
tidak tersentuh hukum. Kejahatan
partai politik Di tengah kerumitan pengajuan
permohonan pembubaran partai politik ke MK, kejahatan seperti halnya korupsi
yang diduga melibatkan partai politik terjadi secara terus-menerus. Tidak
sedikit petinggi partai yang terjerat korupsi dan telah diputus bersalah oleh
pengadilan. Beberapa di antaranya mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas
Urbaningrum, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq,
mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, mantan Ketua
Umum Partai Golkar Setya Novanto, dan mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy. Selain itu, korupsi
berjemaah yang dananya diduga mengalir ke kas partai tertentu juga sudah
berulang kali terjadi. Tentu masih jelas dalam ingatan bagaimana dana korupsi
e-KTP mengalir ke banyak nama anggota DPR sebagaimana yang disebut dalam
surat dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Di mana uang haram itu juga
diduga mengalir ke partai politik. Sayangnya, proses penegakan hukum terhenti
sampai ke individu pelaku, sementara dugaan keterlibatan partai politik
hilang bak ditelan bumi karena tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan
untuk meminta pertanggungjawaban partai politik. Setelah Pemilu 2019, salah
seorang calon legislatif dari Partai PDI-P, Harun Masiku, ditetapkan sebagai
tersangka pada 9 Januari 2020 dalam kasus suap pergantian antarwaktu anggota
DPR yang hingga kini masih belum tuntas. Dalam kasus ini, KPK juga mendapat
rintangan ketika melakukan penggeledahan di sekretariat PDI-P untuk
mengungkap kasus tersebut lebih lanjut. Jauh sebelumnya, korupsi
Hambalang yang terjadi sepuluh tahun silam juga menyeret banyak nama dari
partai yang berkuasa kala itu. Tidak jauh berbeda, pertanggungjawabannya pun
hanya terhenti sampai individu anggota partai. Sementara sikap partai politik
tidak lebih hanya menonaktifkan kadernya untuk sementara waktu yang setelah
selesai menjalani hukuman pun kembali direkrut oleh partai yang bersangkutan Memang dalam perkara
korupsi belum sekali pun ada putusan pengadilan yang memutus partai politik
terlibat dalam korupsi yang dilakukan anggotanya. Namun, melihat beberapa
kasus di mana partai politik gigih membela kader yang terlibat korupsi, itu
cukup seharusnya menjadi bukti bahwa dugaan adanya aliran dana haram tersebut
ke internal partai yang bersangkutan. Sayangnya, sekali lagi, kewenangan
untuk mempersoalkan partai politik sepenuhnya hanya berada di tangan
presiden. Perluasan
pemohon Persoalan pemohon dalam
pembubaran partai politik perlu dimaknai lebih luas. Menempatkan pemerintah
sebagai pemohon tunggal dalam pembubaran partai politik jelas merupakan
sesuatu yang tidak tepat. Terlebih bila merujuk pada Pasal 24C UUD 1945 tidak
disebutkan secara spesifik siapa yang dapat menjadi pemohon, sama halnya
dengan pengujian undang-undang dan perselisihan sengketa hasil pemilihan
umum. Dalam konteks ini, bila tidak ada pembatasan oleh undang-undang,
terbuka peluang bagi siapa pun untuk menjadi pemohon dalam pembubaran partai
politik. Apabila merujuk pada asas
equality before the law dan ketentuan Pasal 27 dan 28D UUD 1945, ketentuan
pembatasan pemohon dengan hanya menempatkan pemerintah sebagai pemohon
tunggal seharusnya tidak dapat dibenarkan. Diskriminatif karena tidak
menempatkan setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Hak untuk mengajukan
permohonan pembubaran partai politik idealnya diberikan kepada perseorangan,
kelompok masyarakat, dan badan hukum. Dengan begitu, kewenangan MK dalam
memutus pembubaran partai dapat berguna dan kontrol terhadap partai politik
juga akan berjalan lebih baik karena diawasi oleh seluruh masyarakat
Indonesia. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar