Sabtu, 10 Juli 2021

 

Kewenangan yang Tak Berguna

Antoni Putra ;  Peneliti di Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

KOMPAS, 8 Juli 2021

 

 

                                                           

Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi adalah memutus pembubaran partai politik. Kewenangan yang sesungguhnya krusial karena dapat menjadi kontrol dan pembatas terhadap partai politik agar tidak melakukan tindakan melanggar hukum yang berpotensi menyebabkan gaduh dalam kehidupan bernegara.

 

Sayangnya, kewenangan ini tidak berjalan sebagaimana mestinya. Sepanjang sejarah berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK), belum sekali pun kewenangan yang diberikan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945 ini dijalankan. Bukan karena MK enggan membubarkan partai politik, melainkn perkara pembatasan mengenai siapa yang dapat menjadi pemohon yang terdapat dalam Pasal 68 Ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK menjadikan kewenangan ini tidak berguna.

 

Ketentuan Pasal 68 Ayat (1) tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pemohon untuk perkara pembubaran partai politik di MK adalah pemerintah yang diwakili oleh Menteri Dalam Negeri atau Jaksa Agung. Pada tataran teknis, Pasal 3 Ayat (1) Peraturan MK Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara dalam Pembubaran Partai Politik mempertegas hal itu bahwa pemohon dalam pembubaran partai politik adalah pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau menteri yang ditugasi oleh presiden.

 

Ketentuan yang menempatkan pemerintah sebagai pemohon tunggal dalam pembubaran partai politik ini menjadi semacam tembok kokoh yang melindungi partai politik. Pemerintah sebagai satu-satunya pihak yang berwenang mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke MK akan sulit mengambil sikap karena selalu terjebak dalam situasi conflict of interest.

 

Pemerintah, dalam hal ini presiden, berada pada posisi yang serba salah. Mengajukan permohonan pembubaran partai pendukung, maka akan dianggap pengkhianat, bahkan berpotensi menyebabkan terjadinya pemakzulan bila partai koalisi memiliki kursi mayoritas di parlemen. Sebaliknya, bila mengajukan permohonan pembubaran partai oposisi, presiden akan dianggap melakukan pembungkaman dan antikritik, sekalipun partai tersebut memang benar-benar telah melakukan kejahatan terhadap negara.

 

Apabila merujuk pada UU No 2/2008 tentang Partai Politik, mekanisme pembubaran partai justru lebih rumit. Sebelum permohonan pembubaran partai politik diajukan ke MK, berdasarkan Pasal 48 Ayat (3), partai yang melanggar peraturan perundang-undangan terlebih dahulu dikenai sanksi pembekuan sementara. Jika melanggar lagi dalam masa pembekuan, baru dibubarkan melalui putusan MK atas permohonan dari pemerintah.

 

Dalam konteks UU No 2/2008 tentang Partai politik, terdapat semacam penjatuhan sanksi secara berjenjang terhadap partai politik yang menyebabkan kemungkinan pembubaran oleh MK semakin sulit. Hingga kini, alih-alih membubarkan partai politik, meski terdapat sanksi selain pembubaran oleh MK, nyatanya partai politik tetap tidak tersentuh hukum.

 

Kejahatan partai politik

 

Di tengah kerumitan pengajuan permohonan pembubaran partai politik ke MK, kejahatan seperti halnya korupsi yang diduga melibatkan partai politik terjadi secara terus-menerus. Tidak sedikit petinggi partai yang terjerat korupsi dan telah diputus bersalah oleh pengadilan. Beberapa di antaranya mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan Suryadharma Ali, mantan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, dan mantan Ketua Umum PPP Romahurmuziy.

 

Selain itu, korupsi berjemaah yang dananya diduga mengalir ke kas partai tertentu juga sudah berulang kali terjadi. Tentu masih jelas dalam ingatan bagaimana dana korupsi e-KTP mengalir ke banyak nama anggota DPR sebagaimana yang disebut dalam surat dakwaan Komisi Pemberantasan Korupsi. Di mana uang haram itu juga diduga mengalir ke partai politik. Sayangnya, proses penegakan hukum terhenti sampai ke individu pelaku, sementara dugaan keterlibatan partai politik hilang bak ditelan bumi karena tidak ada upaya hukum yang dapat dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban partai politik.

 

Setelah Pemilu 2019, salah seorang calon legislatif dari Partai PDI-P, Harun Masiku, ditetapkan sebagai tersangka pada 9 Januari 2020 dalam kasus suap pergantian antarwaktu anggota DPR yang hingga kini masih belum tuntas. Dalam kasus ini, KPK juga mendapat rintangan ketika melakukan penggeledahan di sekretariat PDI-P untuk mengungkap kasus tersebut lebih lanjut.

 

Jauh sebelumnya, korupsi Hambalang yang terjadi sepuluh tahun silam juga menyeret banyak nama dari partai yang berkuasa kala itu. Tidak jauh berbeda, pertanggungjawabannya pun hanya terhenti sampai individu anggota partai. Sementara sikap partai politik tidak lebih hanya menonaktifkan kadernya untuk sementara waktu yang setelah selesai menjalani hukuman pun kembali direkrut oleh partai yang bersangkutan

 

Memang dalam perkara korupsi belum sekali pun ada putusan pengadilan yang memutus partai politik terlibat dalam korupsi yang dilakukan anggotanya. Namun, melihat beberapa kasus di mana partai politik gigih membela kader yang terlibat korupsi, itu cukup seharusnya menjadi bukti bahwa dugaan adanya aliran dana haram tersebut ke internal partai yang bersangkutan. Sayangnya, sekali lagi, kewenangan untuk mempersoalkan partai politik sepenuhnya hanya berada di tangan presiden.

 

Perluasan pemohon

 

Persoalan pemohon dalam pembubaran partai politik perlu dimaknai lebih luas. Menempatkan pemerintah sebagai pemohon tunggal dalam pembubaran partai politik jelas merupakan sesuatu yang tidak tepat. Terlebih bila merujuk pada Pasal 24C UUD 1945 tidak disebutkan secara spesifik siapa yang dapat menjadi pemohon, sama halnya dengan pengujian undang-undang dan perselisihan sengketa hasil pemilihan umum. Dalam konteks ini, bila tidak ada pembatasan oleh undang-undang, terbuka peluang bagi siapa pun untuk menjadi pemohon dalam pembubaran partai politik.

 

Apabila merujuk pada asas equality before the law dan ketentuan Pasal 27 dan 28D UUD 1945, ketentuan pembatasan pemohon dengan hanya menempatkan pemerintah sebagai pemohon tunggal seharusnya tidak dapat dibenarkan. Diskriminatif karena tidak menempatkan setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum.

 

Hak untuk mengajukan permohonan pembubaran partai politik idealnya diberikan kepada perseorangan, kelompok masyarakat, dan badan hukum. Dengan begitu, kewenangan MK dalam memutus pembubaran partai dapat berguna dan kontrol terhadap partai politik juga akan berjalan lebih baik karena diawasi oleh seluruh masyarakat Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar