Sabtu, 10 Juli 2021

 

Pelajaran Kasus Adelin Lis dan Hendra Subrata

Didik Eko Pujianto ;  Wakil Dubes Indonesia di Singapura

KOMPAS, 6 Juli 2021

 

 

                                                           

Dua minggu terakhir ini, ramai diberitakan tentang pemulangan Adelin Lis alias Hendro Leonardi dan Hendra Subrata alias Endang Rifai alias Ayin dari Singapura karena pelanggaran keimigrasian.

 

Keduanya buron Pemerintah Indonesia karena beberapa tahun melarikan diri, menghindari hukuman penjara. Adelin Lis diputus bersalah dalam kasus penebangan liar (illegal logging) pada 2008, dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 119 miliar.

 

Sedangkan Hendra Subrata diputus bersalah pada tahun 2010 dalam kasus percobaan pembunuhan, dihukum empat tahun penjara. Cara mereka meloloskan diri keluar negeri menggunakan pola yang sama, yaitu, mengubah identitas seluruh dokumen sebagai dasar untuk mendapatkan paspor. Kasus pemalsuan data seperti ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga di negara lain untuk beragam tujuan.

 

Kita tentu pernah menyaksikan film dokumenter Operation Finale yang menceritakan pelarian mantan tentara Nazi, Adolf Eichmann. Ia dianggap bertanggung jawab atas pembantaian massal, Holocaust, pada Perang Dunia II.

 

Eichmann mengubah seluruh identitasnya hingga berhasil memiliki paspor dengan nama Ricardo Klement untuk lolos dari kejaran Sekutu dan tinggal di Argentina selama belasan tahun.

 

Cara pengungkapan kasus pemalsuan paspor dan penangkapan Eichmann sangat menarik. Mossad terus memburu penjahat perang itu. Pada 1960 identitas asli Klement diketahui. Tim Mossad berhasil masuk Argentina pada saat perayaan Hari Kemerdekaan ke-150 dengan menyamar sebagai diplomat untuk menangkap Eichmann yang baru turun dari bus di depan rumahnya. Akhirnya, Mossad berhasil membawa Eichmann keluar dari Argentina dengan pesawat khusus untuk diadili di Israel dan diputus dengan hukuman mati.

 

Kasus pemalsuan paspor yang sengaja dilakukan juga pernah terjadi dalam krisis politik AS-Iran pada 1979-1981. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai The Canadian Caper, sebanyak 52 orang diplomat dan warga AS disandera oleh kelompok mahasiswa militan di Teheran selama 444 hari. Para sandera dipakai untuk menuntut pemulangan Shah Mohammad Reza Pahlevi yang berada di AS. Dengan pengaturan khusus bersamaan dengan acara media shooting, enam diplomat AS akhirnya bisa selamat keluar dari Iran pada 27 Januari 1980 setelah diberikan paspor Kanada.

 

Pemalsuan paspor bisa dilakukan melalui pemalsuan data dari pemohon paspor atau dengan cara memalsukan paspor itu sendiri. Pada kasus yang pertama, biasanya dilakukan dengan mengubah identitas seluruh dokumen pendukung untuk memenuhi persyaratan mendapatkan paspor. Sedangkan yang kedua, dengan membuat buku paspor sehingga terlihat seperti buku paspor asli.

 

Hingga saat ini, penerbitan paspor masih merujuk dokumen pendukung lain dari orang yang mengajukan. Untuk paspor, biasa merujuk dokumen kependudukan. Sedangkan paspor dinas dan diplomatik merujuk pada dokumen kepegawaian atau penugasan pemiliknya. Demikian pula, PBB membekali pegawainya dengan laissez-passer, merujuk pada posisi atau jabatan pemiliknya.

 

Evolusi paspor RI

 

Sebagian warga senior yang sering melakukan perjalanan keluar negeri pasti pernah memiliki paspor yang ditulis dengan tangan. Dengan digunakannya komputer hingga 2008, data diri di paspor kemudian dicetak dengan printer. Namun data lain masih analog dan disimpan di masing-masing kantor. Pemohon mengisi formulir dengan tulis tangan, sidik jari diterakan dengan tinta. Perangkat komputer sederhana hanya menyimpan sebagian data bersifat lokal.

 

Baru pada 2008 Indonesia melakukan perubahan mendasar. Standar kualitas, fitur pengamanan, tata cara penerbitan, pengelolaan, interoperability, dan hal-hal lain terkait paspor lebih disesuaikan dengan ketentuan machine readable travel document (MRTD). Ini sesuai dokumen 9303 International Civil Aviation Organization (ICAO) yang mengharuskan paspor bisa dibaca secara sama oleh semua imigrasi di seluruh dunia.

 

Pada 2008 Indonesia secara bertahap menerapkan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (Simkim). Sistem yang mengintegrasikan basis data paspor, visa, perlintasan dan pengawasan orang asing secara nasional dan pengamanan, security features sesuai standar internasional yang hanya bisa dilihat dengan alat khusus pengambilan data sidik jari (biometrik) secara elektronik dan seluruh data dukung dalam bentuk elektronik disimpan di pusat database imigrasi nasional. Data setiap pemohon diuji oleh sistem yang secara otomatis mendeteksi data ganda untuk dilakukan penelitian dan penelusuran lebih lanjut.

 

Kualitas terus dikembangkan hingga dibuat paspor elektronik yang dimulai pada 2015. Jenis paspor terbaru ini dibekali chip untuk menyimpan data lebih detail tentang pemiliknya dan diterbitkan di beberapa kantor imigrasi saja. Setiap permohonan paspor pada prinsipnya akan diberikan sesuai data dukung kependudukan yang dilampirkan.

 

Meskipun telah diberlakukan Simkim, kemungkinan orang tak bertanggung jawab memanfaatkan kekurangan database tetap ada. Pertama, oleh orang yang sudah pernah memiliki paspor sebelum diberlakukannya sistem. Jika mengajukan permohonan paspor kembali dengan identitas yang berbeda setelah diterapkannya Simkim, maka ia bisa lolos diberikan. Hal itu karena tidak ada rujukan dalam database untuk melakukan cek silang (cross check).

 

Kedua, oleh orang yang belum pernah memiliki paspor. Jika seseorang diberikan paspor melalui Simkim, dan di kemudian hari terbukti memiliki identitas berbeda, sistem hanya mengenali identitas yang ada di database saja.

 

Ketiga, oleh orang yang memanfaatkan perbedaan waktu penerapan Simkim di luar negeri. Pemasangan Simkim di Perwakilan RI dilakukan secara bertahap mulai 2012 pada Perwakilan yang memiliki Atase Imigrasi hingga 2019 diterapkan di seluruh Perwakilan. Jeda waktu tersebut bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan paspor dengan identitas berbeda.

 

Kemungkinan lain adalah membuat buku paspor palsu. Namun, itu kecil karena fitur pengaman paspor semakin tinggi. Seandainya berhasil dengan kualitas yang sama, harus cetak data di buku paspor dengan standar pengamanan yang tinggi pula. Jika keduanya berhasil, masih harus berhadapan dengan berbagai mesin pembaca di check-in counter dan tempat pemeriksaan imigrasi negara lain. Pemalsuan buku paspor dengan cara lain adalah menggunakan paspor milik orang lain yang hilang. Pada kasus ini, paspor diganti dengan data orang yang memanfaatkannya.

 

Lewat negara lain

 

Pada dasarnya, semua negara terus melakukan perbaikan sistem pengamanannya sesuai ketentuan internasional serta kemampuan ekonomi dan teknologi yang dimiliki. Jika negara itu masih mengandalkan pembacaan dokumen tanpa mencocokkan dengan sidik jari setiap orang yang masuk, maka tak akan mendapatkan data akurat.

 

Dalam kasus Adelin Lis dan Hendra Subrata, sebenarnya mereka sering kali keluar-masuk Singapura, Malaysia, China, Taiwan, bahkan Jepang dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun. Sampai akhirnya sidik jari Adelin Lis kebetulan terdeteksi oleh sistem imigrasi Singapura dan itu mirip dengan paspor Hendro Leonardi yang ia gunakan.

 

Pada kasus Hendra Subrata, sistem imigrasi Singapura tak bisa mendeteksi penyalahgunaan keimigrasian karena menggunakan nama Endang Rifai. Kecurangan Hendra terungkap lebih karena kecerobohan yang bersangkutan.

 

Dengan mencermati berbagai upaya peningkatan dan beragam kemungkinan kecurangan, ke depan perlu beberapa perbaikan. Pertama, integrasi berbagai database untuk mengarah ke single identity number merupakan sebuah keniscayaan. Saat ini, data nasional kependudukan dan keimigrasian sudah makin baik. Proses integrasi harus dilakukan atau paling tidak akses view harus segera bisa diterapkan. Dengan demikian, tak ada lagi warga yang tak bisa dilacak datanya sebelum diberikan paspor.

 

Database di lembaga lain seperti aparat penegak hukum, pendidikan, PNS dan TNI-Polri perlu terus disempurnakan dan secara bertahap diintegrasikan agar dapat dilakukan cek silang di antara satu dengan lainnya. Hal ini sangat penting, tidak hanya untuk kepentingan pelayanan, perlindungan, dan pengamanan, tetapi juga merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatan negara. Pelaksanaan Peraturan Presiden No 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia harus menjadi prioritas.

 

Kedua, optimalisasi teknologi sidik jari biometrik secara terintegrasi perlu diimplementasikan. Cara identifikasi yang telah telah digunakan lebih dari 100 tahun ini dinilai tetap salah satu yang terbaik. The National Research Council of the National Academies and The Legal and Forensic Sciences AS mencatat deviasi hanya 0,01 persen. Teknologi ini sudah umum digunakan dan relatif murah. Saat ini, di Indonesia masing-masing instansi masih mengandalkan data biometriknya sendiri.

 

Ketiga, rasionalisasi jumlah pintu keluar-masuk internasional. Dengan 182 tempat pemeriksaan imigrasi (TPI) dan jumlah kunjungan orang asing mencapai angka 19 juta pada 2019, layanan dan pengamanan di pintu internasional sangat penting. Jika pintu internasional ditentukan beberapa saja akan lebih memfokuskan kebijakan, sumber daya dan perhatian. Selain itu, juga akan lebih mendorong transportasi dalam negeri.

 

Keempat, meningkatkan kerja sama internasional untuk beragam isu dan pelanggaran hukum yang lari keluar negeri atau sebaliknya terkait dengan otoritas negara lain. Kerja sama yang baik dengan lembaga internasional, regional maupun secara bilateral penting agar setiap permasalahan lintas negara dapat dikelola dan diselesaikan dengan baik.

 

Pemulangan Adelin Lis dan Hendra Subrata serta beberapa buronan lain dari berbagai negara bisa dilakukan hanya berkat kerja sama internasional yang erat. Tidak ketinggalan, sebaik apa pun sistem yang dikembangkan dan secanggih apa pun perangkat yang digunakan, peranan orang yang mengendalikan pada akhirnya juga paling menentukan. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar