Pelajaran
Kasus Adelin Lis dan Hendra Subrata Didik Eko Pujianto ; Wakil Dubes Indonesia di Singapura |
KOMPAS, 6 Juli 2021
Dua minggu terakhir ini,
ramai diberitakan tentang pemulangan Adelin Lis alias Hendro Leonardi dan
Hendra Subrata alias Endang Rifai alias Ayin dari Singapura karena
pelanggaran keimigrasian. Keduanya buron Pemerintah
Indonesia karena beberapa tahun melarikan diri, menghindari hukuman penjara.
Adelin Lis diputus bersalah dalam kasus penebangan liar (illegal logging)
pada 2008, dihukum 10 tahun penjara dan denda Rp 119 miliar. Sedangkan Hendra Subrata
diputus bersalah pada tahun 2010 dalam kasus percobaan pembunuhan, dihukum
empat tahun penjara. Cara mereka meloloskan diri keluar negeri menggunakan
pola yang sama, yaitu, mengubah identitas seluruh dokumen sebagai dasar untuk
mendapatkan paspor. Kasus pemalsuan data seperti ini tidak hanya terjadi di
Indonesia, namun juga di negara lain untuk beragam tujuan. Kita tentu pernah
menyaksikan film dokumenter Operation Finale yang menceritakan pelarian
mantan tentara Nazi, Adolf Eichmann. Ia dianggap bertanggung jawab atas
pembantaian massal, Holocaust, pada Perang Dunia II. Eichmann mengubah seluruh
identitasnya hingga berhasil memiliki paspor dengan nama Ricardo Klement
untuk lolos dari kejaran Sekutu dan tinggal di Argentina selama belasan
tahun. Cara pengungkapan kasus
pemalsuan paspor dan penangkapan Eichmann sangat menarik. Mossad terus
memburu penjahat perang itu. Pada 1960 identitas asli Klement diketahui. Tim
Mossad berhasil masuk Argentina pada saat perayaan Hari Kemerdekaan ke-150
dengan menyamar sebagai diplomat untuk menangkap Eichmann yang baru turun
dari bus di depan rumahnya. Akhirnya, Mossad berhasil membawa Eichmann keluar
dari Argentina dengan pesawat khusus untuk diadili di Israel dan diputus
dengan hukuman mati. Kasus pemalsuan paspor
yang sengaja dilakukan juga pernah terjadi dalam krisis politik AS-Iran pada
1979-1981. Dalam peristiwa yang dikenal sebagai The Canadian Caper, sebanyak
52 orang diplomat dan warga AS disandera oleh kelompok mahasiswa militan di
Teheran selama 444 hari. Para sandera dipakai untuk menuntut pemulangan Shah
Mohammad Reza Pahlevi yang berada di AS. Dengan pengaturan khusus bersamaan
dengan acara media shooting, enam diplomat AS akhirnya bisa selamat keluar
dari Iran pada 27 Januari 1980 setelah diberikan paspor Kanada. Pemalsuan paspor bisa
dilakukan melalui pemalsuan data dari pemohon paspor atau dengan cara memalsukan
paspor itu sendiri. Pada kasus yang pertama, biasanya dilakukan dengan
mengubah identitas seluruh dokumen pendukung untuk memenuhi persyaratan
mendapatkan paspor. Sedangkan yang kedua, dengan membuat buku paspor sehingga
terlihat seperti buku paspor asli. Hingga saat ini,
penerbitan paspor masih merujuk dokumen pendukung lain dari orang yang
mengajukan. Untuk paspor, biasa merujuk dokumen kependudukan. Sedangkan
paspor dinas dan diplomatik merujuk pada dokumen kepegawaian atau penugasan
pemiliknya. Demikian pula, PBB membekali pegawainya dengan laissez-passer,
merujuk pada posisi atau jabatan pemiliknya. Evolusi
paspor RI Sebagian warga senior yang
sering melakukan perjalanan keluar negeri pasti pernah memiliki paspor yang
ditulis dengan tangan. Dengan digunakannya komputer hingga 2008, data diri di
paspor kemudian dicetak dengan printer. Namun data lain masih analog dan
disimpan di masing-masing kantor. Pemohon mengisi formulir dengan tulis
tangan, sidik jari diterakan dengan tinta. Perangkat komputer sederhana hanya
menyimpan sebagian data bersifat lokal. Baru pada 2008 Indonesia
melakukan perubahan mendasar. Standar kualitas, fitur pengamanan, tata cara
penerbitan, pengelolaan, interoperability, dan hal-hal lain terkait paspor
lebih disesuaikan dengan ketentuan machine readable travel document (MRTD).
Ini sesuai dokumen 9303 International Civil Aviation Organization (ICAO) yang
mengharuskan paspor bisa dibaca secara sama oleh semua imigrasi di seluruh
dunia. Pada 2008 Indonesia secara
bertahap menerapkan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (Simkim). Sistem
yang mengintegrasikan basis data paspor, visa, perlintasan dan pengawasan
orang asing secara nasional dan pengamanan, security features sesuai standar
internasional yang hanya bisa dilihat dengan alat khusus pengambilan data
sidik jari (biometrik) secara elektronik dan seluruh data dukung dalam bentuk
elektronik disimpan di pusat database imigrasi nasional. Data setiap pemohon
diuji oleh sistem yang secara otomatis mendeteksi data ganda untuk dilakukan
penelitian dan penelusuran lebih lanjut. Kualitas terus
dikembangkan hingga dibuat paspor elektronik yang dimulai pada 2015. Jenis
paspor terbaru ini dibekali chip untuk menyimpan data lebih detail tentang
pemiliknya dan diterbitkan di beberapa kantor imigrasi saja. Setiap
permohonan paspor pada prinsipnya akan diberikan sesuai data dukung
kependudukan yang dilampirkan. Meskipun telah
diberlakukan Simkim, kemungkinan orang tak bertanggung jawab memanfaatkan
kekurangan database tetap ada. Pertama, oleh orang yang sudah pernah memiliki
paspor sebelum diberlakukannya sistem. Jika mengajukan permohonan paspor
kembali dengan identitas yang berbeda setelah diterapkannya Simkim, maka ia
bisa lolos diberikan. Hal itu karena tidak ada rujukan dalam database untuk
melakukan cek silang (cross check). Kedua, oleh orang yang
belum pernah memiliki paspor. Jika seseorang diberikan paspor melalui Simkim,
dan di kemudian hari terbukti memiliki identitas berbeda, sistem hanya
mengenali identitas yang ada di database saja. Ketiga, oleh orang yang
memanfaatkan perbedaan waktu penerapan Simkim di luar negeri. Pemasangan
Simkim di Perwakilan RI dilakukan secara bertahap mulai 2012 pada Perwakilan
yang memiliki Atase Imigrasi hingga 2019 diterapkan di seluruh Perwakilan.
Jeda waktu tersebut bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan paspor dengan
identitas berbeda. Kemungkinan lain adalah
membuat buku paspor palsu. Namun, itu kecil karena fitur pengaman paspor
semakin tinggi. Seandainya berhasil dengan kualitas yang sama, harus cetak
data di buku paspor dengan standar pengamanan yang tinggi pula. Jika keduanya
berhasil, masih harus berhadapan dengan berbagai mesin pembaca di check-in
counter dan tempat pemeriksaan imigrasi negara lain. Pemalsuan buku paspor
dengan cara lain adalah menggunakan paspor milik orang lain yang hilang. Pada
kasus ini, paspor diganti dengan data orang yang memanfaatkannya. Lewat
negara lain Pada dasarnya, semua
negara terus melakukan perbaikan sistem pengamanannya sesuai ketentuan
internasional serta kemampuan ekonomi dan teknologi yang dimiliki. Jika
negara itu masih mengandalkan pembacaan dokumen tanpa mencocokkan dengan
sidik jari setiap orang yang masuk, maka tak akan mendapatkan data akurat. Dalam kasus Adelin Lis dan
Hendra Subrata, sebenarnya mereka sering kali keluar-masuk Singapura,
Malaysia, China, Taiwan, bahkan Jepang dalam kurun waktu lebih dari 10 tahun.
Sampai akhirnya sidik jari Adelin Lis kebetulan terdeteksi oleh sistem
imigrasi Singapura dan itu mirip dengan paspor Hendro Leonardi yang ia
gunakan. Pada kasus Hendra Subrata,
sistem imigrasi Singapura tak bisa mendeteksi penyalahgunaan keimigrasian
karena menggunakan nama Endang Rifai. Kecurangan Hendra terungkap lebih
karena kecerobohan yang bersangkutan. Dengan mencermati berbagai
upaya peningkatan dan beragam kemungkinan kecurangan, ke depan perlu beberapa
perbaikan. Pertama, integrasi berbagai database untuk mengarah ke single
identity number merupakan sebuah keniscayaan. Saat ini, data nasional
kependudukan dan keimigrasian sudah makin baik. Proses integrasi harus
dilakukan atau paling tidak akses view harus segera bisa diterapkan. Dengan
demikian, tak ada lagi warga yang tak bisa dilacak datanya sebelum diberikan
paspor. Database di lembaga lain
seperti aparat penegak hukum, pendidikan, PNS dan TNI-Polri perlu terus
disempurnakan dan secara bertahap diintegrasikan agar dapat dilakukan cek
silang di antara satu dengan lainnya. Hal ini sangat penting, tidak hanya
untuk kepentingan pelayanan, perlindungan, dan pengamanan, tetapi juga
merupakan salah satu perwujudan dari kedaulatan negara. Pelaksanaan Peraturan
Presiden No 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia harus menjadi
prioritas. Kedua, optimalisasi
teknologi sidik jari biometrik secara terintegrasi perlu diimplementasikan.
Cara identifikasi yang telah telah digunakan lebih dari 100 tahun ini dinilai
tetap salah satu yang terbaik. The National Research Council of the National
Academies and The Legal and Forensic Sciences AS mencatat deviasi hanya 0,01
persen. Teknologi ini sudah umum digunakan dan relatif murah. Saat ini, di
Indonesia masing-masing instansi masih mengandalkan data biometriknya
sendiri. Ketiga, rasionalisasi
jumlah pintu keluar-masuk internasional. Dengan 182 tempat pemeriksaan
imigrasi (TPI) dan jumlah kunjungan orang asing mencapai angka 19 juta pada
2019, layanan dan pengamanan di pintu internasional sangat penting. Jika
pintu internasional ditentukan beberapa saja akan lebih memfokuskan
kebijakan, sumber daya dan perhatian. Selain itu, juga akan lebih mendorong
transportasi dalam negeri. Keempat, meningkatkan
kerja sama internasional untuk beragam isu dan pelanggaran hukum yang lari
keluar negeri atau sebaliknya terkait dengan otoritas negara lain. Kerja sama
yang baik dengan lembaga internasional, regional maupun secara bilateral
penting agar setiap permasalahan lintas negara dapat dikelola dan
diselesaikan dengan baik. Pemulangan Adelin Lis dan
Hendra Subrata serta beberapa buronan lain dari berbagai negara bisa
dilakukan hanya berkat kerja sama internasional yang erat. Tidak ketinggalan,
sebaik apa pun sistem yang dikembangkan dan secanggih apa pun perangkat yang
digunakan, peranan orang yang mengendalikan pada akhirnya juga paling
menentukan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar