Membangun
Kembali Lebih Baik, Lewat Pemulihan Hijau Victoria Kwakwa ; Wakil Presiden Bank Dunia untuk Asia Timur
dan Pasifik |
KOMPAS, 6 Juli 2021
Ketika gempa bumi dan
tsunami 2004 memusnahkan rumah, gedung, dan jalan di Aceh, pemerintah
dihadapkan pada dua pilihan: membangun semuanya kembali ke kondisi sebelum
bencana, atau menggunakan kesempatan untuk ‘membangun kembali dengan lebih
baik’. Pemerintah memilih pilihan yang kedua, memprioritaskan kebutuhan
masyarakat setempat sambil memastikan ketahanan terhadap bencana di masa
depan. Saat ini, ketika ekonomi
global berusaha bangkit dari dampak pandemi, para pemimpin dihadapkan pada
pertanyaan yang sama: bisakah kita merancang pemulihan yang tidak hanya
menyelamatkan nyawa dan menghasilkan pertumbuhan, tetapi juga pemulihan yang
tangguh dan berkelanjutan dalam jangka panjang? Pertanyaan ini menjadi
lebih penting karena dampak perubahan iklim telah kita rasakan bersama.
Frekuensi dan intensitas bencana akibat perubahan iklim di Indonesia
meningkat. Dalam beberapa tahun
terakhir, Indonesia mengalami kekeringan berkepanjangan dan kebakaran hutan
di Pulau Sumatra dan Pulau Kalimantan pada 2019. Setahun berikutnya, banjir
besar terjadi di beberapa daerah di Pulau Jawa menyusul curah hujan tertinggi
dalam 150 tahun terakhir. Risiko iklim Indonesia
akan terus meningkat dan dampaknya akan paling dirasakan oleh masyarakat
miskin. Risiko iklim di Indonesia menimbulkan biaya yang signifikan, diperkirakan
antara 2,5 persen hingga 7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), menurut
laporan Profil Risiko Iklim yang dikembangkan oleh Bank Dunia dan Bank
Pembangunan Asia. Rendah
karbon Beberapa tahun terakhir,
upaya global untuk bertransisi menuju ekonomi yang lebih hijau telah
mengalami peningkatan. Upaya mendorong pertumbuhan rendah karbon terus
berkembang, seperti terlihat dalam transisi menuju energi terbarukan di
seluruh dunia. Inisiatif penerapan harga
karbon—seperti perdagangan emisi dan instrumen pajak—yang saat ini telah
diterapkan atau sedang dikembangkan di 61 yurisdiksi, telah meningkat hampir
dua kali lipat hanya dalam satu dekade terakhir. Lebih dari 100 negara telah
menetapkan atau sedang mempertimbangkan target nol emisi (net-zero emission
target), termasuk Indonesia. Menanggapi sinyal ini, investasi hijau di Asia
Pasifik, Amerika Utara, dan Eropa meningkat hampir dua kali lipat sejak 2016. Tantangannya adalah
menjaga momentum ini melalui proses pemulihan pasca-Covid 19, termasuk dengan
mengalokasikan stimulus fiskal untuk program-program hijau. Indonesia
memiliki peluang untuk memanfaatkan dana dari sektor swasta untuk membantu
mendorong inovasi dan investasi. Penerbitan sukuk hijau merupakan awal yang
menjanjikan. Indonesia tak hanya dapat
beralih ke ekonomi hijau, pemodelan terbaru oleh Kementerian Perencanaan
Pembangunan Nasional/Bappenas menunjukkan, ekonomi hijau adalah strategi yang
dapat menghasilkan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, sejalan dengan
target pembangunan negara. Menurut Bappenas, jalur
pembangunan rendah karbon menuju target nol emisi (net-zero emission) pada
2045 dapat menghasilkan tingkat pertumbuhan PDB rata-rata 6 persen per tahun,
di atas proyeksi jika bisnis dilakukan seperti biasa saat ini, dan
menciptakan sekitar 15,3 juta lapangan pekerjaan. Pembangunan rendah karbon
juga akan memosisikan Indonesia sebagai tujuan utama investasi swasta hijau. Transisi
energi Seperti yang dilakukan di
Aceh, Indonesia dapat berfokus pada peluang dan kebutuhannya dalam melakukan
transisi energi dan tata guna lahan menuju masa depan yang rendah karbon. Di
sektor tata guna lahan, terdapat peluang untuk berinvestasi dalam pertanian
bernilai lebih tinggi, perencanaan penggunaan lahan yang efisien, serta
mengurangi deforestasi dan kebakaran, yang didukung pendanaan iklim. Upaya ini berdasarkan pada
keberhasilan Indonesia dalam mengurangi deforestasi dan menuju target
netralitas karbon 2030 di sektor kehutanan dan tata guna lahan. Sebagai
satu-satunya negara berhutan tropis yang berhasil mengurangi deforestasi
selama empat tahun terakhir, Indonesia bisa jadi pemimpin global, menunjukkan
bagaimana ekonomi hijau yang selaras dengan nilai-nilai Pancasila bisa
dicapai. Kemitraan antara Bank
Dunia dan Indonesia untuk mengurangi emisi dari deforestasi di Provinsi
Kalimantan Timur dapat direplikasi dan ditingkatkan. Peluang lain ada pada
sektor energi. Tahun lalu, kita menyaksikan evolusi yang cepat dari kemauan
Pemerintah Indonesia dan Perusahaan Listrik Negara (PLN) terkait sektor
ketenagalistrikan di Indonesia. Wacana dekarbonisasi
listrik telah mengemuka dengan komitmen untuk tak membangun pembangkit
listrik tenaga batubara baru setelah 2023 dan menghentikan secara bertahap
semua pembangkit tenaga listrik batubara pada 2056. Bank Dunia mendukung
transisi energi melalui investasi seperti pengembangan Pembangkit Listrik
Tenaga Air – pumped storage (PLTA-PS) pertama untuk memungkinkan penetrasi
energi terbarukan di jaringan Jawa-Bali dan melalui berbagai analisis untuk
menyiapkan skema komprehensif menuju sektor energi yang lebih berkelanjutan.
Analisis awal Bank Dunia, tenaga surya berpotensi menghasilkan
300.000-515.000 lapangan kerja baru untuk Indonesia. Rencana komprehensif untuk
menghasilkan bidang pekerjaan baru bagi masyarakat yang bergantung pada
industri terkait pemanfaatan batubara akan melengkapi moratorium dalam
pembangkit listrik tenaga batubara. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa
semua bagian masyarakat mendapatkan manfaat. Untuk mendukung transisi energi,
Indonesia bisa menggunakan penerapan harga karbon dan perbaikan kerangka
peraturan untuk mendorong investasi di energi terbarukan dan efisiensi
energi. Melalui berbagai aksi ini,
Indonesia dapat memanfaatkan peluang terkait rendah karbon untuk menciptakan
pekerjaan dan pertumbuhan dengan kualitas yang lebih tinggi, memastikan bahwa
Indonesia membangun kembali secara lebih baik dari sebelumnya melalui
pemulihan hijau. Mempercepat transisi hijau
bukan hanya hal yang benar untuk dilakukan untuk melindungi manusia dan
lingkungan, transisi hijau adalah hal yang cerdas untuk dilakukan demi
ekonomi dan masa depan. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar