Sabtu, 10 Juli 2021

 

Dilema Menuju Dekarbonisasi

Dewa Putra Krishna Mahardika ;  Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Telkom

KOMPAS, 6 Juli 2021

 

 

                                                           

Sejak terjadinya revolusi industri pada abad ke-18 lapisan atmosfer menjadi tempat pembuangan karbon (CO2) secara massal. Semua industri yang menghasilkan emisi karbon dapat membuang CO2 ke atmosfer tanpa menanggung dampak dari tindakannya tersebut. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan, terjadi peningkatan kesadaran bahaya akibat penumpukan CO2 pada lapisan atmosfer.

 

Kesadaran tersebut mendorong banyak pihak menuntut agar emisi karbon dikontrol sehingga atmosfer tidak lagi menjadi tempat pembuangan massal CO2. Bentuk kesadaran global akan dampak negatif dari penumpukan CO2 di atmosfer terwujud dalam Perjanjian Paris 2015 yang disepakati oleh lebih dari 195 negara.

 

Perjanjian Paris menyepakati target untuk membatasi kenaikan pemanasan global pada tingkat 1,5-2° celsius pada 2050. Untuk mencapai target tersebut pemerintah di banyak negara telah memasang target untuk mencapai emisi CO2 pada tingkat nol (dekarbonisasi).

 

Ekonomi hijau dan kebutuhan logam

 

Pemerintah Indonesia juga telah menetapkan 2060 sebagai tahun untuk mencapai target dekarbonisasi. Proses dekarbonisasi menuntut pemerintah untuk menjalankan beragam kebijakan seperti pajak karbon dan perdagangan karbon guna mengontrol tingkat emisi karbon ke atmosfer.

 

Kebijakan itu pada dasarnya akan membuat penggunaan energi yang berasal dari bahan bakar fosil akan semakin mahal sehingga mendorong industri dan masyarakat beralih pada energi terbarukan yang tak menghasilkan emisi karbon.

 

Transisi dari ekonomi coklat (yang bergantung pada bahan bakar fosil) menuju ekonomi hijau (yang bergantung pada bahan bakar terbarukan) memerlukan pengembangan teknologi hijau (seperti baterai mobil, panel surya, dan penyimpanan energi) guna memanfaatkan sinar matahari, angin dan minyak nabati sebagai bahan untuk menghasilkan energi.

 

Namun, disadari atau tidak, proses transisi tersebut menuntut peningkatan dalam ketersediaan logam mineral yang digunakan sebagai komponen dalam pembuatan teknologi hijau. Berdasarkan laporan Bank Dunia 2020 disebutkan terdapat 17 logam mineral yang berperan sangat penting bagi pengembangan teknologi hijau.

 

Beberapa logam tersebut antara lain graphite, lithium, indium, nikel dan vanadium. Tuntutan untuk mencapai target dekarbonisasi yang telah dicanangkan oleh pemerintah di beragam negara membuat “perlombaan” dalam mengejar target dekarbonisasi.

 

Perlombaan tersebut akan meningkatkan permintaan atas 17 logam yang pada akhirnya mendorong terjadinya peningkatan aktivitas penambangan. Peningkatan aktivitas penambangan dapat dihindari jika kondisi sirkular ekonomi dapat tercapai sebelum 2050.

 

Dalam sirkular ekonomi proses daur ulang memainkan peran penting dan melalui proses ini permintaan atas logam mineral dapat dikurangi karena kebutuhan logam mineral sebagian akan dipenuhi dari proses daur ulang. Namun, dalam jangka pendek kondisi sirkular ekonomi sepertinya belum dapat tercapai sehingga target dekarbonisasi pada 2050 masih menggantungkan pada aktivitas penambangan.

 

Dengan kata lain, dalam proses dekarbonisasi aktivitas penambangan masih memainkan peran penting untuk menyediakan logam mineral sebagai komponen penting dalam teknologi hijau.

 

Peningkatan aktivitas penambangan dapat ditempuh melalui peningkatan pengolahan mineral pada tambang yang sudah beroperasi dan melalui penemuan tambang baru.

 

Penambangan dasar laut

 

Penambangan mineral selama ini hanya terjadi pada wilayah daratan, namun saat ini wilayah dasar laut juga mulai dilirik karena adanya potensi cadangan mineral yang besar pada bebatuan di dasar laut karena bebatuan di wilayah dasar laut memiliki kandungan mineral yang lebih tinggi dari bebatuan di wilayah darat.

 

Walau sampai saat ini penambangan mineral skala besar di wilayah laut belum terjadi, beberapa pihak telah mulai merancang aktivitas penambangan mineral di wilayah dasar laut. Penambangan mineral di dasar laut memiliki risiko lingkungan yang saat ini belum diketahui dampaknya secara pasti dalam jangka panjang karena banyaknya spesies di dasar laut yang belum diidentifikasi.

 

Namun, yang pasti kegiatan pertambangan di dasar laut akan menyebabkan gangguan pada ekosistem di dasar laut akibat kehadiran cahaya lampu dan kebisingan yang berasal dari aktivitas penambangan. Satu hal yang mengkhawatirkan dari gangguan ini adalah kondisi mikroba pada dasar laut yang memiliki kemampuan menyerap CO2.

 

Gangguan yang dialami mikroba akibat kegiatan penambangan dikhawatirkan justru akan melepas CO2 ke atmosfer dan akan mengganggu rantai pasokan makanan bagi ekosistem laut. Jika kondisi ini terjadi maka usaha untuk menurunkan emisi karbon justru akan menaikkan emisi karbon.

 

Usaha untuk membuka tambang baru di wilayah daratan juga mendapat pertentangan akibat dampak negatif dari limbah yang dihasilkan dari aktivitas penambangan, seperti penolakan dari masyarakat lokal untuk membuka tambang di wilayah Greenland yang memiliki kandungan cadangan mineral yang melimpah.

 

Kasus kegagalan operasi yang menyebabkan pencemaran lingkungan akibat tumpahan limbah juga membuat usaha untuk memperluas penambangan di wilayah darat mendapat pertentangan. Seperti pada kasus kegagalan operasi pabrik pengolahan nikel di Papua Niugini pada 2019 yang menyebabkan tumpahan lumpur merah ke laut.

 

Dilematis

 

Dampak negatif dari aktivitas penambangan di wilayah dasar laut yang lebih tinggi dibanding di wilayah darat, membuat beberapa perusahaan raksasa teknologi, yang produknya bergantung pada ketersediaan logam mineral, tidak bersedia untuk menggunakan logam mineral yang diperoleh dari penambangan dasar laut.

 

Dengan kondisi dilema seperti ini maka harus dipikirkan bagaimana memenuhi kebutuhan logam mineral yang diperlukan dalam proses dekarbonisasi tanpa harus merusak kondisi ekosistem. Lagi pula, apalah arti keberhasilan dalam mencapai target dekarbonisasi jika keberhasilan tersebut dicapai dengan mengorbankan ekosistem? ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar