Selasa, 13 Juli 2021

 

Revitalisasi Akar Rumput Koperasi Pertanian Indonesia

Arsiya Isrina Wenty Octisdah ;  Alumni Wageningen University and Research, the Netherlands

KOMPAS, 12 Juli 2021

 

 

                                                           

“Cooperative is a combination of a social entity and a business firm” (Bijman & Hendrikse 2003)

 

Tujuh dekade berlalu sejak Bung Hatta menyampaikan pidatonya melalui radio untuk memperingati Hari Koperasi Pertama (12 Juli 1951), Indonesia masih menghadapi tantangan serupa. Berdasarkan naskah pidato dalam buku yang diterbitkan ulang oleh Kompas, berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (2015), Bung Hatta menyampaikan tujuh tugas yang harus dikerjakan koperasi (pertanian), yaitu memperbanyak produksi, memperbaiki kualitas barang yang dihasilkan, memperbaiki distribusi, menyingkirkan sistem lintah darat, memperkuat modal anggota, dan mendorong setiap desa mengaktifkan kembali lumbung desa. Jika kita renungkan, secara fungsional koperasi merupakan entitas sosial dan bisnis.

 

Sayangnya, tugas ini dipersempit makna dan pelaksanaannya, ketika koperasi pertanian digunakan hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam penyaluran sarana produksi pertanian. Bahkan dalam berbagai kesempatan menjadi kendaraan politik (political vehicle) untuk melanggengkan kekuasaan. Koperasi pertanian sekadar menjalankan peran sosial untuk menyalurkan bantuan. Namun, kehilangan peran penting sebagai badan hukum resmi (legal entity) untuk mengembangkan bisnis pertanian.

 

Tantangan koperasi pertanian di Indonesia mencakup tiga ranah, yaitu tata kelola kelembagaan (cooperative governance), manajemen keuangan, dan pengembangan usaha. Mayoritas bantuan dan pendampingan pemerintah dan lembaga non-pemerintah fokus pada peningkatan produktivitas bahan baku pertanian dan kelembagaan. Sehingga, peran koperasi pertanian serupa dengan tengkulak dan pengepul, yaitu mengumpulkan dan menjual bahan baku. Usaha seperti ini keuntungannya tidak mampu membiayai operasional koperasi terutama untuk memperbaiki tata kelola kelembagaan dan sumber daya manusianya. Seharusnya, koperasi diarahkan untuk mampu menjalankan usaha pengolahan sebagai upaya hilirisasi produk pertanian.

 

Pengembangan usaha koperasi

 

Koperasi akan sulit memperbaiki tata kelola organisasi dan SDM jika usaha yang dijalankan tidak menghasilkan manfaat dan keuntungan yang jelas, terutama untuk petani anggota. Jadi, akar permasalahan yang perlu diselesaikan di awal adalah membantu para petani anggota untuk menyusun, merancang, dan memiliki usaha yang layak, yang memberikan nilai tambah produk pertaniannya. Usaha yang dijalankan ini harus mampu memenuhi skala ekonomi, jika tidak keuntungan usaha akan habis untuk biaya produksi.

 

Nantinya, peran koperasi tidak hanya sebagai penyediaan sarana produksi pertanian yang menjual bahan baku. Namun, memiliki pabrik pengolahan (usaha koperasi) yang memberikan nilai tambah bagi produk pertanian anggotanya. Setelah usaha koperasi layak (feasible) dan menguntungkan, akan lebih mudah untuk meningkatkan komitmen anggota, memperbaiki tata kelola kelembagaan, dan meningkatkan SDM internal koperasi.

 

Meningkatkan simpanan wajib

 

Mengembangkan usaha pengolahan membutuhkan modal yang tidak kecil, sehingga modal internal koperasi harus ditingkatkan. Simpanan wajib petani anggota harus disesuaikan dengan total investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan usaha koperasi. Para petani anggota diarahkan untuk menjadi pemilik (user-owned), pengelola (user-controlled), dan pengguna (user-benefit) atas usaha koperasi. Simpanan wajib harus diikuti dengan kewajiban dan hak; petani wajib menyetor sejumlah produk pertanian yang telah disepakati dan berhak mendapatkan harga stabil dan sisa hasil usaha sesuai transaksinya dengan koperasi (patronage refund).

 

Nilai simpanan wajib yang besar ini memiliki implikasi positif terhadap sense of belonging anggota atas usaha koperasi, sekaligus meningkatkan komitmen anggota dan meminimalisir free rider. Anggota tidak akan menjual hasil panennya ke selain koperasi (side selling) karena mereka merasa bertanggung jawab atas keberlangsungan usaha miliknya. Selain itu, mereka juga mendapatkan manfaat langsung terutama dalam bentuk kepastian harga produk pertanian, yang merupakan bahan baku dari usaha pengolahan koperasi. Singkat kata, koperasi menjalankan perannya dari hulu ke hilir.

 

Pada praktiknya, modal internal koperasi melalui simpanan wajib mungkin tidak akan 100 persen mampu mendanai investasi usaha koperasi. Oleh karena itu, perlu ada skema pemodalan dari luar (external capital). Pembagian persentasenya disesuaikan dengan kemampuan koperasi dalam menyediakan modal penyertaan, yang ideal adalah 30 persen modal internal dan 70 persen pinjaman eksternal.

 

Dengan skema ini, petani anggota dapat menikmati laba dari investasi pabrik pengolahan koperasi. Jika pemodalannya 100 persen didanai pihak luar, laba yang dihasilkan akan banyak dinikmati oleh pemberi pinjaman ketimbang koperasi sebagai produsen.

 

Manajemen produksi bahan baku

 

Koperasi harus mampu memberikan harga terbaik yang stabil ke anggota, minimal sedikit di atas harga pasar. Hal ini akan sulit diraih jika anggota masih melakukan usaha pertaniannya sendiri-sendiri, tanpa koordinasi. Perlu ada manajemen produksi bahan baku di tingkat petani anggota. Harus ada jadwal budidaya untuk dapat menjaga kualitas dan kuantitas hasil pertanian, yang jumlahnya disesuaikan dengan kapasitas pabrik pengolahan milik koperasi.

 

Selain itu, manajemen ini dapat menghindari panen raya yang cenderung merugikan petani. Petani tidak lagi berhadapan langsung dengan harga di pasar bebas, karena koperasi sudah berperan sebagai buffer bagi anggotanya.

 

Dikelola tim profesional

 

Yang sering menjadi perdebatan adalah apakah SDM petani mampu menjalankan usaha skala besar? Itulah sebabnya petani harus berkoperasi (collective action) dan berinvestasi dalam bentuk simpanan wajib yang signifikan, agar mampu membiayai operasional usaha koperasi, salah satunya mempekerjakan tim profesional dalam mengelola usaha koperasi. Petani tidak bisa dipaksa untuk paham manajemen, pemasaran, dan penjualan. Petani anggota cukup fokus pada aktivitas budidaya (on farm) dan tata kelola koperasi, sedangkan pengelola usaha koperasi (off farm) diserahkan kepada tim profesional yang ditunjuk oleh koperasi.

 

Pemerintah sudah menjalankan sejumlah aksi afirmatif melalui UU dan kebijakan, serta program pendampingan dan pemberdayaan. Revitalisasi seperti ini tidak akan berhasil jika tidak ada perbaikan di level petani (grass root), semua pihak harus bekerja sama untuk dapat mengembalikan dan meningkatkan peran serta fungsi koperasi ke jalan yang benar. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar