Revitalisasi
Akar Rumput Koperasi Pertanian Indonesia Arsiya Isrina Wenty Octisdah ; Alumni Wageningen University and Research,
the Netherlands |
KOMPAS, 12 Juli 2021
“Cooperative
is a combination of a social entity and a business firm” (Bijman & Hendrikse 2003) Tujuh dekade berlalu sejak
Bung Hatta menyampaikan pidatonya melalui radio untuk memperingati Hari
Koperasi Pertama (12 Juli 1951), Indonesia masih menghadapi tantangan serupa.
Berdasarkan naskah pidato dalam buku yang diterbitkan ulang oleh Kompas,
berjudul Membangun Koperasi dan Koperasi Membangun (2015), Bung Hatta
menyampaikan tujuh tugas yang harus dikerjakan koperasi (pertanian), yaitu
memperbanyak produksi, memperbaiki kualitas barang yang dihasilkan,
memperbaiki distribusi, menyingkirkan sistem lintah darat, memperkuat modal
anggota, dan mendorong setiap desa mengaktifkan kembali lumbung desa. Jika
kita renungkan, secara fungsional koperasi merupakan entitas sosial dan bisnis. Sayangnya, tugas ini
dipersempit makna dan pelaksanaannya, ketika koperasi pertanian digunakan
hanya sebagai perpanjangan tangan pemerintah dalam penyaluran sarana produksi
pertanian. Bahkan dalam berbagai kesempatan menjadi kendaraan politik (political
vehicle) untuk melanggengkan kekuasaan. Koperasi pertanian sekadar
menjalankan peran sosial untuk menyalurkan bantuan. Namun, kehilangan peran
penting sebagai badan hukum resmi (legal entity) untuk mengembangkan bisnis
pertanian. Tantangan koperasi pertanian
di Indonesia mencakup tiga ranah, yaitu tata kelola kelembagaan (cooperative
governance), manajemen keuangan, dan pengembangan usaha. Mayoritas bantuan
dan pendampingan pemerintah dan lembaga non-pemerintah fokus pada peningkatan
produktivitas bahan baku pertanian dan kelembagaan. Sehingga, peran koperasi
pertanian serupa dengan tengkulak dan pengepul, yaitu mengumpulkan dan
menjual bahan baku. Usaha seperti ini keuntungannya tidak mampu membiayai
operasional koperasi terutama untuk memperbaiki tata kelola kelembagaan dan
sumber daya manusianya. Seharusnya, koperasi diarahkan untuk mampu
menjalankan usaha pengolahan sebagai upaya hilirisasi produk pertanian. Pengembangan
usaha koperasi Koperasi akan sulit
memperbaiki tata kelola organisasi dan SDM jika usaha yang dijalankan tidak
menghasilkan manfaat dan keuntungan yang jelas, terutama untuk petani
anggota. Jadi, akar permasalahan yang perlu diselesaikan di awal adalah
membantu para petani anggota untuk menyusun, merancang, dan memiliki usaha yang
layak, yang memberikan nilai tambah produk pertaniannya. Usaha yang
dijalankan ini harus mampu memenuhi skala ekonomi, jika tidak keuntungan
usaha akan habis untuk biaya produksi. Nantinya, peran koperasi
tidak hanya sebagai penyediaan sarana produksi pertanian yang menjual bahan
baku. Namun, memiliki pabrik pengolahan (usaha koperasi) yang memberikan
nilai tambah bagi produk pertanian anggotanya. Setelah usaha koperasi layak
(feasible) dan menguntungkan, akan lebih mudah untuk meningkatkan komitmen
anggota, memperbaiki tata kelola kelembagaan, dan meningkatkan SDM internal
koperasi. Meningkatkan
simpanan wajib Mengembangkan usaha
pengolahan membutuhkan modal yang tidak kecil, sehingga modal internal
koperasi harus ditingkatkan. Simpanan wajib petani anggota harus disesuaikan
dengan total investasi yang dibutuhkan untuk mengembangkan usaha koperasi.
Para petani anggota diarahkan untuk menjadi pemilik (user-owned), pengelola
(user-controlled), dan pengguna (user-benefit) atas usaha koperasi. Simpanan
wajib harus diikuti dengan kewajiban dan hak; petani wajib menyetor sejumlah
produk pertanian yang telah disepakati dan berhak mendapatkan harga stabil
dan sisa hasil usaha sesuai transaksinya dengan koperasi (patronage refund). Nilai simpanan wajib yang besar
ini memiliki implikasi positif terhadap sense of belonging anggota atas usaha
koperasi, sekaligus meningkatkan komitmen anggota dan meminimalisir free
rider. Anggota tidak akan menjual hasil panennya ke selain koperasi (side
selling) karena mereka merasa bertanggung jawab atas keberlangsungan usaha
miliknya. Selain itu, mereka juga mendapatkan manfaat langsung terutama dalam
bentuk kepastian harga produk pertanian, yang merupakan bahan baku dari usaha
pengolahan koperasi. Singkat kata, koperasi menjalankan perannya dari hulu ke
hilir. Pada praktiknya, modal
internal koperasi melalui simpanan wajib mungkin tidak akan 100 persen mampu
mendanai investasi usaha koperasi. Oleh karena itu, perlu ada skema pemodalan
dari luar (external capital). Pembagian persentasenya disesuaikan dengan
kemampuan koperasi dalam menyediakan modal penyertaan, yang ideal adalah 30
persen modal internal dan 70 persen pinjaman eksternal. Dengan skema ini, petani
anggota dapat menikmati laba dari investasi pabrik pengolahan koperasi. Jika
pemodalannya 100 persen didanai pihak luar, laba yang dihasilkan akan banyak
dinikmati oleh pemberi pinjaman ketimbang koperasi sebagai produsen. Manajemen
produksi bahan baku Koperasi harus mampu
memberikan harga terbaik yang stabil ke anggota, minimal sedikit di atas
harga pasar. Hal ini akan sulit diraih jika anggota masih melakukan usaha
pertaniannya sendiri-sendiri, tanpa koordinasi. Perlu ada manajemen produksi
bahan baku di tingkat petani anggota. Harus ada jadwal budidaya untuk dapat menjaga
kualitas dan kuantitas hasil pertanian, yang jumlahnya disesuaikan dengan
kapasitas pabrik pengolahan milik koperasi. Selain itu, manajemen ini
dapat menghindari panen raya yang cenderung merugikan petani. Petani tidak
lagi berhadapan langsung dengan harga di pasar bebas, karena koperasi sudah
berperan sebagai buffer bagi anggotanya. Dikelola
tim profesional Yang sering menjadi
perdebatan adalah apakah SDM petani mampu menjalankan usaha skala besar?
Itulah sebabnya petani harus berkoperasi (collective action) dan berinvestasi
dalam bentuk simpanan wajib yang signifikan, agar mampu membiayai operasional
usaha koperasi, salah satunya mempekerjakan tim profesional dalam mengelola
usaha koperasi. Petani tidak bisa dipaksa untuk paham manajemen, pemasaran,
dan penjualan. Petani anggota cukup fokus pada aktivitas budidaya (on farm)
dan tata kelola koperasi, sedangkan pengelola usaha koperasi (off farm)
diserahkan kepada tim profesional yang ditunjuk oleh koperasi. Pemerintah sudah
menjalankan sejumlah aksi afirmatif melalui UU dan kebijakan, serta program
pendampingan dan pemberdayaan. Revitalisasi seperti ini tidak akan berhasil
jika tidak ada perbaikan di level petani (grass root), semua pihak harus
bekerja sama untuk dapat mengembalikan dan meningkatkan peran serta fungsi
koperasi ke jalan yang benar. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar