Sabtu, 10 Juli 2021

 

Lawan Preman, Tegakkan Wibawa Negara

Elias Situmorang ;  Direktur Rumah Pembinaan Fransiskan Nagahuta, Sumut

KOMPAS, 4 Juli 2021

 

 

                                                           

Rabu (9/6/2021) dari Pelabuhan Tanjung Priok, Presiden Joko Widodo memberi instruksi kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo untuk menumpas habis para pemalak atau preman yang sering membuat gusar para sopir kontainer. Instruksi Presiden langsung ditanggapi Kapolri dengan menurunkan pasukan untuk menangkap preman. Perhatian Presiden menjadi harapan besar bahwa polisi benar mau melindungi masyarakat dengan menindak tegas para preman.

 

Preman merupakan bagian dari gejala premanisme di setiap kota. Kegiatan mereka bermacam-macam, yang paling umum ialah memungut uang dari restoran-restoran dan toko-toko sepanjang jalan, uang keamanan apabila ada bangunan baru dan jalan. Tidak hanya itu, mereka juga memungut uang dari para pedagang kaki lima dan para sopir angkutan kota dan truk. Kegiatan ini sangat meresahkan dan merugikan orang yang mati-matian bekerja.

 

The Asian Foundation melakukan penelitian 20 tahun lalu di 200 daerah, terdiri dari 156 kabupaten dan 44 kota dengan data primer 5.140 pengusaha daerah, nasional, dan asing. Dari penelitian itu diketahui bahwa 85 persen responden mengaku harus mengeluarkan ”biaya tak resmi”. Biaya itu meliputi banyak hal, salah satunya adalah untuk preman. Bukan hanya pengusaha atau pedagang yang harus berurusan dengan preman, tetapi juga para pengemudi bus dan truk (Kompas, 13 Januari 2003).

 

Mengukur kekuatan preman

 

Jika kekuatan preman telah mencapai titik kekuatan yang besar, ia dapat menimbulkan ancaman serius bagi pengusaha dan negara. Pemerintah yang berkomitmen mau melindungi masyarakat tentu saja tidak mau begitu saja memberi konsesi. Maka, terjadilah adu kekuatan. Sering terjadi, meskipun polisi adalah aparat negara yang sah, tidak berdaya di hadapan kelompok preman. Adakalanya kelompok preman bertindak sangat nekat dengan membawa golok dan celurit serentak tiba-tiba mereka menyerang petugas. Sulit juga untuk menggulung preman-preman yang galak-galak dan ganas itu. Polisi biasanya akan kewalahan menghadapi mereka, bahkan tak bisa terseret dalam ”lingkaran” preman.

 

Demikian pula para pengusaha. Mereka sebetulnya harus berpaling kepada polisi untuk minta perlindungan melawan para preman. Tetapi, ketika polisi juga tidak berdaya melawan preman, tak jarang para pengusaha pun memilih bekerja sama dengan preman. Para pengusaha memakai jasa preman untuk menjaga keamanan perusahaan mereka, termasuk untuk mengusir buruh yang berunjuk rasa. Jadi, kalau para buruh melakukan tuntutan yang aneh, panggil saja preman untuk membubarkan mereka (I Wibowo, ”Negara Bukan Milik Preman”, dalam Basis Nomor 01-02 Tahun Ke-56, Januari 2007).

 

Dari mana datangnya preman? Mengapa jumlah preman tak pernah bisa berkurang? Tentu jawaban yang segera muncul adalah akibat kemiskinan. Seperti halnya mereka yang menjadi pelacur, karena kemiskinan memaksa mereka untuk menempuh jalan yang tidak halal ini. Mereka memerlukan uang untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling dasar, tetapi karena mereka tidak memiliki pekerjaan, maka menjadi preman menjadi pilihan akhir. Belum ada survei soal ini, tetapi dapat ditebak bahwa para ”preman jalanan” yang bergerak di jalan-jalan, mendatangi toko-toko dan pabrik-pabrik mengutip uang yang tidak banyak. Uang itu tidak untuk mereka sendiri, tetapi sebagian mereka setor kepada ”bos”.

 

Preman, kata Mancur Olson, dapat muncul dari sebuah situasi transisi politik. Dengan mengangkat kasus Rusia, Olson menjelaskan siapa itu preman dalam bukunya, Power and Prosperity (2000). Dijelaskan, ketika Rusia masih dikuasai rezim komunis, yang berkuasa adalah stationary bandit.

 

Stationary bandit merupakan jenis bandit yang tidak akan menjarah habis wilayahnya karena mereka tahu bahwa kelangsungan hidup mereka bergantung pada usaha orang-orang yang hidup di wilayah itu. Artinya, kalau mereka menghabiskan usaha orang di sekitar wilayahnya, bukan hanya orang-orang itu yang tewas, mereka sendiri pun akan ikut tewas. Karena itu, para bandit ini tidak menguras habis usaha penduduknya.

 

Hal ini berbeda dengan roving bandits yang menguras habis sebuah wilayah yang dia datangi karena mereka tidak hidup di wilayah itu. Tentu saja bandit jenis ini lebih kejam dari stationary bandit.

 

Ketika rezim otoriter (Uni Soviet) bubar, wilayahnya terpecah-pecah, stationary bandit digantikan oleh bandit-bandit yang lebih kecil yang menjadi roving bandit. Kalau pada masa otoriter mereka takut kepada ”bos” besar, bandit-bandit ini tidak lagi terikat pada pada siapa pun, bebas bergerak sesuka hati mereka. Mereka kini bebas berkeliaran di seluruh negeri mengincar mangsa mereka.

 

Pengalaman Indonesia tidak terlalu jauh dibandingkan dengan pengalaman Rusia tersebut. Selama 32 tahun Indonesia di bawah rezim penguasa tunggal, lalu tiba-tiba mengalami keruntuhan rezim itu. Para preman yang dulu tergantung pada satu preman besar berguguran dan menyelamatkan hidup mereka sendiri-sendiri. Mereka ini tentu saja bukan preman-preman jalanan, tapi ”preman berdasi”. Kalau semula hanya ada satu preman besar dengan beberapa preman yang menempel pada si preman besar, kini ada ratusan, bahkan ribuan preman berdasi.

 

Kemiskinan dan liberasasi politik secara tiba-tiba telah menimbulkan ledakan preman. Preman jalanan akibat kemiskinan dan pengangguran akan dipakai oleh preman berdasi yang baru lepas dari preman besar. Mereka membangun sebuah jaringan baru. Atas dasar jaringan inilah mereka beroperasi baik di tingkat lokal maupun nasional.

 

Situasi ini diperparah oleh demokrasi ataupun sistem otonomi daerah. Misalnya, untuk memenangkan sebuah partai diperlukan uang dalam jumlah yang amat besar. Dan pemerintah daerah yang tidak mendapat subsidi dari pemerintah pusat terpaksa memutar otaknya untuk mengisi kasnya dengan cara legal ataupun ilegal. Nah, ketika partai-partai menyadari bahwa mereka membutuhkan banyak uang, begitu juga pemerintah daerah, mereka pun berperilaku seperti roving bandits.

 

Tegakkan wibawa polisi

 

Berbicara soal preman mungkin masyarakat Sumatera Utara yang paling langsung mengalaminya. Tahun 2000, saat Kapolda Sumut dijabat oleh Irjen Sutanto, beliau memanggil kepala preman Medan yang dikenal sebagai kepala preman dan perjudian di Sumut. Tapi, panggilan Kapolda dilecehkan dengan mengirim utusan. Tindakan ini membuat Sutanto geram, tetapi apa daya tidak lama kemudian Irjen Sutanto dipindahkan menjadi Kapolda Jawa Tengah.

 

Tahun 2005, Jenderal Sutanto diangkat menjadi Kapolri dan saat menjabat Kapolri dengan kekuatan penuh, ”gedung putih” yang merupakan markas besar kepala preman Medan diberondong dengan senjata oleh pasukan Brimob. Bisnis judi dibabat habis dan segala kegiatan premanisme berhenti. Si kepala preman yang sangat ditakuti masyarakat dan juga pejabat dan digelari godfather bersembunyi lari kocar-kacir bersembunyi ke Singapura dan semua kegiatan perjudian yang dipimpinya berhenti.

 

Suasana aman. Ibu-ibu lega dan banyak suami menjadi sehat karena mereka tidur teratur di rumah, masyarakat dapat beraktivitas dengan aman. Tapi, setelah Jenderal Sutanto tidak lagi menjadi Kapolri, suasana kembali seperti sediakala. Intinya, kalau ada niat baik dan tegas dari pimpinan puncak kepolisian, maka sehebat apa pun kekuatan preman dan kelompok-kelompoknya akan dapat dibabat habis.

 

Munculnya kelompok-kelompok yang dapat memaksa masyarakat dengan memakai kekerasan dengan sendirinya bertentangan dengan hakikat negara. Mereka berhasil menaklukkan dan mengalahkan negara, lalu membuat negara tidak berkutik.

 

Dalam kasus-kasus preman di kota-kota besar, dengan terang-terangan mereka berani melawan aparat negara. Maka, sering terjadi polisi tidak berani menghentikan dan membiarkan saja tindak kekerasan yang dilakukan oleh preman-preman. Ketidakberdayaan polisi seperti itu memang sangat tidak normal pada sebuah negara modern.

 

Di negara-negara maju, semua harus taat kepada aparat negara (polisi). Ketika polisi mengadakan penangkapan, tidak ada seorang pun yang boleh melawan. Dalam hal ini kita boleh memperhatikan film-film Amerika tentang polisi. Begitu seorang polisi memperlihatkan identitasnya, orang harus menyerah. Setiap perlawanan kepada polisi dikenai hukuman karena perlawanan itu berarti perlawanan kepada negara.

 

Tumbuhkan keberanian dan keyakinan dalam diri setiap polisi bahwa di belakang masih ada negara. Polisi sebagai aparat negara memang harus mempunyai kewibawaan seperti itu. Kalau preman dibiarkan berkuasa dan merajalela, maka negara ini akan hancur. Preman mesti dibasmi supaya mereka tahu menghargai nilai kerja.

 

Manusia bekerja dengan sendirinya akan mengembangkan kemampuannya, untuk mengatasi kesulitan, merealisasikan diri, dan menyesuaikan hidup dengan kehendak Sang Pencipta. Manusia atau seseorang akan terbentuk oleh pekerjaan yang dilakukannya, maka atas dasar inilah kerja menjadi bagian budaya. Sementara nilai kerja membuat manusia survive dalam dunia yang menantang. Orang harus bekerja untuk memenangi perjuangan dalam hidup kesehariannya.

 

Kerja manusia memiliki dimensi personal dan pengungkapan jati diri. Dengan bekerja manusia bukan hanya mentransformasikan alam, tetapi juga sekaligus dengannya manusia mencapai kepenuhan dirinya sebagai manusia yang bermartabat dan berbudi luhur. Karena itulah, hasil dan proses kerja tidak bisa dipisahkan begitu saja dari pekerja itu sendiri. Kerja berdimensi sosial.

 

Manusia tidak mencapai kepenuhan hidupnya dengan menjadi preman, tetapi dalam pengalaman dan kesalingtergantungan dalam hidup sosial. Manusia yang berbeda kemampuan dan kepentingan berpadu menata hidup bermasyarakat. Selamat menjalankan tugas, pak polisi. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar