Demokrasi
Berkelanjutan Azyumardi Azra ; Profesor UIN Jakarta; Advisor CIS Hamad bin
Khalifa University, Qatar |
KOMPAS, 8 Juli 2021
“What
makes democracy sustainable? Normatively desirable and politically desired
effects such as economic growth, material security, freedom from arbitrary
violence and other factors conducive for full development of individual … and
society" (Sustainable
Democracy, 1995/2004). Kenapa kini perlu bicara
tentang demokrasi berkelanjutan (sustainable democracy)? Apakah demokrasi
dewasa ini terancam tidak berkelanjutan? Apa alasan dan nalar di balik tema
ini? Istilah dan konsep
sustainable democracy menemukan popularitas lebih dari seperempat abad lalu
(1995), ketika 21 ilmuwan sosial dalam empat disiplin ilmu akademis dari 11
negara menerbitkan laporan bersama. Meski laporan yang ditulis Adam
Przeworski et al berjudul "Sustainable Democracy" kini sudah
klasik, berbagai argumennya tentang demokrasi berkelanjutan tetap relevan
dewasa ini dan ke depan. Laporan ini mengkaji
tentang apa dan bagaimana langkah membangun demokrasi berkelanjutan di
negara-negara demokrasi baru di Amerika Latin dan Eropa Timur. Selanjutnya,
demokrasi juga diadopsi kian banyak negara lain seperti Indonesia. Tetapi
kini masa depan demokrasi berkelanjutan menjadi tanya besar. Secara substantif, laporan
tersebut jelas masih relevan dengan negara-negara demokrasi relatif baru
termasuk Indonesia. Juga relevan dengan negara-negara yang gagal membangun
demokrasi—apalagi berkelanjutan—seperti negara-negara Arab yang mengalami
‘Arab Spring’, transisi dari otoritarianisme menuju demokrasi. Laporan Sustainable
Democracy menyatakan, ada beberapa prasyarat agar demokrasi dapat
berkelanjutan. Di antara prasyarat itu adalah kondisi politik dan sosial yang
bebas, dan ekonomi yang bertumbuh baik. Hanya dengan kondisi kondusif dalam
politik, sosial dan ekonomi dapat terbina demokrasi berkelanjutan. Prasyarat lain,
pemerintahan demokrasi harus senantiasa mengembangkan iklim dan suasana
kewargaan demokratis yang membuat masyarakat sipil dinamis. Hanya dengan
kewargaan demokratis, demokrasi bisa menguat dan berkelanjutan. Hanya demokrasi
berkelanjutan dapat menjamin partisipasi kontinu warga dalam pembangunan
ekonomi yang pada gilirannya juga berkelanjutan untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Demokrasi tidak bisa berkelanjutan jika warga tidak
sejahtera alias terbenam dalam kemiskinan dan ketidakadilan sosial-ekonomi. Perkembangan di banyak
negara menyangkut demokrasi beberapa tahun terakhir mencemaskan dapat
terbentuknya demokrasi berkelanjutan. Banyak lembaga advokasi demokrasi di
tingkat global, regional dan nasional serta aktivis demokrasi cemas dengan
gejala yang membuat demokrasi genuine terancam kehilangan relevansi dan masa
depan. Oleh karena itu, perlu
peningkatan pencermatan dan kewaspadaan terhadap berbagai gejala dan
kecenderungan yang mengancam demokrasi berkelanjutan. Dari situ selanjutnya
bisa dilakukan gerakan dan program aksi untuk rejuvenasi dan revitalisasi
demokrasi agar dapat tumbuh dan menguat berkelanjutan. Meminjam kerangka argumen
Sustainable Democracy, dengan prihatin harus dinyatakan, masa depan demokrasi
berkelanjutan kini tidak seindah yang pernah dibayangkan banyak kalangan.
Sejumlah perkembangan yang terjadi, menghadirkan keadaan tidak kondusif bagi
demokrasi berkelanjutan. Lihatlah wabah Covid-19
yang masih merajalela menjelang dua tahun—belum bisa diprediksi entah sampai
kapan—terlihat mengancam demokrasi berkelanjutan. Wabah Covid-19 ternyata
memberi peluang besar peningkatan otoritarianisme di banyak negara. Banyak pemerintah di
negara-negara demokrasi atas nama ‘perang’ melawan Covid-19 mengambil
keputusan dan kebijakan dengan mengabaikan prosedur demokrasi—juga termasuk
Indonesia. Banyak kebijakan tidak hanya gagal menerapkan demokrasi
prosedural, juga melanggar demokrasi substantif dan hak asasi manusia (HAM). Selain itu, atas nama
melawan Covid-19, pemerintah juga tidak menjalankan kepatutan dalam hubungan
dengan rakyat. Suara dan komplain rakyat memprotes ketidakadilan akibat
kebijakan pemerintah terkait Covid-19 juga tidak dipedulikan. Mengambil langkah dan
kebijakan non-demokratis, pemerintah Indonesia tidak terlalu berhasil atau
malah sering terlihat kedodoran. Apalagi dengan sumber daya keuangan kian
menipis walau hutang makin menggunung, pemerintah patut menghentikan
pendekatan dan cara yang melanggar demokrasi. Kembali pada demokrasi
genuine, pemerintah dapat menggalang kekuatan masyarakat sipil untuk membantu
dalam mitigasi wabah Covid-19. Tetapi pemerintah gagal berkomunikasi politik
yang baik dengan masyarakat sipil. Padahal, dengan kemampuan
menggalang dana filantropi, masyarakat sipil dapat membantu penanggulangan
kemiskinan dan pengangguran yang meningkat drastis akibat wabah korona. Lembaga-lembaga filantropi
masyarakat sipil berjasa besar membawa Indonesia ke peringkat pertama negara
dengan warga paling dermawan secara global. Sayang sekali potensi mereka
tidak diapresiasi pemerintah. Namun, sangat disayangkan
di Indonesia justru terjadi peningkatan oligarki despotik-nepotistik.
Berbagai kebijakan menyangkut kehidupan publik hampir sepenuhnya ditentukan
segelintir pejabat puncak pemerintah dan elit politik partai. Pemerintah Indonesia yang
berhasil membentuk koalisi besar dengan partai-partai di parlemen, hampir
sepenuhnya memproses dan menetapkan undang-undang dan ketentuan lain tanpa
melibatkan publik dan masyarakat sipil. Meski ada suara kritis dari kalangan
publik dan masyarakat sipil, elite pemerintahan dan politik
oligarkis-nepotistik tidak peduli. Demokrasi tidak bisa
berkelanjutan jika pemerintah dan DPR tidak mau ikhlas dan lapang dada
mendengar suara kritis. Atau kalau pun seolah mau mendengar, tapi disertai
berbagai catatan yang ujung-ujungnya seolah tidak membenarkan kritik. Padahal masih adanya suara
kritis dari masyarakat merupakan modal tersisa untuk demokrasi berkelanjutan.
Suara kritis muncul menghadapi segala resiko yang berusaha menghalangi
kebebasan beraspirasi dan berekspresi yang kian menyempit. Padahal ini adalah
salah satu prasyarat utama bagi demokrasi bisa berkelanjutan. Kembali menciptakan
keadaan dan iklim kondusif bagi tumbuhnya demokrasi berkelanjutan kini juga
merupakan salah satu tantangan utama pemerintahan Presiden Jokowi-Wakil
Presiden Ma’ruf Amin. Dalam waktu tidak terlalu
lama, sebelum berakhir masa jabatan mereka, kepemimpinan nasional ini patut
mengerahkan segala daya membangun kembali demokrasi berkelanjutan. Ini kelak
bisa menjadi legacy penting mereka dalam sejarah. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar