Visi
Mochtar tentang Indonesia Eko Sulistyo ; Sejarawan |
KOMPAS, 11 Juni 2021
Kepergian Prof Dr Mochtar
Kusumaatmadja SH LLM, adalah kehilangan besar satu pemikir sekaligus pejuang diplomasi
tangguh bagi Indonesia. Berkat kosepsinya tentang
archipelagic state yang diterima United Nations Convention on The Law of the
Sea (UNCLOS) tahun 1982, Indonesia dan negara kepulauan lain diakui memiliki
kedaulatan atas perairan kepulauannya. Keberhasilan diplomasi ini tak hanya
menempatkan Indonesia sebagai “aktor besar” di panggung internasional, tetapi
juga nama Mochtar sebagai pakar hukum internasional disegani. Penerimaan konsepsi itu
menandai babak baru perjuangan diplomasi Indonesia dalam forum internasional
yang memakan waktu hampir 25 tahun sejak Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957.
Deklarasi Djuanda sendiri merupakan konsepsi baru yang radikal tentang
Indonesia kontemporer sebagai suatu wilayah tunggal yang bersatu. Menurut
Butcher dan Elson, Sovereignty and The Sea: How Indonesia Became An
Archipelagic State, Deklarasi Djuanda mencerminkan kejelasan visi Mochtar
tentang Indonesia. Deklarasi
Djuanda Deklarasi yang
ditandatangani Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja (1957-1959) menjadi tonggak
historis yang mengakhiri diskusi panjang pemimpin Republik tentang yurisdiksi
perairan laut Indonesia. Konstitusi yang diadopsi
sehari setelah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945 tak menyebutkan
yurisdiksi atas air, selain menyatakan dalam Pasal 33 Ayat (3) bahwa
"bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat". Namun tujuan utama
deklarasi itu adalah untuk membuat perubahan pada Ordonansi Wilayah Laut dan
Pemerintahan Maritim 1939 (Ordonansi 1939) peninggalan kolonial Belanda, guna
disesuaikan dengan perkembangan zaman. Terutama masalah yurisdiksi perairan
teritorial 3 mil dan kedaulatan nasional atas zona perlindungan, konservasi,
dan pemanfaatan sumber daya laut. Sejak 1950-an, energi para pemimpin
Republik tercurah untuk merumuskan dan mengonseptualisasi perjuangan
kedaulatan maritim ini. Deklarasi yang sempat
mengagetkan dan membuat marah kekuatan maritim Barat terutama Belanda ini,
menyatakan Pemerintah RI memiliki kedaulatan mutlak atas semua perairan yang
berada di garis pangkal lurus yang ditarik di antara pulau-pulau terluar
Indonesia. Garis-garis pangkal lurus ini meliputi semua pulau yang membentuk
negara, membentuk Indonesia. Di atas entitas itu, Pemerintah RI menegaskan
kedaulatan menjadi satu wilayah tunggal untuk pertama kalinya. Sebagai tokoh sentral
penyiapan rancangan Deklarasi Djuanda, Mochtar memulai konsepsinya dengan
menjelaskan keunikan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang terdiri
dari ribuan pulau dan kepulauan sebagai entitas sejak zaman dahulu. Untuk
kesatuan teritorial dan melindungi sumber daya negara Indonesia, seluruh
Nusantara bersama laut yang ada di dalamnya harus dianggap satu unit
integral. Maka ketentuan Pasal 1
Ordonantie 1939, dianggap membatasi laut teritorial Indonesia karena membagi
wilayah darat Indonesia menjadi bagian-bagian terpisah yang memiliki perairan
teritorial sendiri. Oleh karena itu,
pemerintah menyatakan bahwa semua perairan yang mengelilingi, antara, dan
menghubungkan pulau-pulau milik negara Indonesia, tanpa memandang dimensi dan
lebarnya, merupakan bagian dari wilayah dan kedaulatan negara Indonesia.
Pemerintah RI wajib menjamin lalu lintas damai di laut dalam oleh kapal
asing, selama tidak mengancam kedaulatan negara Indonesia. Secara implisit, disebut
penentuan batas laut teritorial luasnya 12 mil diukur dari garis pangkal yang
menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau negara Indonesia. Demikian visi
Mochtar telah memberi landasan konsep bagi diplomasi Indonesia di
konferensi-konferensi dan perundingan internasional mengenai yurisdiksi
perairan laut Indonesia. Ada dua substansi penting
pemikiran Mochtar di sini. Pertama, tentang pengaturan yang memberikan
wilayah lautan Indonesia seluas mungkin yang dapat dipertahankan sesuai hukum
internasional. Kedua, dan yang terpenting, tentang karakter khusus Indonesia
sebagai negara kepulauan yang kemudian diterima sebagai prinsip archipelagic
state di UNCLOS. Dalam dokumen UNCLOS,
disebutkan “Negara Kepulauan” adalah suatu negara yang seluruhnya terdiri
dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Sedangkan
“kepulauan” adalah gugusan pulau, termasuk bagian pulau, perairan di
antaranya dan lain-lain wujud alamiah yang hubungan satu sama lainnya
demikian eratnya sebagai suatu kesatuan geografi, ekonomi dan politik".
Jelas, disini kontribusi konsepsi Mochtar tentang negara kepulauan akhirnya
menyatukan wilayah Indonesia sebagai kesatuan geografis yang utuh dengan batas-batas
terluar rangkaian kepulauan dikelilingi laut teritorial sampai jarak 12 mil
laut. Visi
Besar Kini, kita mengenang
Mochtar tak hanya sebagai Bapak Hukum Internasional Indonesia, guru besar,
dan sederet jabatan yang pernah diemban, mulai dari Menteri Kehakiman (1974-
1978) sampai Menteri Luar Negeri dua kali (1978-1988) di era Orde Baru.
Almarhum meninggalkan warisan tentang konsep Wawasan Nusantara sebagai
implementasi negara kepulauan yang diperjuangkannya. Wawasan Nusantara sendiri
merupakan konsepsi kesatuan wilayah yang mencakup kesatuan bangsa dan negara
Indonesia yang meliputi segala bidang kehidupan, yaitu politik, ekonomi,
kebudayaan, dan pertahanan dan keamanan. Bagi generasi milenial dan
para diplomat muda, pelajaran penting dari dedikasi almarhum di bidang hukum
dan diplomasi adalah menempatkan diplomasi sebagai perjuangan tanpa
meletuskan sebutir peluru. Sebagai diplomat pemikir,
almarhum tak hanya merumuskan konsep, tapi juga meletakkan visi besar
menyatukan bangsa dan memberikan kedaulatan wilayah yang utuh pada Indonesia.
Sehingga, kita dapat menikmati hasilnya seperti “merdeka kedua kali” atas
wilayah yang belum disatukan oleh Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tantangan kita hari ini
sebagai bangsa adalah mempertahankan warisannya yang telah menjadi prinsip
hukum laut internasional dan telah ditandatangani Indonesia bersama 118
negara lain. Di tengah dinamika politik internasional di kawasan dan global,
Indonesia dapat menggunakan hukum internasional ini sebagai cara penyelesaian
masalah, baik isu-isu perbatasan maupun hukum laut internasional lainnya. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar