Persoalan
Pendidikan Pancasila di Sekolah Dasar-Menengah Paul Suparno ; Dosen Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta |
KOMPAS, 01 Juni 2021
Pendidikan Pancasila di
sekolah formal sampai sekarang lebih ditekankan pada sisi kognitif,
pengetahuan. Dalam model ini siswa diajak menghafal isi Pancasila, guru
menjelaskan isi dan maksud dari sila-sila yang ada, dan setelah itu ada
ulangan atau ujian. Pendidikan atau lebih tepat pengajaran Pancasila ini
lebih menekankan pengertian dan hasil akhirnya berupa nilai ulangan atau
nilai rapor. Kelemahan pendekatan ini
adalah bisa jadi seorang siswa mendapatkan nilai rapor Pancasila 9 atau
bahkan 10, tetapi tingkah lakunya kurang menunjukkan seseorang yang
pancasilais. Misalnya, nilai pancasilanya 9, tetapi ia dalam kehidupan di
sekolah dan di masyarakat suka merendahkan teman-teman yang berbeda agama,
suku, dan status; dia tidak punya perasaan terhadap orang yang miskin dan
kecil yang meminta bantuan di pinggir jalan; kalau marah begitu sadis dan
menyakiti teman; suka tawuran; kalau jadi panitia sekolah berlaku tidak adil
pada teman, suka menuntut tetapi tidak menghargai; kalau jajan di kantin
tidak membayar; suka merusak tanaman dan membuang sampah sembarangan. Nampak
bahwa pengertiannya yang tinggi tidak memengaruhi tingkah lakunya. Kalau nilai Pancasila
diinginkan menjadi nilai karakter yang memengaruhi tingkah laku siswa dalam
kehidupannya, kiranya tekanan pembelajaran Pancasila di sekolah dasar dan menengah
perlu berganti tekanan. Bukan ditekankan pada sisi kognitif saja, tetapi
lebih ditekankan pada sisi penghayatan, sisi pelaksanaan, sisi pembiasaan. Model
alternatif Salah satu model
pendekatan pendidikan Pancasila adalah memberikan pengalaman pada siswa dan
merefleksikan pengalaman tersebut. Artinya, siswa dimasukkan dalam pengalaman
atau kejadian yang bernilaikan Pancasila agar siswa mengalami nilai itu,
merasakan, dan sesudahnya mengambil makna dari pengalaman itu. Misalnya, dalam mengajarkan
nilai ketuhanan, salah satunya adalah siswa dibantu untuk dapat menghargai
penghayatan agama atau iman orang lain. Nilai penghargaan ini kiranya akan
lebih terasa apabila siswa mengalami bahwa hidup bersama orang yang beragama
lain itu tidak mengancam dan dapat merasakan kedamaian di tengah mereka.
Maka, model pembelajarannya adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk
live in di komunitas yang beragama lain, di mana di situ ia diterima dengan
baik. Lewat merasa diterima dengan baik, apriori jeleknya pada agama orang
lain akan berkurang atau bahkan hilang. Kesempatan kemah, bermain
olahraga, bermain musik, melakukan proyek bersama dengan teman-teman yang
berbeda agama dan suku, dapat lebih membantu siswa menghargai perbedaan
karena mereka merasakan bahwa bermain dan hidup bersama yang lain itu
mendamaikan. Setelah mengalami
pengalaman tersebut, siswa dibantu untuk melakukan refleksi, melihat apa yang
berguna bagi hidupnya, apa yang membantu mereka berkembang, apa yang
ditemukan dalam kaitan dengan nilai Pancasila. Tanpa diajak refleksi,
pengalaman siswa akan kurang bermakna secara mendalam. Refleksi ini
memungkinkan siswa menyadari nilai itu lebih mendalam. Dari pengalaman,
apabila refleksinya mendalam, siswa bahkan dapat tergerak untuk mengembangkan
nilai itu dalam praktik hidupnya. Perencanaan Bila pendekatan ini mau
dilakukan, ada langkah yang perlu dibuat oleh sekolah atau guru, seperti,
pertama, mendeskripsikan arti dari setiap sila dalam Pancasila sesuai tahap
pengertian siswa. Kedua, mencarikan berbagai pengalaman atau kejadian yang
sesuai dengan nilai setiap sila yang akan dibahas. Ketiga, membantu siswa
melakukan refleksi atas pengalaman itu. Dalam refleksi yang baik,
bisa jadi siswa mengalami dorongan untuk semakin melakukan nilai yang ditemukan
tersebut dalam kehidupan selanjutnya. Dengan demikian, dia akan semakin biasa
melakukan nilai terebut. Hal yang sangat penting
juga dalam pendidikan Pancasila di sekolah adalah keteladanan guru dan
suasana sekolah. Siswa akan lebih mudah menghayati nilai Pancasila apabila
guru melakukan hal itu, apabila guru bertindak sesuai semangat Pancasila.
Misalnya, dalam mengajarkan sila pertama, guru sendiri memang menghargai
agama lain dan tidak menjelekkan agama lain. Dalam mengajarkan nilai
perikemanusiaan, guru bertindak menghargai sesama orang siapa pun mereka.
Tingkah laku guru yang nonpancasilais jelas akan membuat pendidikan nilai
Pancasila kesulitan. Selain guru adalah
lingkungan sekolah. Apakah lingkungan sekolah memang menghayati dan ditata
dengan semangat nilai Pancasila. Lingkungan yang ditata baik akan memudahkan
siswa meniru dan membiasakan diri dengan nilai itu. Tentu kita semua tahu
bahwa selain itu semua, keluarga dan lingkungan masyarakat ikut andil. Di
sini banyak persoalan karena beberapa keluarga dan masyarakat masih kurang
menerima nilai Pancasila atau bertindak yang berlawanan dengan nilai
Pancasila. Persoalan ini menjadi pemikiran kita bersama. Pada 1 Juni ini kita
memperingati kelahiran Pancasila. Peringatan yang baik adalah apabila kita
dapat mengubah tekanan pembelajaran Pancasila sehingga siswa sungguh dapat
menerapkan nilai Pancasila dalam hidup mereka. Semoga. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar