Pancasila
dalam Perbuatan Yudi Latif ; Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan
Indonesia |
KOMPAS, 03 Juni 2021
Memperingati momen
kelahiran Pancasila seperti mengenakan baju kebesaran secara terbalik. Bangsa
Indonesia boleh bangga memiliki konsepsi ideologi Pancasila dengan visi dan
relevansi yang senantiasa aktual dengan perkembangan zaman. Namun,
operasionalisasi konsepsi Pancasila itu dalam penyelenggaraan negara dan
kehidupan berbangsa sepertinya kian jauh panggang dari api. Gerak politik kita ke masa
depan sekadar mengikuti irama rutinitas. Tak ada kejelasan visi, peta jalan,
dan haluan. Tak terbangun keandalan tata nilai, tata kelola, dan tata
sejahtera. Setiap saat kapal republik bisa dicegat dan dibelokkan arahnya.
Diskusi publik dilumpuhkan fiksi politik, perwakilan bermutu disisihkan
keterpilihan semu, pemerintahan hukum dilumpuhkan oleh personalisasi
kekuasaan. Untuk mengeluarkan bahtera
republik dari situasi limbung, sebuah negara memerlukan strategi yang dapat
menghubungkan secara proporsional antara tujuan (ends) dan sarana (means),
antara aspirasi dan kapabilitas. Dalam usaha itu, kita perlu memulihkan
kembali kejelasan dan keajekan visi, yang memberi prinsip dan haluan direktif
berjangka panjang, tanpa kehilangan daya fleksibilitas untuk dapat merespons
berbagai ancaman dan perkembangan yang terus berubah. Jalan ke arah itu harus
dimulai dari kejujuran untuk menerima kenyataan. Kita tidak bisa menutup mata
akan kebenaran dan kenyataan adanya berbagai krisis yang merongrong kehidupan
bangsa. Kita tidak bisa bersikap tenang-tenang saja, seolah-olah keadaan
bangsa ini baik-baik saja, tak ada masalah yang merisaukan. Selain krisis
perekonomian, kita juga dihadapkan pada ancaman lima macam krisis yang
ditengarai oleh Bung Karno pada tahun 1952. Pertama, krisis politik, yang
membuat banyak orang tidak percaya lagi pada demokrasi. Kedua, krisis
alat-alat kekuasaan negara. Ketiga, krisis cara berpikir dan cara meninjau.
Keempat, krisis moral. Kelima, krisis gejag (kewibawaan otoritas). Kelima macam krisis itu
seakan berdaur ulang mengancam kehidupan demokrasi saat ini. Bertahun-tahun
pemerintahan demokratis diperjuangkan oleh gerakan reformasi dengan keringat
dan darah. Namun, ketika kesempatan
itu diraih, politik dirasa kurang berkhidmat bagi kepentingan orang banyak;
aparatur negara sejauh ini belum mampu menegakkan hukum dan ketertiban;
politisi dan pejabat negara kurang memperhatikan visi dan wawasan perjuangan;
perilaku politik dan birokrasi tercerabut dari etika seperti terpisahnya air
dengan minyak. Adapun orang-orang yang menggenggam otoritas justru bertikai,
berlomba menghancurkan pencapaian dan kewibawaan negara. Yang lebih buruk lagi,
pada titik genting krisis multidimensi ini, para penyelenggara negara dan
masyarakat politik seakan kehilangan rasa krisis dan rasa tanggung jawab.
Kepemimpinan negara dan elite politik hidup dalam penjara narsisme dengan
perhatian yang lebih tertuju pada memanipulasi pencitraan ketimbang mengelola
kenyataan. Tatkala republik dirundung
banyak masalah, pemilihan dan penempatan pejabat negara lebih memperhitungkan
urusan bagi-bagi kekuasaan. Bahkan, belakangan, indikasi pertarungan
kepentingan pun mulai merobek solidaritas internal kekuasaan. Padahal, dalam situasi
krisis yang melemahkan negara-bangsa, usaha demokrasi memperjuangkan harapan
kebahagiaan bersama menuntut semangat gotong royong dalam memikul tanggung
jawab ”negara-pelayan” dengan memenuhi empat jenis responsibilitas:
perlindungan, kesejahteraan, pengetahuan, dan keadilan. Negara-pelayan memiliki
legitimasi sejauh melindungi warganya dari bahaya karena ketertiban dan
keselamatan sangat esensial tidak saja bagi kehidupan, tetapi juga untuk
meraih kebahagiaan. Terbukti, negara-negara dengan pencapaian tertinggi dalam
Indeks Kebahagiaan, seperti Finlandia, Norwegia, Swiss, dan Denmark, umumnya
adalah negara demokrasi stabil yang mampu menegakkan hukum, keamanan, dan
ketertiban. Legitimasi kedua adalah
responsibilitas negara untuk mempromosikan kesejahteraan. Peran pemerintah
dalam memfasilitasi kesejahteraan sangat penting. Seperti ditunjukkan Amartya
Sen, kelaparan di sejumlah negara bukanlah karena kekurangan makanan,
melainkan karena rakyat tak memiliki hak milik dan daya beli sebagai akibat
buruknya layanan pemerintahan. Legitimasi ketiga ialah
kemampuan negara mempromosikan pengetahuan dan kebenaran yang sangat vital
bagi kelangsungan komunitas bangsa. Tak ada perbantahan antara rezim
demokratis dan nondemokratis atas pentingnya pengetahuan. Bahkan, Mao dalam
Revolusi Kebudayaannya meyakini, ”Sebanyak apa pun mimpi kita, alam akan
memberikannya sejauh ada pengetahuan.” Legitimasi pamungkas ialah
kemampuan negara menegakkan keadilan. Menurut Aristoteles, yang membedakan
manusia dan binatang adalah kemampuan membedakan yang baik dan buruk, adil
dan zalim, yang memperoleh puncak ekspresinya pada negara yang dapat
membedakan antara kebaikan dan keburukan. Keadilan negara ini sangat vital
bagi resolusi konflik dalam masyarakat multikultur. Banyaknya pendatang miskin
yang mencoba mencari perubahan hidup di Jakarta menimbulkan kesenjangan
sosial dan ekonomi yang tinggi. Pemenuhan keempat basis
legitimasi negara pelayan itu merupakan prasyarat bagi pemenuhan cita-cita
kebahagiaan bersama, yang secara genius telah diantisipasi oleh para pendiri
bangsa sebagaimana terkandung pada (misi negara) alinea keempat Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Tinggal masalahnya, bagaimana strategi implementasi
tata nilai, tata kelola, dan tata sejahtera untuk mendekatkan idealitas
tersebut pada realitas kehidupan. Peringatan Hari Lahir
Pancasila semestinya tak berhenti sekadar menangkap abunya, tetapi harus bisa
menggali apinya. Menghayati secara mendalam visi dan misi negara berdasarkan
Pancasila disertai komitmen bersama untuk secara sungguh-sungguh menjadikan
Pancasila sebagai ”ideologi kerja” (bukan verbalisme ”pepesan kosong”), yang
dapat memformulasikan dan menggerakkan paradigma pembangunan di berbagai
ranah dan lapis kehidupan berbangsa dan bernegara. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar