Minggu, 06 Juni 2021

 

Korupsi dan Lingkungan Hidup

Hariadi Kartodihardjo ; Guru Besar Kebijakan Kehutanan, IPB University

KOMPAS, 05 Juni 2021

 

 

                                                           

“Today, on World Environment Day—and in the days to come—it is important to understand the ways in which corruption is entangled with environmental devastation, and so work to mitigate their impact.

 

Landau dan Glandorf, 2020

 

 

Pernyataan dalam rangka Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2020 itu, nampak akan terus relevan dalam jangka panjang. Karena korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan di berbagai belahan dunia masih terjadi secara sistemik, termasuk di Indonesia.

 

Dalam artikelnya ”Corruption is a threat to planet Earth”, Kelsey Landau dan Joseph Glandof menyebut empat pernyataan penting.

 

Pertama, korupsi besar-besaran— di mana undang-undang dan peraturan dibentuk oleh aktor-aktor korup yang menguntungkan mereka—dapat berdampak buruk bagi perlindungan lingkungan global. Banyak kepentingan bisnis perusahaan besar memiliki hubungan langsung ke tingkat pemerintahan tertinggi dan bergantung pada peraturan lingkungan yang lemah untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya.

 

Kedua, di tingkat nasional, pemerintah menempatkan perusahaan-perusahaan itu di pusat strategi pembangunan, dan memberi mereka dukungan terus-menerus meskipun terjadi degradasi lingkungan yang meluas. Bahkan ketika teks peraturan kuat menopang perlindungan lingkungan, dalam pelaksanaannya ditegakkan secara tidak efektif dan korup, yang merusak semua perlindungan lingkungan selanjutnya.

 

Di tingkat lokal, korupsi dapat berbentuk seperti menuntut suap dari perusahaan untuk mengesampingkan persyaratan peraturan, dan di sisi lain, menegakkan persyaratan hukum hanya secara ad hoc berdasarkan suap.

 

Ketiga, sistem pemerintahan di daerah-daerah yang mengekstraksi sumber daya alam (SDA), sering kali kekurangan dana dan kekurangan staf maupun kapasitas teknis untuk menegakkan peraturan lingkungan dengan benar. Ini menciptakan masalah penegakan hukum yang parah dan menimbulkan risiko korupsi. Di Indonesia, satu kantor pemberi izin dan kantor kesehatan kabupaten hanya memiliki sumber daya untuk mengevaluasi 25 persen dari 285 perusahaan tambang batubara.

 

Dengan kondisi seperti itu, perusahaan berusaha membatasi inspeksi lingkungan dan tindakan penegakan hukum dengan membayar suap.

 

Keempat, risiko korupsi lingkungan parah di sekitar lokasi proyek ekstraktif melahirkan pusat ancaman dan kekerasan bagi para pembela lingkungan.

 

Karena proyek ekstraksi itu biasanya terjadi di daerah yang relatif terisolasi dengan kehadiran negara yang lemah, masyarakat sering kali memiliki sedikit mekanisme yang dapat mereka gunakan selain protes dan ketidaktaatan untuk menuntut perubahan pada praktik lingkungan yang mengancam kehidupan dan mata pencaharian mereka.

 

Namun, beberapa perusahaan justru memanfaatkan peran negara yang lemah itu untuk mengintimidasi atau mengancam penduduk setempat. Dalam hal ini, pemerintah umumnya tidak responsif terhadap tuntutan lokal serta mengawasi aktivis atau membatasi gerak para aktivitas lingkungan. Dalam kasus yang paling ekstrem, ketegangan antara penduduk setempat dan perusahaan meningkat, menjadi kekerasan langsung terhadap para pembela lingkungan.

 

Melibatkan banyak aktor

 

Pengalaman saya selama melakukan penelitian mengenai praktik perizinan pemanfaatan SDA pada 2016-2018, kasus-kasus seperti itu sering kali melibatkan jaringan korupsi dengan banyak aktor, termasuk oknum-oknum pejabat publik, perusahaan, aparat keamanan, dan terkadang jaringan kejahatan terorganisasi. Masing-masing memiliki andil dalam keuntungan membungkam para aktivis dan sering kali pelaku kekerasan tersebut tidak teridentifikasi.

 

Para akademisi dan aktivis di Indonesia, khususnya di bidang-bidang yang terkait dengan SDA dan lingkungan hidup, dalam menjalankan fungsinya masih menghadapi tantangan lebih kompleks, bahkan diliputi bahaya. Sebagai ahli, pernah direpotkan oleh ancaman dan serangan. Untuk kasus-kasus korupsi, ancaman dan serangan cenderung meningkat. Pada acara Corruption Summit di Makassar pada 2020, Transparency International Indonesia menyajikan data ancaman sepanjang 2004-2006 sebanyak 19 orang dan meningkat jadi 57 orang pada 2012-2017.

 

Ancaman sampai akhir 2018 yang menimpa kelompok anti korupsi sebanyak 48 orang, selebihnya terjadi pada aparat penegak hukum 21 orang, PNS 10 orang, dosen dan mahasiswa 7 orang. Di negara lain, seperti Filipina, pada 2018, setidaknya 30 aktivis lingkungan dibunuh anggota kelompok paramiliter dan penyerang tak dikenal. Pada tahun yang sama, setidaknya 164 pembela lingkungan dibunuh di seluruh dunia.

 

Ancaman kriminal kepada masyarakat dan aktivis lingkungan atau aktivis anti-korupsi seperti itu tidak bisa diperlakukan atau ditetapkan sekadar berdasarkan kesesuaian perbuatan itu dengan pasal-pasal peraturan perundangan sebagai suatu proses positivistik-instrumentatif. Perbuatan ”kriminal” itu bukan terjadi dan harus dibuktikan kebenarannya, melainkan ”dijadikan dan dikekalkan” kriminalnya melalui proses dominasi perbedaan posisi warga negara.

 

Dari pengalaman saya mengikuti proses-proses peradilan dalam kasus-kasus seperti itu juga dapat diperoleh kenyataan bahwa perbuatan ”kriminal” itu sendiri diambangkan atau bahkan dihalang-halangi dari proses mengenai mengapa hal itu terjadi—dihapus hubungan kausalitasnya, kemudian dikoreksi dengan menggunakan instrumen pasal-pasal yang sangat jauh dari upaya mewujudkan kondisi adil.

 

Karena itu, mudah dipahami mengapa dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup masyarakat dan para aktivis rentan dan dapat dengan mudah menjadi sasaran kriminalisasi. Bila diamati, kriminalisasi itu kemudian menjadi cara penggunaan kekuasaan untuk mengabaikan hak orang lain yang diproduksi berulang-ulang, dan secara historis sudah mencapai tingkat kestabilan relatif. Karena kejahatan sudah berakar secara materialistik, kejahatan itu sendiri menjadi pusat tindakan sosial maupun ekspresi kekuasaan itu sendiri.

 

Demokrasi dan lingkungan hidup

 

Keempat pernyataan Landau dan Glandof di atas sejalan dengan berbagai hasil kajian lain mengenai hubungan korupsi dan perusakan lingkungan hidup. Kajian Marina Povitkina dalam The limits of democracy in tackling climate change (2018), menyimpulkan secara umum kualitas demokrasi di suatu negara ikut menjamin komitmen pelaksanaan pengendalian perubahan iklim.

 

Namun, hubungan antara demokrasi dan perubahan iklim itu bervariasi dan tergantung pada kualitas demokrasi itu sendiri, termasuk toleransinya terhadap korupsi. Dalam hal ini dinyatakan bahwa demokrasi dapat meningkatkan upaya mengendalikan emisi karbon, hanya bila korupsi rendah. Bila korupsi tinggi, demokrasi nampak tidak lebih baik daripada rezim otoriter.

 

Dalam beberapa hal, menurut Povitkina, fitur demokrasi justru menghambat komitmen terhadap lingkungan. Ini karena tantangan politik secara terus-menerus melalui siklus pemilu, berakibat para pemimpin politik terbawa pandangan-pandangan sempit. Pandangan itu dapat mencegah mereka mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan program kebijakan jangka panjang seperti perlindungan lingkungan.

 

Sebagai contoh, untuk Indonesia, anggaran belanja untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) relatif kecil. Sejak 2016, anggaran itu berkisar antara Rp 6 triliun hingga Rp 8 triliun. Jumlah itu sekitar 40 persen dari kebutuhan anggaran sesuai rencana strategis kementerian yang ditetapkan. Dibandingkan dengan alokasi anggaran seluruh kementerian dan lembaga yang sebesar Rp 1.031 triliun, anggaran untuk KLHK itu kurang dari satu persen.

 

Hubungan antara korupsi dan perlindungan lingkungan, untuk kasus di Malaysia, Indonesia dan Filipina, telah dianalisis secara ekonometrik berdasarkan data periode 1970-2017. Hasil ini membuktikan, dalam jangka panjang, semakin tinggi tingkat korupsi, semakin banyak pencemaran lingkungan.

 

Salah satu contoh yang dikemukakan adalah terjadinya pembuangan limbah ilegal dan kegiatan bisnis ilegal yang sangat berpengaruh terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup (Ridzuan, dkk 2019). Hal senada dialami oleh 16 negara di kawasan selatan Afrika, korupsi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan (Ganda, 2020).

 

Hasil kajian korupsi di bidang industri tambang, irigasi, pertanian, kehutanan, perikanan, dan kegiatan konservasi, dengan fokus pada pengelolaan kawasan lindung dan perdagangan satwa liar, membuktikan bahwa korupsi di bidang tersebut bersifat sistemik (Tacconi dan Williams, 2020). Korupsi itu secara signifikan berdampak negatif bagi lingkungan dan ekonomi, dan pada gilirannya menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan sosial.

 

Berbagai kenyataan di atas menunjukkan bahwa upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi lingkungan hidup global, nasional maupun lokal tak dapat dipisahkan dari upaya untuk memberantas korupsi. Korupsi terbukti menjadi sarana ampuh untuk dapat mengendurkan norma-norma dan praktik perlindungan lingkungan hidup. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar