Korupsi
dan Lingkungan Hidup Hariadi Kartodihardjo ; Guru Besar
Kebijakan Kehutanan, IPB University |
KOMPAS, 05 Juni 2021
“Today,
on World Environment Day—and in the days to come—it is important to
understand the ways in which corruption is entangled with environmental
devastation, and so work to mitigate their impact.” Landau
dan Glandorf, 2020 Pernyataan dalam rangka
Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2020 itu, nampak akan terus relevan dalam
jangka panjang. Karena korupsi yang menyebabkan kerusakan lingkungan di
berbagai belahan dunia masih terjadi secara sistemik, termasuk di Indonesia. Dalam artikelnya
”Corruption is a threat to planet Earth”, Kelsey Landau dan Joseph Glandof
menyebut empat pernyataan penting. Pertama, korupsi
besar-besaran— di mana undang-undang dan peraturan dibentuk oleh aktor-aktor
korup yang menguntungkan mereka—dapat berdampak buruk bagi perlindungan
lingkungan global. Banyak kepentingan bisnis perusahaan besar memiliki
hubungan langsung ke tingkat pemerintahan tertinggi dan bergantung pada
peraturan lingkungan yang lemah untuk mendapat keuntungan sebesar-besarnya. Kedua, di tingkat
nasional, pemerintah menempatkan perusahaan-perusahaan itu di pusat strategi
pembangunan, dan memberi mereka dukungan terus-menerus meskipun terjadi
degradasi lingkungan yang meluas. Bahkan ketika teks peraturan kuat menopang
perlindungan lingkungan, dalam pelaksanaannya ditegakkan secara tidak efektif
dan korup, yang merusak semua perlindungan lingkungan selanjutnya. Di tingkat lokal, korupsi
dapat berbentuk seperti menuntut suap dari perusahaan untuk mengesampingkan
persyaratan peraturan, dan di sisi lain, menegakkan persyaratan hukum hanya
secara ad hoc berdasarkan suap. Ketiga, sistem
pemerintahan di daerah-daerah yang mengekstraksi sumber daya alam (SDA),
sering kali kekurangan dana dan kekurangan staf maupun kapasitas teknis untuk
menegakkan peraturan lingkungan dengan benar. Ini menciptakan masalah
penegakan hukum yang parah dan menimbulkan risiko korupsi. Di Indonesia, satu
kantor pemberi izin dan kantor kesehatan kabupaten hanya memiliki sumber daya
untuk mengevaluasi 25 persen dari 285 perusahaan tambang batubara. Dengan kondisi seperti
itu, perusahaan berusaha membatasi inspeksi lingkungan dan tindakan penegakan
hukum dengan membayar suap. Keempat, risiko korupsi
lingkungan parah di sekitar lokasi proyek ekstraktif melahirkan pusat ancaman
dan kekerasan bagi para pembela lingkungan. Karena proyek ekstraksi
itu biasanya terjadi di daerah yang relatif terisolasi dengan kehadiran
negara yang lemah, masyarakat sering kali memiliki sedikit mekanisme yang
dapat mereka gunakan selain protes dan ketidaktaatan untuk menuntut perubahan
pada praktik lingkungan yang mengancam kehidupan dan mata pencaharian mereka. Namun, beberapa perusahaan
justru memanfaatkan peran negara yang lemah itu untuk mengintimidasi atau
mengancam penduduk setempat. Dalam hal ini, pemerintah umumnya tidak
responsif terhadap tuntutan lokal serta mengawasi aktivis atau membatasi
gerak para aktivitas lingkungan. Dalam kasus yang paling ekstrem, ketegangan
antara penduduk setempat dan perusahaan meningkat, menjadi kekerasan langsung
terhadap para pembela lingkungan. Melibatkan
banyak aktor Pengalaman saya selama
melakukan penelitian mengenai praktik perizinan pemanfaatan SDA pada
2016-2018, kasus-kasus seperti itu sering kali melibatkan jaringan korupsi
dengan banyak aktor, termasuk oknum-oknum pejabat publik, perusahaan, aparat
keamanan, dan terkadang jaringan kejahatan terorganisasi. Masing-masing
memiliki andil dalam keuntungan membungkam para aktivis dan sering kali
pelaku kekerasan tersebut tidak teridentifikasi. Para akademisi dan aktivis
di Indonesia, khususnya di bidang-bidang yang terkait dengan SDA dan
lingkungan hidup, dalam menjalankan fungsinya masih menghadapi tantangan
lebih kompleks, bahkan diliputi bahaya. Sebagai ahli, pernah direpotkan oleh
ancaman dan serangan. Untuk kasus-kasus korupsi, ancaman dan serangan
cenderung meningkat. Pada acara Corruption Summit di Makassar pada 2020,
Transparency International Indonesia menyajikan data ancaman sepanjang
2004-2006 sebanyak 19 orang dan meningkat jadi 57 orang pada 2012-2017. Ancaman sampai akhir 2018
yang menimpa kelompok anti korupsi sebanyak 48 orang, selebihnya terjadi pada
aparat penegak hukum 21 orang, PNS 10 orang, dosen dan mahasiswa 7 orang. Di
negara lain, seperti Filipina, pada 2018, setidaknya 30 aktivis lingkungan
dibunuh anggota kelompok paramiliter dan penyerang tak dikenal. Pada tahun
yang sama, setidaknya 164 pembela lingkungan dibunuh di seluruh dunia. Ancaman kriminal kepada
masyarakat dan aktivis lingkungan atau aktivis anti-korupsi seperti itu tidak
bisa diperlakukan atau ditetapkan sekadar berdasarkan kesesuaian perbuatan
itu dengan pasal-pasal peraturan perundangan sebagai suatu proses
positivistik-instrumentatif. Perbuatan ”kriminal” itu bukan terjadi dan harus
dibuktikan kebenarannya, melainkan ”dijadikan dan dikekalkan” kriminalnya
melalui proses dominasi perbedaan posisi warga negara. Dari pengalaman saya
mengikuti proses-proses peradilan dalam kasus-kasus seperti itu juga dapat
diperoleh kenyataan bahwa perbuatan ”kriminal” itu sendiri diambangkan atau
bahkan dihalang-halangi dari proses mengenai mengapa hal itu terjadi—dihapus
hubungan kausalitasnya, kemudian dikoreksi dengan menggunakan instrumen
pasal-pasal yang sangat jauh dari upaya mewujudkan kondisi adil. Karena itu, mudah dipahami
mengapa dalam pengelolaan SDA dan lingkungan hidup masyarakat dan para
aktivis rentan dan dapat dengan mudah menjadi sasaran kriminalisasi. Bila
diamati, kriminalisasi itu kemudian menjadi cara penggunaan kekuasaan untuk
mengabaikan hak orang lain yang diproduksi berulang-ulang, dan secara
historis sudah mencapai tingkat kestabilan relatif. Karena kejahatan sudah
berakar secara materialistik, kejahatan itu sendiri menjadi pusat tindakan
sosial maupun ekspresi kekuasaan itu sendiri. Demokrasi
dan lingkungan hidup Keempat pernyataan Landau
dan Glandof di atas sejalan dengan berbagai hasil kajian lain mengenai
hubungan korupsi dan perusakan lingkungan hidup. Kajian Marina Povitkina
dalam The limits of democracy in tackling climate change (2018), menyimpulkan
secara umum kualitas demokrasi di suatu negara ikut menjamin komitmen
pelaksanaan pengendalian perubahan iklim. Namun, hubungan antara
demokrasi dan perubahan iklim itu bervariasi dan tergantung pada kualitas
demokrasi itu sendiri, termasuk toleransinya terhadap korupsi. Dalam hal ini
dinyatakan bahwa demokrasi dapat meningkatkan upaya mengendalikan emisi
karbon, hanya bila korupsi rendah. Bila korupsi tinggi, demokrasi nampak
tidak lebih baik daripada rezim otoriter. Dalam beberapa hal,
menurut Povitkina, fitur demokrasi justru menghambat komitmen terhadap
lingkungan. Ini karena tantangan politik secara terus-menerus melalui siklus
pemilu, berakibat para pemimpin politik terbawa pandangan-pandangan sempit.
Pandangan itu dapat mencegah mereka mengalokasikan anggaran untuk pelaksanaan
program kebijakan jangka panjang seperti perlindungan lingkungan. Sebagai contoh, untuk
Indonesia, anggaran belanja untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(KLHK) relatif kecil. Sejak 2016, anggaran itu berkisar antara Rp 6 triliun
hingga Rp 8 triliun. Jumlah itu sekitar 40 persen dari kebutuhan anggaran
sesuai rencana strategis kementerian yang ditetapkan. Dibandingkan dengan
alokasi anggaran seluruh kementerian dan lembaga yang sebesar Rp 1.031
triliun, anggaran untuk KLHK itu kurang dari satu persen. Hubungan antara korupsi
dan perlindungan lingkungan, untuk kasus di Malaysia, Indonesia dan Filipina,
telah dianalisis secara ekonometrik berdasarkan data periode 1970-2017. Hasil
ini membuktikan, dalam jangka panjang, semakin tinggi tingkat korupsi,
semakin banyak pencemaran lingkungan. Salah satu contoh yang
dikemukakan adalah terjadinya pembuangan limbah ilegal dan kegiatan bisnis
ilegal yang sangat berpengaruh terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan
hidup (Ridzuan, dkk 2019). Hal senada dialami oleh 16 negara di kawasan
selatan Afrika, korupsi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan
(Ganda, 2020). Hasil kajian korupsi di
bidang industri tambang, irigasi, pertanian, kehutanan, perikanan, dan
kegiatan konservasi, dengan fokus pada pengelolaan kawasan lindung dan
perdagangan satwa liar, membuktikan bahwa korupsi di bidang tersebut bersifat
sistemik (Tacconi dan Williams, 2020). Korupsi itu secara signifikan
berdampak negatif bagi lingkungan dan ekonomi, dan pada gilirannya
menimbulkan dampak negatif bagi kehidupan sosial. Berbagai kenyataan di atas
menunjukkan bahwa upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan fungsi
lingkungan hidup global, nasional maupun lokal tak dapat dipisahkan dari
upaya untuk memberantas korupsi. Korupsi terbukti menjadi sarana ampuh untuk
dapat mengendurkan norma-norma dan praktik perlindungan lingkungan hidup. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar