Fetisisme
Politik, Efek ”Oracle” dan Tanda Istimewa untuk Utusan Rakyat Eko Wijayanto ; Dosen Filsafat Universitas Indonesia |
KOMPAS, 08 Juni 2021
Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat kini memiliki pelat nomor kendaraan khusus, seperti halnya pelat nomor
TNI dan Polri. Menurut Wakil Ketua Komisi III DPR Ahmad Sahroni (Kompas.com,
21/5/2021), pelat nomor khusus ini akan berlaku untuk semua anggota DPR.
Namun, saat ini belum semua memakai pelat nomor itu, baru beberapa anggota
dan pimpinan komisi. Seorang wakil rakyat (atau
bisa disebut seorang utusan) mendapatkan kekuasaan dari rakyat, para pemberi
mandat. Sang mandat yang memberinya kuasa untuk menandatangani atas namanya,
bertindak atas namanya, berbicara atas namanya, dan memberikannya kekuasaan
penuh, dengan kata lain berkuasa penuh untuk bertindak untuk dirinya. Seorang delegasi yang
diutus mempunyai mandat untuk memperlihatkan kesan dari seseorang atau dari
sekelompok orang. Jika pengutus (yang memberi mandat) adalah untuk
mempercayakan sebuah misi kepada seseorang, dengan menyerahkan sebuah kuasa
kepadanya, kenapa seorang delegasi bisa memiliki kuasa terhadap orang yang
memberinya kuasa? Hal itu dikarenakan jika seseorang dipercaya oleh banyak
orang, orang itu bisa mendapat kekuasaan dari setiap individu yang
mengutusnya. Seseorang yang mewakili
sebuah kelompok sebenarnya mempunyai hubungan timbal balik dengan
kelompoknya. Seorang utusan (misalnya seorang wakil rakyat) terlihat menyuarakan
aspirasi dari rakyat, padahal kenyataannya bisa saja dia hanyalah wakil dari
kelompoknya (partai politiknya). Namun, seorang utusan ada karena kelompok
yang diwakilinya ada dan timbal baliknya yaitu kelompok tersebut menjadikan
seorang utusan ada sebagai perwakilan dari kelompoknya. Di dalam perpolitikan,
faktanya seseorang tidak dapat mengangkat dirinya sendiri. Karena itu, ada
paksaan untuk membuat dirinya berbicara dan didengarkan, kecuali jika dia
menempatkan dirinya sebagai pembicara. Seseorang harus mengambil risiko atas
aliansi politik untuk bebas dari aliansi politik. Pada kenyataannya, antitomi
semacam ini jadi nyata karena adanya dominasi. Dalam perjalanan
sejarahnya, mulai terjadi ”jarak” yang memisahkan antara makna di atas dan
makna historis dalam kenyataan sejarah. Sang wakil rakyat malah menjadi
atasan rakyat yang diwakili—di sinilah kata wakil dalam realitas politik
menjadi ambigu. Maka, munculkan fetisisme politik. Para fetisis politik
adalah orang-orang yang terlihat berutang budi kepada dirinya sendiri atas
eksistensi yang diberikan para agen sosial terhadapnya; mereka yang
menciptakan utusan memuja ciptaannya itu. Pemuja politik terdiri dari fakta
mengenai nilai yang ada di dalam kepribadian politik, yang merupakan hasil
dari otak manusia, terlihat sebagai obyek misterius dari seseorang, pesona,
kharisma. Karena itulah, seorang
utusan adalah cara dari kelompok mengambil alih dirinya dengan cara
memberikan bantuan terhadapnya demi kepentingan kelompoknya. Sebuah kelompok
diakui keberadaannya jika dia mampu membuktikan eksistensinya dengan seorang
perwakilan yang dapat mewakili mereka. Dapat dikatakan bahwa
seorang utusan bertindak sebagai pengganti untuk kelompok yang memberinya
mandat. Dengan kata lain, semua yang dilakukannya berasal dari dan untuk
kelompoknya. Untuk mengidentifikasikan diri seseorang ke dalam sebuah
kelompok seorang delegasi harus menyerahkan dirinya kepada kelompoknya
sehingga dalam pengangkatan dirinya memberikan kesan rendah hati. Tindakan kedua dari
seorang delegasi, yang dirasa jauh lebih baik, adalah diangkat di dalam
realitas sosial, contohnya adalah gereja. Gereja, melalui anggota-anggotanya,
memiliki ”monopoli atas legitimasi keselamatan dari Tuhan”. Delegasi dalam
hal ini adalah delegasi gereja yang memiliki kuasa untuk bertindak atas nama
gereja. Bourdieu mengutip Kant
(dalam buku Religion within the Limits of Reason Alone) sebagai contoh
kekuasaan simbolik; di mana ia menyadari bahwa gereja dibentuk berdasarkan
kepercayaan tanpa syarat (bukan berdasarkan rasa percaya yang rasional),
tidak akan memiliki pelayan (ministry), tetapi para petinggi (officiates)
yang memberikan perintah dan yang menginginkan agar diri mereka dianggap
sebagai interpreter (penerjemah) Naskah Suci terpilih, dan lalu mengubah layanan
gereja (ministerium) menjadi dominasi anggotanya (imperium). Meskipun untuk
menyembunyikan pengangkatan ini mereka memanfaatkan julukan yang rendah hati
(menyebut dirinya ordinary). Hal ini tidak menutup kemungkinan seseorang
untuk menyita properti yang berkaitan dengan jabatannya selama ia menutupi
dirinya sendiri. Kuasa
simbolik dan Nietzsche Kuasa simbolik adalah
suatu kekuasaan yang mengatasnamakan pengakuan (recognition) yang sebenarnya
adalah kesalahan dalam pengakuan (misrecognition) kekuatan yang dikembangkan
di dalamnya. Kekerasan simbolik petinggi ini bisa berkembang dengan adanya
wewenang si petinggi melalui misrekognisi yang didukung dengan penyangkalan
dari orang-orang yang dikenai kekerasan simbolik tadi. Nietzsche menggambarkan
hal ini di mana ia mencecar pendeta (berhubung pendeta adalah wujud
delegasi), sifat hipokrit mereka, dan cara mereka mengangkat diri mereka.
Tahap pertama yang dilakukan pendeta tersebut termasuk bagaimana caranya agar
dirinya dianggap penting. Kant telah menyebutkan bagaimana exegesis (bentuk
resmi pembacaan) dianggap penting. Nietzsche mengatakan,
seseorang tidak bisa membaca Gospel; terdapat kesulitan di balik setiap kata.
Yang dimaksud oleh Nietzsche adalah untuk mengakukan diri seseorang sebagai
interpreter, ia harus memerlukan produknya sendiri, untuk itu ia harus
membuat tingkat kesulitan yang hanya dia sendiri yang mengerti dan bisa
menyelesaikannya. Delegasi ini lalu melakukan transformasi yang menyucikan
dirinya sendiri. Delegasi dalam gereja
adalah orang yang menugaskan tugas suci untuk dirinya sendiri dan berkesan
penuh ilusi. Strategi kependetaan yang demikian berlandaskan pada kepercayaan
yang buruk (dari istilah Sartre: berdusta pada diri seseorang, di mana
pendeta menentukan nilai suatu hal dengan menyatakan bahwa suatu hal itu
dikatakan baik jika ada manfaatnya bagi pendeta tersebut). Menurut Nietzsche, hukum,
kehendak Tuhan, kitab suci, dan sebagainya hanyalah kata-kata untuk
menggambarkan kondisi di mana pendeta bisa berkuasa, mereka mengagungkan diri
mereka dan sebagai akibatnya menciptakan batas antara mereka dan orang biasa.
Hal seperti itu terdapat dalam sesuatu yang disebut oracle effect, yaitu
keadaan di mana kepribadian individu (ego) melenyapkan dirinya untuk menjadi
orang yang bermoral transenden. Kondisi akses menuju
kependetaan merupakan metanoia yang sah, sebuah konversi, di mana individu
asli harus mati agar si pribadi moral terwujudkan, mati dan menjadi sebuah
institusi (sebagai efek dari ritual penginstitusian). Secara paradoks, mereka
yang menghilangkan jati diri mereka untuk menjadi segalanya bisa membalik
hubungan dan menilai orang-orang ”biasa” (yang tidak mampu berdedikasi) dan
mampu membuat mereka merasa bersalah. Pendeknya, efek oracle ini
merupakan fenomena di mana kita menipu diri sendiri untuk memercayai sesuatu
yang kadang tidak kita sadari, misalnya saat seseorang menamai suatu obyek
(menjadikannya seakan nyata) saat sedang menginterpretasi suatu hal.
Seandainya efek simbolik ini diterapkan dalam politik setiap hari, si
politisi dalam menyatakan sebuah pesan akan mengutarakan pesan itu sekaligus
interpretasi pesan tersebut (meyakinkan dengan konsep je est un autre), bahwa
apa yang ia katakan adalah benar. Bentuk pengendalian di mana seseorang mampu
berbicara ”atas nama…” memungkinkan perubahan dari indikatif ke imperatif. Bourdieu membandingkan
keadaan jika ia sendirian dan memberikan perintah, maka tidak ada yang
menurutinya, dibanding keadaan di mana ia berada dalam kondisi konstitusional
yang berkesan seakan ia bicara atas nama massa. Efek oracle ini memungkinkan
si pembicara untuk berkuasa terhadap setiap anggota kelompok yang terisolasi.
Seandainya pembicara merupakan perwujudan grup (kolektif) yang mendefinisikan
pendengar, pendengar pun mau tidak mau menuruti perkataan pembicara. Efek oracle ini adalah
eksploitasi kesempurnaan dalam kelompok melalui satu individu yang
berpengaruh dalam suatu kelompok hanya karena tidak ada orang lain yang
mengajukan diri kecuali mereka membuat kelompok lain dan terpilih sebagai delegasi
di kelompok barunya. Keanehan monopoli kebenaran kolektif ini merupakan
sumber dari setiap masalah efek simbolik. Konsep ”saya adalah kelompok” mampu
mengekang tseiap anggotanya karena ”saya” mampu memanipulasi grup atas nama
grup itu sendiri. Analisis linguistik dapat
dipakai dalam strategi retoris yang diungkapkan pembicara (misalnya perubahan
saya–kami) saat mengutarakan maksud. Saya (I) disamarkan menjadi kami (we)
agar terkesan seperti yang ia ucapkan adalah maksud/ketertarikan kelompok,
bukan perorangan. Secara umum, manfaat dari bahasa abstrak (abstract
language) menurut Hegel menghasilkan fanatisisme dan terorisme (Jacobin), dan
keseluruhannya berperan legitimasi jabatan delegasi. Sosiolog ternama Pierre
Bourdieu memberikan contoh perdebatan masalah populer, terutama teologi di
mana sosiologi tidak bisa mendalaminya tanpa terjebak karena efek oracle.
Contohnya realisme sosialis yang merupakan produk dari penggantian suatu
individu di mana borjuis intelektual 2 yang ingin mengubah orde, terutama
pada intelektual utama yang menguniversalkan dirinya dengan menyatakan
dirinya sebagai orang-orang (people) dan analisis dasar realisme sosialis
menunjukkan bahwa tidak ada yang populer (formalism atau bahkan akademisme)
berdasarkan ikonografi alegoris (allegorical iconography). Apa yang diungkapkan oleh
borjuis kecil dan formalis ini cenderung menyangkal sosok asli orang—dalam
wujud orang-orang yang bertelanjang dada, berotot, berkulit yang terbakar
cahaya matahari dan optimis akan mengarah ke masa depan—merupakan filosofi
sosial dan ideal bagi borjuis kecil tanpa disadari. Demikian juga kebudayaan
populer; yang kita hadapi adalah kasus substitusi subyek. Kependetaan (ini yang
ditekankan Nietzche); pendeta, gereja, dan aparat setiap negara menyubstitusi
pandangan mereka terhadap dunia (pandangan yang dirusak oleh libido dominan
di mereka sendiri) dengan kelompok di mana mereka sendiri yang menjadi
ekspresi kelompok. ”Orang-orang” ini yang dimanfaatkan pada zaman ini seperti
”Tuhan” dulu—untuk meyelesaikan urusan antarklerik (pendeta juga). Kemudian dicontohkan pula
sebagai hubungan antara delegasi (wakil rakyat/mandator) dan aparat (wakil
delegasi). Aparat adalah bagian dari delegasi, yang merupakan simbol dari
delegasi itu. Biasanya aparat adalah orang-orang yang muda dan tidak memiliki
modal apa-apa kecuali jabatannya sebagai aparat tersebut. Delegasi dan aparat
sama-sama memiliki kepentingan, tetapi kepentingan delegasi lebih utama
daripada kepentingan aparat. Delegasi biasanya berasal
dari orang-orang yang memiliki jabatan dalam struktur fungsional (bisa juga
disebut dengan jabatan kunci) dan telah memiliki modal. Delegasi tetap
membutuhkan aparat, begitu juga sebaliknya, tetapi delegasi memiliki otoritas
untuk mengganti aparat tersebut. Saat aparat tersebut sudah tidak lagi
digunakan, ia tidak memiliki nilai atau identitas apa pun. ● |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar