Minggu, 06 Juni 2021

 

Buya Syafii dan Pancasila

Benni Setiawan ; Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan P-MKU Universitas Negeri Yogyakarta; Anggota Kaukus Aliansi Kebangsaan

KOMPAS, 01 Juni 2021

 

 

                                                           

Mungkin mudah meneriakkan saya Indonesia, saya Pancasila. Namun, apakah teriakan itu telah menjadi laku bangsa sehingga bangsa ini benar-benar mengamalkan Pancasila—meminjam istilah Orde Baru—secara murni dan konsekuen?

 

Sampai saat ini, Pancasila tidak menjadi laku pemimpin bangsa. Setidaknya kritik itu muncul dari seorang tokoh bernama Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii menulis, ”Adapun suasana moral bangsa yang masih ringkih, goyang, dan bahkan rapuh sampai saat ini, penyebab utamanya bukan berasal dari Pancasila, melainkan justru karena Pancasila dikhianati dalam laku perbuatan, tidak terkecuali dipelopori oleh para pemimpin dan golongan elite.”

 

Guru Besar Emeritus Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta ini menambahkan, ”Pancasila di tangan mereka lebih banyak dijadikan retorika politik yang amoral. Inilah penyebab utama mengapa bangsa ini sulit sekali bangkit secara autentik dan bermartabat.”

 

Kata dan laku

 

Pria kelahiran Sumpur, Kudus, 31 Mei 1935, ini memang dikenal kritis terhadap persoalan kebangsaan dan kenegaraan. Kritik Buya didasarkan pada keprihatinannya terhadap kondisi bangsa tercerabut dari nilai-nilai Pancasila.

 

Mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini selalu gelisah melihat ketidaksesuaian antara kata dan laku pemimpin bangsa. Ketidaksesuaian itu sering kali menimbulkan masalah. Pasalnya, kata yang terucap dari seorang pemimpin mempunyai konsekuensi panjang. Kata itu ibarat mantra mujarab yang dapat mengubah banyak hal. Jika mantra itu diucapkan sembrono, akan banyak jatuh korban.

 

Ironisnya, masih ada pemimpin bangsa saat ini begitu pandai beretorika dan berkelit dengan kata, padahal laku tindakannya jauh dari nilai-nilai kebangsaan. Laku kebangsaan yang tercermin dalam Pancasila tidak menjadi panduan langkah. Pancasila hanya menjadi lips service, pemanis kata dan perbuatan. Pancasila tidak pernah mendasari langkah dan kebijakan yang diambil. Seakan-akan bangsa dan negara ini tidak memiliki Pancasila sebagai sebuah nilai. Pancasila benar-benar dikangkangi untuk kepentingan jangka pendek/pragmatis.

 

Kepemimpinan pragmatis hanya akan mempercepat laju pelapukan bangsa. Pelapukan bangsa berarti hilangnya jiwa dan nilai yang selama ini telah ada. Kepemimpinan pragmatis pun akan menyuburkan tindakan destruktif. Pasalnya, mereka tidak dipandu oleh moral. Mereka melakukan dan mengambil kebijakan sesuai dengan apa yang dikehendakinya, bukan didasarkan pada kepentingan umum. Hajat hidup orang banyak terkangkangi oleh nafsu segelintir pemimpin yang mempunyai kuasa mengatur dan menata Republik. Republik tergadai dan tersandera oleh nafsu selintir elite.

 

Kasus pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), misalnya. Sampai saat ini belum ada satu kata antar-pemimpin. Betapa dengan mudah kita mendapatkan berita tentang ketidaksesuaian antar pemimpin dalam kasus ini. Ironisnya, mereka mengklaim benar dan sesuai dengan perintah. Ketidaksesuaian inilah yang kemudian memunculkan tanda tanya besar, apakah ini jalan mengakhiri KPK; apakah KPK benar-benar menjadi ancaman nyata bagi penjahat korup di republik ini sehingga perlu dimatikan?

 

Korupsi jelas musuh Pancasila. Koruptor tidak layak hidup di bumi Pancasila. Namun, penyeru Pancasila sering kali tidak satu kata dalam hal ini. Sebaliknya, pendukung koruptor berbaris rapi melumpuhkan KPK dan membela sang juragan korupsi.

 

Kedaulatan

 

Kedaulatan Pancasila terbangun atas keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan hanya akan terwujud saat pemimpin berlaku adil sejak dalam pikiran. Pemimpin pun berkuasa atas perintah. Melalui ”perintah” itulah ketertiban sosial akan mewujud. Salah satu wujud ketertiban sosial adalah dengan menghukum para koruptor dan mempersempit ruang geraknya.

 

Lebih lanjut, kehidupan Pancasila juga tercermin dalam laku menyematkan kemanusiaan. Serangan brutal Israel kepada warga Palestina menjadi contoh telanjang betapa mengerikannya kasus kemanusiaan di belahan dunia ini. Sebagai warga Pancasilais, membela Palestina dan mengutuk Israel menjadi sebuah keniscayaan. Bukan malah sebaliknya menyoal mereka yang menyumbang untuk meringankan beban rakyat Palestina.

 

Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Profesor Haedar Nashir menegaskan, kepedulian kepada Palestina merupakan amanat konstitusi, menjaga perdamaian dunia. Ini bukan soal atas nama keagamaan, melainkan membela kemanusiaan sebagaimana ajaran Pancasila.

 

Praktik kebangsaan berbasis Pancasila perlu menjadi laku bukan sekadar kata. Pemimpin bangsa perlu menjadi teladan dalam hal ini. Saat pemimpin mampu menunjukkan sikap, jiwa, dan praktik Pancasila dalam kehidupan pemerintahannya, kebangsaan dan kenegaraan akan kuat. Sebaliknya, jika pemimpin bangsa terus mengoyak Pancasila dengan praktik keseharian yang jauh dari nilai kebangsaan itu, pelapukan negara menjadi sebuah jawaban atas kecerobohan itu.

 

Pada akhirnya, pesan Buya Syafii di atas telah jelas dan gamblang. Bangsa ini hanya akan terselamatkan dengan laku Pancasila para pemimpin. Tanpa itu semua, martabat bangsa ini akan tergadaikan oleh kepentingan jangka pendek yang merusak seluruh sendiri kenegaraan.

 

Selamat ulang tahun Buya Syafii. Semoga Allah senantiasa merahmati Buya sehingga terus mampu menyuarakan kebenaran di tengah bisingnya pencitraan. Selamat milad Pancasila, semoga engkau terus menjadi roh bangsa Indonesia. ●

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar