Trend
Hijab Modern
Dodi Budiana ;
Editor penerbit self publishing “Galuh Nurani”
Ciamis
|
REPUBLIKA,
04 Maret 2014
|
Sebelum Orde Baru, perempuan
berjilbab sulit diterima oleh publik baik dalam lingkungan kerja atau umum.
Jilbab sempat dilarang dalam pakaian berseragam sekolah. Setelah runtuhnya
rezim Soeharto, ekspresi gender, seksualitas, dan agama mengemuka di ruang
publik.
Kini, eliminasi dan diskriminasi
terhadap perempuan berjilbab tidak lagi berlaku apalagi dengan ngetren-nya
hijab style baru yang biasa dikenal hijab modern. Gaya dan model jilbab yang
trendi mengacu pada masa kekinian semakin diminati para perempuan Indonesia.
Perempuan, selalu menjadi srotan dalam dunia fashion, terutama bagi muslimah.
Munculnya komunitas hijabers yang sedang populer di
masyarakat juga selalu diidentikkan pada high
class. Praktik-praktik budaya baru-baru ini mem-booming di Indonesia terutama di dunia cyber. Menurut Rudianto,
dalam penelitiannya tentang "Jilbab Kreasi Budaya" meneguhkan bahwa
dalam konteks kekinian, jilbab juga menjadi simbol identitas, status, dan
kekuasaan. Dalam masyarakat muslim modern, hijab lebih sering diasosiasikan
dengan gaya hidup kelas atas.
Tak dapat dimungkiri, hijab
modern merupakan produk pop culture
yang disukai massa. Hijab modern yang fashionable
dan high class ini banyak pula kita
jumpai di event-event di dunia fashion sehingga semakin terangkat
martabat Muslimah di dunia fashion. Jilbab menjadi komoditas sosial budaya
dalam perkembangannya kemudian.
Jilbab modern sebagai gaya baru
yang diminati perempuan Indonesia di pasarkan dari pasar tradisional, departement
store, majalah, hingga jejaring sosial internet misalnya Facebook, Twitter,
Path, dll tentang tutorial berhijab, nasehat untuk mengenakan jilbab, hingga
jual beli busana Muslim, jilbab dan aksesori jilbab. Hal ini selaras dengan
pendapat tokoh budaya yang mengatakan bahwa pop culture merupakan produksi massa dan dikonsumsi massa yang
secara komersial tidak diharapkan. Pop
culture merupakan praktik budaya an tara kelompok dominan dan kelompok
subordinat. (William Raymond 1983: 240)
Cara berjilbab berarti sesuatu
yang berbeda dari konteks yang berbeda pula, menurut Syirazi dalam bukunya Semantic Versatility of The Veil (2001:
222) meng asumsikan bahwa jilbab merupakan suatu hal yang berpisah dari
konteksnya. Syirazi mengombinasikan iklan jilbab yang digunakan di Barat dan
di Arab yang targetnya adalah audiens.
Terdapat fungsi jilbab bagi
seorang perempuan untuk diwajibkan menutupi tubuhnya. Dalam Alquran surat
al-Ahzab: 59 sudah jelas fungsi jilbab bagi perempuan adalah agar mereka
dikenali sebagai perempuan terhormat dan mencegah agar mereka tidak
dilecehkan. Namun, tentu banyak pula alasan-alasan bagi perempuan yang
mengenakan kain untuk menutupi kepala dan dadanya.
Dengan perkembangan budaya
berjilbab seperti hijab modern, perlu dipertanyakan lagi apakah agama masih
menjadi hubungan transendental antara manusia dengan Tuhannya. Jilbab yang
merupakan kewajiban seorang perempuan Muslim untuk kehormatannya, kini, dalam
konteks kekinian, hijab menjadi salah satu tren dari pop culture. Perempuan dan agama menjadi suatu konsiliasi pop culture yang komersial sehingga agama
dan simbol-simbol agama juga menjadi produk dari pop culture yang kemudian dipasarkan di dunia industri.
Hijab dalam pandangan agama
Islam yakni menutupi seluruh tubuh kecuali yang boleh diperlihatkan menurut
syariat. Tidak hanya hijab bagi perempuan terdapat pula ayat yang menerangkan
hijab bagi pria, bahkan hijab bagi laki-laki dijelaskan terlebih dahulu dalam
surat an-Nur ayat 30: Ketika laki-laki melihat perempuan dan muncul pikiran
kotor di benaknya, hendaknya laki-laki tersebut menundukkan atau menahan
pandangannya agar dijauhi dari perbuatan tercela. Anjuran berjilbab bagi
perempuan dalam kitab Alquran dijelaskan surat an-Nur ayat 31.
Selain menjelaskan cara menjaga
kehormatan dan kemaluan, kedua ayat ini juga menunjukkan bahwa laki-laki dan
perempuan sama di hadapan Tuhan, yang membedakan hanyalah ketakwaannya dengan
hijab. Di sini tidak berarti hanya bagi perempuan yang harus menjaga
kehormatan, akan tetapi hendaknya laki-laki ataupun perempuan yang beriman
menahan pandangannya dan menjaga kehormatannya karena hijab juga bermakna
batas, dinding, atau tabir yang menghalangi adanya halwah antara laki-laki dan perempuan.
Yang menjadi menarik di sini,
seolah-olah hanya perempuanlah yang dijadikan komoditas sosial budaya dalam
hal hijab. Ketika hijab dan perempuan berhasil mendorong kekuatan-kekuatan
komunitas dan golongan di satu sisi di hadapkan pada industri sehingga menjadi
politik identitas bagi perempuan itu sendiri.
Dalam era globalisasi, di satu
sisi hijab modern mengangkat martabat Muslimah dalam menutup auratnya, namun
di sisi lain bagi perempuan yang belum mengenali hijab modern atau yang tidak
berminat mengunakan sytle hijab
modern, mereka seolah termarginalisasikan. Apalagi hijab modern kini diidentikkan
dengan high class di Indonesia.
Tidak
ada salahnya ketika perempuan berhijab untuk mengikuti tren budaya populer
yakni bisa dilihat sebagai fastabiqul
khoirot (berlomba-lomba dalam kebaikan). Namun, apakah masih dapat
disebut sebagai simbol dan identitas agama atau hubungan transendental dengan
Tuhan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar