Sabtu, 08 Maret 2014

Memilih dengan Wawasan

Memilih dengan Wawasan

Toeti Prahas Adhitama  ;   Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA,  07 Maret 2014
                                                                                                                       
                                                                                         
                                                                                                             
KITA bersyukur suasana negeri ini relatif tenang dan damai selama masa reformasi. Memang dalam dua pemerintahan pertama di masa reformasi kita memerlukan penyesuaian sistem baru yang berlandaskan demokrasi. Selain itu, juga terjadi letupan-letupan di sana-sini yang tidak berarti. Namun, akhir-akhir ini kita memang sering terganggu oleh perilaku sebagian elite yang membuat rakyat kecewa. 

Syukurlah tiba waktunya untuk pembaruan. Sebulan lagi kita menggelar pemilu. Sudah siap mencoblos? Rasanya sudah. Pilih yang mana? Itu yang belum pasti. Padahal, pilihan bersama itu menentukan jajaran pimpinan baru.

April mendatang, kita memilih para pemimpin untuk masa depan di lembaga deliberatif pembuat hukum. Sayangnya, pemahaman tentang para caleg yang menawarkan diri belum meluas. Kalau terpaksa memilih, mayoritas konstituen ibaratnya terpaksa memilih kucing dalam karung. Ketika dibuka, bisa jadi yang meloncat bukan kucing, melainkan tikus atau harimau. Yang dari karung pun belum tentu mampu membawakan misinya. Bagaimana nurani mereka sebagai wakil rakyat? Apakah mereka mewakili rakyat, partai, atau kepentingan sendiri?

Di sisi lain, seberapa besar sebenarnya pengetahuan/pemahaman konstituen tentang misi yang harus diemban para anggota legislatif? Mungkin karena pemberitaan tentang para caleg belum tersebar luas, tidak seluas pemberitaan tentang partai-partai politik atau perilaku mencemaskan sebagian tokoh partai dan/atau kader partai yang mengikis rasa percaya rakyat, maka saat ini ada wacana tentang kemungkinan meningkatnya golput, terutama di kalangan rakyat banyak. Lagi pula masyarakat luas belum tahu benar tugas perwakilan rakyat.

Sampai saat ini, pemberitaan pers berkaitan dengan pemilu lebih menjadi sajian bagi kalangan terdidik/elite. Kampanye khusus untuk rakyat banyak belum seramai yang diharapkan, maka hal-ihwal para caleg, ataupun misi mereka, belum tergerai untuk rakyat. Toh banyak orang partai meyakini, rakyat tidak senaif yang orang kira.

Dana kampanye oleh semua partai kenyataannya mencapai ratusan miliar rupiah. Sosialisasi oleh partai politik yang dirasa masih kurang. Itu bisa membuat konstituen apatis. Apalagi bila para caleg tidak merakyat. “Belum jadi saja sudah sombong, apalagi nanti,” kata mereka. Ada persepsi tentang kurangnya rasa kepedulian. 

Mungkin karena banyak kalangan politik mengira uang bisa mengatasi segalanya. Mereka lupa, uang bisa diterima, tetapi yang dicoblos lain, sekalipun mereka mengambil hati rakyat bisa saja dilakukan dengan cara lain, misalnya dengan penyediaan sembako atau melaksanakan pembangunan yang diperlukan rakyat, seperti membangun tempat-tempat ibadah, jembatan, dan jalan. Di beberapa tempat, ini sudah berjalan.

Demokrasi dalam masyarakat konservatif

Gegap gempita pemberitaan tentang pemilu menunjukkan pengertian demokrasi sepertinya memfokus pada kelas terdidik/menengah ke atas. Kemampuan melihat situasi politik dengan jernih, apalagi mengatasinya, bergantung pada bagaimana persepsi kita tentang diri kita. Bila masyarakat berpandangan konservatif, apalagi diwarnai sikap paternalistis atau feodalistis, kaum elitelah yang dianggap wajib mengatur dan menentukan segala-galanya.

Situasi semacam itu yang kita hadapi sekarang. Kita menganggap kaum elite bisa melihat kekurangan demokrasi kita dan wajib mengatasi. Dalam hal itu, rakyat banyak yang seharusnya menjadi bagian dari pelaku demokrasi pada akhirnya hanya menjadi objek.

Tentunya bukan itu tujuan utama demokrasi: demos kratos-pemerintahan oleh dan untuk rakyat. Namun, apa yang bisa diharapkan bila rakyat banyak belum cukup berpendidikan dan belum mafhum tentang politik? Apa arti politik bagi mereka? Inilah yang menumbuhkan keyakinan pada segolongan di antara kita bahwa harus ada perubahan; agar demokrasi tidak dipecundangi, agar kepedulian tidak diabaikan, dan agar ketimpangan tidak berlarut-larut.

Mencari rujukan

Januari 2014 lalu, Kompas meluncurkan buku SBY, Selalu Ada Pilihan, setebal lebih dari 800 halaman, terdiri dari 141 judul. Buku itu oleh SBY diperuntukkan bagi para pecinta demokrasi dan para pemimpin Indonesia mendatang. Isinya berkisar pengalaman SBY sebagai presiden, selain pengamatan politik pada umumnya. Dalam judul ‘Makna Pemimpin yang Tegas dalam Era Demokrasi’ antara lain dinyatakan, Ia dinilai tegas karena memang tegas, konsisten, dan teguh pada tujuan. Termasuk tujuan nasional, maupun kepentingan masyarakat luas. Ia keras dan tegas pada prinsip, serta terhadap sasaran. Tidak bisa dipengaruhi. Tidak bisa didikte dan ditekan.... Ia tegas bukan dilihat dari pernyataan dan sikapnya yang tergolong ‘pemberani’....’

Banyak lagi ungkapan yang bisa menjadi wacana masyarakat. Tentu banyak yang menimbulkan pendapat pendapat kontroversial. Apa pun, buku itu rasanya wajib dibaca oleh mereka yang menawarkan diri untuk menjadi pemimpin masa depan, termasuk para calon legislatif yang akan memperebutkan kursi DPR bulan April nanti. 

Mereka bisa memilih, yang mana yang bermanfaat bagi mereka. Diperlukan pembekalan sebanyak-banyaknya agar mereka menjadi anggota legislatif idaman rakyat. Jangan lagi mengecewakan seperti perbuatan sejumlah anggota DPR periode sekarang yang menodai reputasi lembaga, reputasi partai politik, dan reputasi diri sendiri.

Meskipun kritik sering dilancarkan tentang ketidakdisiplinan anggota-anggota DPR, termasuk tindakan korupsi, sebenarnya masyarakat pun menyadari masih banyak lainnya yang menjalankan misi sesuai panggilan dan komitmen pada rakyat. Dalam kaitan tindak korupsi, Budiman Soedjatmiko, anggota DPR dari PDIP, baru-baru ini dikutip Media Indonesia bahwa dia memilih ‘jeneng daripada jenang’, memilih reputasi atau integritas daripada kekayaan. Namun, seberapa banyak anggota legislatif dan bahkan para caleg yang yakin tentang itu? Dana pemilu dari dompet pribadi apakah memengaruhi perilaku mereka?

Kejelian dan wawasan membuat konstituen memilih caleg-caleg terbaik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar