Alternatif
Solusi Penyeru Golput
Yosafati Gulo ; Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas
Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga
|
SUARA
MERDEKA, 25 Maret 2014
"Bila
memang menghendaki kebaikan bangsa dan negara, solusinya bukan dengan menjadi
golput"
SEJUMLAH orang terus
menggaungkan niat untuk menjadi golput. Daripada memilih caleg bobrok
mendingan menjadi golput. Lagi pula, memilih untuk tidak memilih juga sah
secara hukum. Tidak menggunakan hak pilih adalah bagian dari hak asasi
manusia. Itulah antara lain argumen yang dipakai oleh penyeru golput.
Sepintas, alasan tersebut masuk
akal. Orang normal, mustahil memilih yang tak normal, apalagi bobrok. Juga
caleg yang hobi korupsi, kerap melanggar etika dan norma susila, atau suka
tipu-tipu, memang tak perlu dipilih. Apakah semua caleg pasti begitu? Semua
bobrok? Apakah penyeru golput sudah menelusuri secara objektif rekam jejak
semuanya? Saya kira belum tentu. Jika ada satu dua yang melakukan, diyakini
tidak mencakup semua caleg. Karena itu, menuduh bobrok semua caleg, nantinya
tak bakal memikirkan rakyat, dan predikat negatif lainnya, adalah sikap
gegabah.
Tampaknya, acuan penyeru golput
adalah penampilan anggota legislatif periode lalu dan kinerja pemerintah yang
lamban dalam banyak hal. Alasan itu memang logis. Banyaknya anggota
legislatif dan gubernur/bupati/wali kota masuk bui karena korupsi, dan ada
sekitar 90% caleg muka lama makin menguatkan argumen para penyeru golput.
Argumen lainnya adalah kebiasaan
caleg mengumbar janji demi kesejahteraan rakyat selama kampanye, biasanya
banyak bohongnya. Tak lebih dari sekadar rayuan gombal agar mereka dipilih.
Setelah terpilih, istilah yang dipakai pun berubah, menjadi siapa lu, siapa gue!
Kendati benar, argumen tersebut
sulit dipertahankan secara logis. Pasalnya, asumsi dari argumen itu adalah
sebuah keyakinan bahwa manusia tak bakal berubah. Apa dan bagaimana seseorang
kemarin maka itulah dirinya hari ini dan esok. Kalau kemarin ia bobrok maka
hari ini dan esok ia pasti bobrok. Benarkah?
Saya tetap berkeyakinan siapa
pun cenderung bisa berubah. Entah karena belajar dari kesalahan sendiri,
karena pengaruh lingkungan, atau karena dorongan cita-cita diri yang lebih
baik bagi diri dan sesama. Pada penyeru golput pun begitu. Mereka pasti
berpeluang untuk berubah. Bisa ke arah yang buruk atau sebaliknya. Itu
artinya, jangan menghakimi masa depan dengan potret buram masa lalu.
Bila memang menghendaki kebaikan
bangsa dan negara, solusinya bukan dengan menjadi golput karena pilihan itu
tidak mencerminkan semangat dan kerja keras memperbaiki perpolitikan dan
pemerintahan. Golput adalah sikap apatis, tidak mau tahu, dan semacam
pembiaran. Ditinjau dari aspek apa pun, sikap semacam itu tidaklah membangun.
Mengontrol Kinerja
Dengan menggunakan hak pilih, si
pemilih memiliki alasan untuk mengontrol dan memelototi kinerja legislatif.
Apa yang dijanjikan saat kampanye ,dicatat baik-baik. Catatan itu bukan untuk
disimpan dalam map melainkan jadi bahan untuk mengontrol kinerja, sikap
hidup, dan tindakan caleg setelah berkiprah di legislatif.
Cara lainnya adalah tiap caleg
diminta membuat kontrak politik atau pernyataan politik tentang agenda
perjuangannya di legislatif. Termasuk pernyataan tentang sikap hidup terpuji
yang mencerminkan harapan ideal masyarakat. Pernyataan tersebut disebar
kepada seluruh konstituen sebagai alat kontrol mereka terhadap legislator
tersebut.
Parpol pengusung caleg juga
harus mendukung apa yang diharapkan konstituen. Jika anggota legislatif
melanggar kotrak atau pernyataan politiknya kepada konstituen kelak maka
parpol harus tegas bertindak. Misal menariknya dari keanggotaan legislatif.
Pernyataan sikap tegas parpol itu pun perlu disebar kepada konstituen.
Keterwujudan hal itu
mensyaratkan setidak-tidaknya dua hal. Pertama; tiap parpol perlu membangun
sistem informasi yang dapat diakses rakyat untuk melaporkan tiap pelanggaran
anggota legislatif. Kalau pelanggaran itu bersifat atau menjurus ke tindak
pidana, sistem tersebut perlu dikoneksikan ke KPK atau penegak hukum lain.
Sistem kerjanya, bisa meniru sistem kerja perbankan online dan real time.
Kedua; penilaian terhadap
anggota legislatif jangan hanya oleh parpol. Perlu mengombinasikan data dari
rakyat dengan data parpol berdasarkan kriteria terukur. Hasil penilaian itu
diumumkan secara berkala kepada rakyat melalui media massa. Termasuk di
antaranya data kehadiran legislator dalam sidang-sidang komisi dan sidang
pleno. Menuntut beberapa hal itu kepada caleg dan parpol jauh lebih baik
ketimbang menjadi golput. Jika tidak dipenuhi, ganjarlah mereka dengan tidak
memilih caleg dari parpol bersangkutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar